sumber: http://images.desimartini.com |
Film selalu memberikan ruang refleksi atas realitas. Ia tidak hadir dari ruang hampa seorang sutradara. Film selalu menyuguhkan pesan akan realitas kehidupan manusis. Begitu pula dengan film Silence (2016). Film dengan durasi 2.40 menit disuguhkan tanpa latar musik, bahkan banyak adegan tanpa percakapan di dalamnya.
Film ini memotret perjuangan umat kristiani menghadapi kekerasan agama Budha di Jepang. Perlawanan atas tirani agama dibalut dengan pertaruhan nasib; memegang kuat keyakinan agama atau menyerah demi keselamatan hidup (kemanusiaan). Mereka yang memegang keyakinannya akan mati dan yang menerima agama pemerintah akan hidup.
Film yang disutradarai Martin Scorsese bercerita perjalanan dua Padre (pendeta) yaitu Padre Rodrigues (Andrew Garfield) dan Padre Garupe (Adam Driver) ke Jepang untuk mencari kebenaran kabar “murtad”nya Padre Ferreira (Liam Neeson). Film bergenre drama-history yang diadaptasi dari Novel dengan judul yang sama memiliki latar belakang kekaisaran Jepang abad ke-17.
Film ini dibuka dengan scene penyiksaan Padre Ferreira dengan ribuan umatnya oleh kekaisaran Jepang karena kuatnya memegang kepercayaan kristen dengan menolak agama Budha. Lalu, perjalanan dua Padre ke Jepang diwarnai dengan serangkaian intimidasi, kekerasan, dan pergulatan keyakinan yang sublim. Dua Padre dipertemukan dengan umat kristen yang bersembunyi hanya untuk menyelamatkan diri dari kekejaman, intimidasi dan pemaksaan kepercayaan dari kekaisaran Jepang.
Adegan kekerasan dan kekejaman yang didapatkan umat kristen membuat dua padre sering terlibat silang pendapat tentang keberadan Tuhan. Bahkan, putus asa dan kesangsian akan eksistensi Tuhan terus menghantui Padre Rodrigus dan Garupe. Mereka mempertanyakan eksistensi Tuhan di tengah badai derita dan kekerasan yang diterima oleh umatnya. Dimanakah Tuhan saat penderitaan mendera umatnya. Sementara itu, kekaisaran Jepang terus memburu dan menyelidiki masyarakat yang beragama kristen untuk diadili dan dipaksa mengakui agama Budha. Kekaisaran Jepang juga terus mengerahkan prajuritnya menangkap Padre Rodrigues dan Garupe.
Dalam adegan penangkapan Padre Rodrigues, kekaisaran Jepang berusaha mengintimidasi keyakinannya agar mengakui kepercayaan Budha. Mereka akan berhenti melakukan kekerasan dan memburu umat kristen, jika Padre Rodrigues bersedia “murtad” dari keyakinannya. Kekaisaran Jepang mulai melakukan pembunuhan di depan mata Padre Rodrigues dengan kejam; dipenggal kepalanya, digantung terbalik dengan darah mengucur dari kepalanya.
Melihat kekejaman yang terus dilakukan kekaisaran Jepang, Padre Rodrigues pun terlibat debat dengan jajaran kekaisaran Jepang perihal agama dan kepercayaan yang dianut.
Berikut ini saya kutipkan scene debat antara Padre Rodrigues dan petinggi Jepang;
Inoue Sama: “doktrin yang dibawa anda, mungkin baik di Spanyol dan Portugis, tapi kami pelajari dengan hati-hati dan seksama. Kami rasa tidak ada gunanya dan tidak bernilai bagi Jepang. Kami menyimpulkan, itu berbahaya.”
Padre Rodrigues menjawab: “Kami percaya, kami membawa kepadamu kebenaran (agama kami). Kebenaran ini untuk umum. Hal ini berlaku untuk semua negara, kapan saja. Itulah sebabnya, kami menyebutnya kebenaran. Jika kebenaran disini dan di Portugal tidak benar, kami tidak akan menyebutnya kebenaran.”
Inoue Sama: “Saya melihat anda tidak bekerja dengan tangan (kepentingan) anda sendiri, tapi semua orang tahu, pohon yang berkembang dalam satu jenis bumi, mungkin mati dan membusuk di negara lain. Hal ini sama dengan kebenaran anda. Daunnya membusuk disini. Tunasnya mati.”
Padre Rodrigues: “itu bukan tanah yang membunuh tunasnya. Sudah ada 30.000 ribu pengikut kami di Jepang, sebelum tanah tersebut diracuni. ”
Dalam dialog ini saya menangkap dua pesan berantai yang berkelindan tiada henti; pertama, berkatian dengan ajaran agama yang dianggap mengganggu eksistensi agama lain; kedua, pemilik kebenaran agama ada di tangan pemerintah.
Pesan pertama, sang sutradara menghadirkan pesan bahwa munculnya mereka (agama kristen) telah merobek stabilitas kebangsaan yang mapan di kekaisaran Jepang. Hal ini, cukup relevan melihat konteks realitas masyarakat tertentu yang begitu getol memaksakan sebuah ideologi untuk diterima orang lain. Dalam konteks yang lebih sempit, saya melihat dimensi paralel pemaksaan ideologi radikal untuk diterima masyarakat indonesia.
Pesan kedua, sutradara sedang menghadirkan tirani mayoritas atas kepercayaan minoritas. Tirani mayoritas itu berada di tangan pemerintah yang dengan leluasa memaksa kepercayaan lain tunduk. Ketika pemerintah menetapkan suatu kepercayaan boleh berkembang dan kepercayaan lain dilarang, maka kepercayaan minoritas akan selalu mendapatkan intimidasi dan kekerasan dari kepercayaan mayoritas.
Meminjam terminologi Ahmad Sahal, fenomena itu disebut tirani agama. Dengan kutipan Raja Louis XIV tentang tirani politik, Sahal menampilkan pesan tirani agama dengan sebuah ungkapan “agama adalah saya.” Tirani agama tampak dari penegasian kepercayaan lain, sehingga kepercayaan di luar pemerintah dianggap kafir dan berbahaya.
Tirani agama terus dilakukan kekaisaran Jepang dengan menekan keyakinan kepercayaan Padre Rodrigues. Akhirnya, kita akan disuguhkan debat antara Padre Ferreira dan Padre Rodrigues.
Padre Ferreira: “agama kita tidak berakar disini.”
Padre Rodrigues: “karena akar telah robek?”
Padre Ferreira: “tidak. Karena negara ini adalah rawa. Tidak ada yang tumbuh disini. Tanamannya kerdil disini, dan akarnya membusuk.”
Dialog ini merupakan sublimasi pesan dari tirani agama. Kekaisaran Jepang telah melakukan religious hate speech terhadap kepercayaan lain. Nasaruddin Umar mendefinisikan religious hate speech sebagai kuasa tirani mayoritas atas minoritas. Tirani agama terjadi ketika banyak satu kelompok mendiskriminasi kepercayaan agama lain, menyatakan permusuhan dengan agama lain, melakukan penyesatan agama lain, mengkafirkan agama lain, dan memaksa orang lain mengikuti atau tunduk di bawah agama yang dianutnya.
Film ini (bisa) menjadi refleksi, betapa tirani agama dan tirani mayoritas semakin tak terbendung seperti yang terjadi belakangan ini. Orang mudah melakukan pengkafiran atas orang lain. Orang mudah mendiskriminasi kepercayaan orang lain. Orang mudah memaksakan kepercayaannya pada orang lain. Atas nama stabilitas negara, kekaisaran Jepang berusaha menghapus agama minoritas dan memaksakan agama negara.
Perjuangan Padre Rodrigues dapat dilihat sebagai perlawanan mempertahankan kebebasan beragama dan mealawan pemaksaan agama. Perjuangan tersebut bertujuan untuk melindungi minoritas yang ingin dijamin kebebasan beragama dan menjalankan keyakinannya. Oleh karenanya, ketika Padre Rodrigues memilih “murtad” dari keyakinan agama kekaisaran Jepang, sebenarnya ia tengah memperjuangkan kemanusiaan yang diemban agama. Kekaisaran Jepang berhasil membuat Padre Rodrigues memaksakan agama kekaisaran, tetapi keyakinannya tetap teguh hingga akhir hayatnya. Laiknya, judul film, perjuangan terhadap tirani agama ia lakukan dalam senyap; berpura-pura menerima agama kekaisaran.
Samar-samar ingatan saya terbawa ke zaman akhir kejatuhan islam di Spanyol, saat Toledo dan Granada jatuh ke tangan Raja Ferdinand II dari Castilla dan Ratu Elisabeth I dari Aragon. Kekuasaan Ferdinand telah membuat pemeluk agama islam menerima diskriminasi agama dan pemaksaan kepercayaan. Raja Ferdinand memaksa umat islam memeluk kristen dan jika tidak menerima mereka akan dibunuh. Banyak umat islam yang menerima tetapi banyak pula yang pura-pura menerima, merekalah yang disebut muslim bersembunyi. Ketika siang hari, mereka menggunakan atribut yang dianjurkan pemerintah, tetapi ketika malam mereka tetap menjalankan ajaran agama islam.
Film ini memberikan pesan bahwa demi kemanusiaan, perjuangan terhadap tiani agama harus dilakukan dalam diam. Karena visi agama, selalu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Membela harkat kemanusiaan adalah misi suci agama.
Film ini memotret perjuangan umat kristiani menghadapi kekerasan agama Budha di Jepang. Perlawanan atas tirani agama dibalut dengan pertaruhan nasib; memegang kuat keyakinan agama atau menyerah demi keselamatan hidup (kemanusiaan). Mereka yang memegang keyakinannya akan mati dan yang menerima agama pemerintah akan hidup.
Film yang disutradarai Martin Scorsese bercerita perjalanan dua Padre (pendeta) yaitu Padre Rodrigues (Andrew Garfield) dan Padre Garupe (Adam Driver) ke Jepang untuk mencari kebenaran kabar “murtad”nya Padre Ferreira (Liam Neeson). Film bergenre drama-history yang diadaptasi dari Novel dengan judul yang sama memiliki latar belakang kekaisaran Jepang abad ke-17.
Film ini dibuka dengan scene penyiksaan Padre Ferreira dengan ribuan umatnya oleh kekaisaran Jepang karena kuatnya memegang kepercayaan kristen dengan menolak agama Budha. Lalu, perjalanan dua Padre ke Jepang diwarnai dengan serangkaian intimidasi, kekerasan, dan pergulatan keyakinan yang sublim. Dua Padre dipertemukan dengan umat kristen yang bersembunyi hanya untuk menyelamatkan diri dari kekejaman, intimidasi dan pemaksaan kepercayaan dari kekaisaran Jepang.
Adegan kekerasan dan kekejaman yang didapatkan umat kristen membuat dua padre sering terlibat silang pendapat tentang keberadan Tuhan. Bahkan, putus asa dan kesangsian akan eksistensi Tuhan terus menghantui Padre Rodrigus dan Garupe. Mereka mempertanyakan eksistensi Tuhan di tengah badai derita dan kekerasan yang diterima oleh umatnya. Dimanakah Tuhan saat penderitaan mendera umatnya. Sementara itu, kekaisaran Jepang terus memburu dan menyelidiki masyarakat yang beragama kristen untuk diadili dan dipaksa mengakui agama Budha. Kekaisaran Jepang juga terus mengerahkan prajuritnya menangkap Padre Rodrigues dan Garupe.
Dalam adegan penangkapan Padre Rodrigues, kekaisaran Jepang berusaha mengintimidasi keyakinannya agar mengakui kepercayaan Budha. Mereka akan berhenti melakukan kekerasan dan memburu umat kristen, jika Padre Rodrigues bersedia “murtad” dari keyakinannya. Kekaisaran Jepang mulai melakukan pembunuhan di depan mata Padre Rodrigues dengan kejam; dipenggal kepalanya, digantung terbalik dengan darah mengucur dari kepalanya.
Melihat kekejaman yang terus dilakukan kekaisaran Jepang, Padre Rodrigues pun terlibat debat dengan jajaran kekaisaran Jepang perihal agama dan kepercayaan yang dianut.
Berikut ini saya kutipkan scene debat antara Padre Rodrigues dan petinggi Jepang;
Inoue Sama: “doktrin yang dibawa anda, mungkin baik di Spanyol dan Portugis, tapi kami pelajari dengan hati-hati dan seksama. Kami rasa tidak ada gunanya dan tidak bernilai bagi Jepang. Kami menyimpulkan, itu berbahaya.”
Padre Rodrigues menjawab: “Kami percaya, kami membawa kepadamu kebenaran (agama kami). Kebenaran ini untuk umum. Hal ini berlaku untuk semua negara, kapan saja. Itulah sebabnya, kami menyebutnya kebenaran. Jika kebenaran disini dan di Portugal tidak benar, kami tidak akan menyebutnya kebenaran.”
Inoue Sama: “Saya melihat anda tidak bekerja dengan tangan (kepentingan) anda sendiri, tapi semua orang tahu, pohon yang berkembang dalam satu jenis bumi, mungkin mati dan membusuk di negara lain. Hal ini sama dengan kebenaran anda. Daunnya membusuk disini. Tunasnya mati.”
Padre Rodrigues: “itu bukan tanah yang membunuh tunasnya. Sudah ada 30.000 ribu pengikut kami di Jepang, sebelum tanah tersebut diracuni. ”
Dalam dialog ini saya menangkap dua pesan berantai yang berkelindan tiada henti; pertama, berkatian dengan ajaran agama yang dianggap mengganggu eksistensi agama lain; kedua, pemilik kebenaran agama ada di tangan pemerintah.
Pesan pertama, sang sutradara menghadirkan pesan bahwa munculnya mereka (agama kristen) telah merobek stabilitas kebangsaan yang mapan di kekaisaran Jepang. Hal ini, cukup relevan melihat konteks realitas masyarakat tertentu yang begitu getol memaksakan sebuah ideologi untuk diterima orang lain. Dalam konteks yang lebih sempit, saya melihat dimensi paralel pemaksaan ideologi radikal untuk diterima masyarakat indonesia.
Pesan kedua, sutradara sedang menghadirkan tirani mayoritas atas kepercayaan minoritas. Tirani mayoritas itu berada di tangan pemerintah yang dengan leluasa memaksa kepercayaan lain tunduk. Ketika pemerintah menetapkan suatu kepercayaan boleh berkembang dan kepercayaan lain dilarang, maka kepercayaan minoritas akan selalu mendapatkan intimidasi dan kekerasan dari kepercayaan mayoritas.
Meminjam terminologi Ahmad Sahal, fenomena itu disebut tirani agama. Dengan kutipan Raja Louis XIV tentang tirani politik, Sahal menampilkan pesan tirani agama dengan sebuah ungkapan “agama adalah saya.” Tirani agama tampak dari penegasian kepercayaan lain, sehingga kepercayaan di luar pemerintah dianggap kafir dan berbahaya.
Tirani agama terus dilakukan kekaisaran Jepang dengan menekan keyakinan kepercayaan Padre Rodrigues. Akhirnya, kita akan disuguhkan debat antara Padre Ferreira dan Padre Rodrigues.
Padre Ferreira: “agama kita tidak berakar disini.”
Padre Rodrigues: “karena akar telah robek?”
Padre Ferreira: “tidak. Karena negara ini adalah rawa. Tidak ada yang tumbuh disini. Tanamannya kerdil disini, dan akarnya membusuk.”
Dialog ini merupakan sublimasi pesan dari tirani agama. Kekaisaran Jepang telah melakukan religious hate speech terhadap kepercayaan lain. Nasaruddin Umar mendefinisikan religious hate speech sebagai kuasa tirani mayoritas atas minoritas. Tirani agama terjadi ketika banyak satu kelompok mendiskriminasi kepercayaan agama lain, menyatakan permusuhan dengan agama lain, melakukan penyesatan agama lain, mengkafirkan agama lain, dan memaksa orang lain mengikuti atau tunduk di bawah agama yang dianutnya.
Film ini (bisa) menjadi refleksi, betapa tirani agama dan tirani mayoritas semakin tak terbendung seperti yang terjadi belakangan ini. Orang mudah melakukan pengkafiran atas orang lain. Orang mudah mendiskriminasi kepercayaan orang lain. Orang mudah memaksakan kepercayaannya pada orang lain. Atas nama stabilitas negara, kekaisaran Jepang berusaha menghapus agama minoritas dan memaksakan agama negara.
Perjuangan Padre Rodrigues dapat dilihat sebagai perlawanan mempertahankan kebebasan beragama dan mealawan pemaksaan agama. Perjuangan tersebut bertujuan untuk melindungi minoritas yang ingin dijamin kebebasan beragama dan menjalankan keyakinannya. Oleh karenanya, ketika Padre Rodrigues memilih “murtad” dari keyakinan agama kekaisaran Jepang, sebenarnya ia tengah memperjuangkan kemanusiaan yang diemban agama. Kekaisaran Jepang berhasil membuat Padre Rodrigues memaksakan agama kekaisaran, tetapi keyakinannya tetap teguh hingga akhir hayatnya. Laiknya, judul film, perjuangan terhadap tirani agama ia lakukan dalam senyap; berpura-pura menerima agama kekaisaran.
Samar-samar ingatan saya terbawa ke zaman akhir kejatuhan islam di Spanyol, saat Toledo dan Granada jatuh ke tangan Raja Ferdinand II dari Castilla dan Ratu Elisabeth I dari Aragon. Kekuasaan Ferdinand telah membuat pemeluk agama islam menerima diskriminasi agama dan pemaksaan kepercayaan. Raja Ferdinand memaksa umat islam memeluk kristen dan jika tidak menerima mereka akan dibunuh. Banyak umat islam yang menerima tetapi banyak pula yang pura-pura menerima, merekalah yang disebut muslim bersembunyi. Ketika siang hari, mereka menggunakan atribut yang dianjurkan pemerintah, tetapi ketika malam mereka tetap menjalankan ajaran agama islam.
Film ini memberikan pesan bahwa demi kemanusiaan, perjuangan terhadap tiani agama harus dilakukan dalam diam. Karena visi agama, selalu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Membela harkat kemanusiaan adalah misi suci agama.
0 Comment "Film Silence : Sebuah Tirani Agama"
Posting Komentar