Wacana jilbab dan hijab di dalam
masyarakat islam sering kali ditempatkan secara tidak proporsional. Jilbab yang
berkaitan erat dengan etika, budaya, tradisi dan kesopanan merebak menjadi isu
politis. Bahkan, tidak jarang, negara ikut terlibat dalam menentukan pakaian
wanita.
Di negara-negarat Timur Tengah,
seperti Iran dan Aljazair, jilbab dan hijab telah menjadi isu politis dan
teologi yang menggerakkan perempuan untuk melakukan aksi massa menentang
pemerintah. Jika Iran dengan Rezim Pahlevi telah melahirkan gerakan perempuan
menuju gerbang revolusi Iran, maka di Aljazair, isu jilbab dan hijab telah
melahirkan gerakan perempuan yang berhasil melepaskan negara dari penjajahan Perancis.
Sementara, ketika Kemal At-Taturk melakukaan sekularisasi di Iran, ia melarang
penggunaan bahasa Arab dan busana yang mencirikan adat tradisi Arab.
Seorang perempuan bebas memilih
menggunakan hijab, jilbab atau kerudung untuk menutup tubuh dan auratnya. Tetapi,
persoalannya kemudian, ketika negara melakukan institusionalisasi penggunaan
hijab atau jilbab. Perempuan yang berhijab atau tidak semua berkait erat dengan
pilihan, baik bersifat teologis, tradisi atau budaya.
Source : https://albalad.co |
Ketika jilbab atau hijab hadir
bukan lagi semata isu soal mode, privacy, dan teologis, maka kekuatan
jilbab sebagai resistensi, gerakan, perlawanan, dan proteksi diri selalu
menarik untuk dijadikan bahan refleksi, bahwa jilbab memainkan perannya sebagai
proteksi atas westernisasi dan ancaman deislamisasi di sebuah
negara. Pelarangan atau pewajiban jilbab telah melanggar hak-hak individu
manusia yang akhirnya berpotensi melahirkan gerakan sosial yang massif.
dalam kasus Mesir sebagaimana yang
diutarakan Fadwa el-Ghundi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan
Perlawanan, (hlm. 51), bahwa kesetaraan gender merupakan suatu kelebihan
masyarakat Mesir Kuno. Penulis yang secara spesifik menelaah jilbab di beberapa
negara Timur Tengah seperti Mesir, Aljazair, dan Iran, memberikan gambaran dengan
mengutip Jean Vercoutter dalam dokumen New Kingdom bahwa “kesetaraan absolut
laki-laki dan perempuan di depan hukum tampak begitu jelas. Tidak diragukan
lagi bahwa kesetaraan gender ini bersumber pada kepercayaan umum akan posisi
istimewa wanita di Mesir.” Pomeroy juga berpendapat “dibandingakan dengan
wanita Yunani dan Romawi, wanita dalam peradaban Mesir sebagai partisipan penuh
dalam ekonomi, yang memiliki property, bertransaksi, dan mengurus keuangan atas
nama mereka sendiri. Mereka tidak dipingit, peran mereka juga semata-mata bukan
untuk reproduksi”. Disamping hak-hak melakukan transaksi hukum di mana wanita
dapat memiliki, membeli, mewarisi, mengelola, dan mengatur properti, perubahan-perubahan
yang besar dibuat dalam perjanjian perkawinan. Wanita dapat memutuskan ikatan
perkawinan, sejalan dengan laki-laki dan suami dilarang melakukan poligami.
Mereka juga dilarang memelihara selir atau gundik, serta diminta untuk mengembalikan
mahar dan membayar denda jika mencerai wanita tanpa sebab yang adil.
Bahkan, El-Ghundi menemukan
sebuah Mesir di era modern di mana kode berpakaian selalu dihubungkan dengan
tingkat pengetahuan dan bacaan mengenai Islam juga sampai pada skala
kepemimpinan wanita. Semakin intensif wanita menutup tubuhnya, maka semakin
banyak pula pengetahuannya tentang sumber-sumber Islam dan menjadikannya
sebagai pemimpin diskusi dalam ruang mahasiswa di sela-sela kuliah.
Penghubungan ini agak pudar ketika hijab menjadi bagian dari kehidupan normal.
Otoritas al-Ahzar tidak
memberlakukan pakaian Islami yang dikenalkan oleh wanita perguruan tinggi
tersebut, padahalal biasanya turut mengatur dan ikut mengeluarkan fatwa.
Wanita-wanita itu menerjemahkan visi ideal Islamnya dengan menjadi contoh
kontemporer bagi yang lain. Sikap yang melekat dalam gaya berpakaian ini adalah
suatu penampilan dan prilaku publik yang menegaskan kembali indentitas dan
moralitas Islam serta melawan meterialisme, konsumerisme, komersialisme, dan
nilai-nilai Barat. Jelasnya, gerakan tersebut tidak sekedar tentang kode
berpakian. Gerakan ini mengutuk eksibisionisme dalam pakaian dan tingkah laku,
yang juga merupakan karakteristik jahiliyyah. (El-Ghundi:2003, 233-234)
Penelitian el-Ghundi melihat
pemakaian jilbab dan hijab selalu berkontekstual dengan isu yang berkembang di
negara tersebut. Isu tersebut bisa berupa westernisasi atau teologi agama. Masing-masing
negara, memiliki isu yang berbeda tentang institusionalisasi jilbab, baik yang
melarang atau mewajibkan jilbab di muka publik.
Kita, sedang memilih yang mana
dan sedang berdiskursus apa soal institusionalisasi jilbab?
0 Comment "Mesir, Jilbab dan Kesetaraan Gender"
Posting Komentar