BAB I PENDAHULUAN
Positivisme merupakan logika eksakta
yang telah mempengaruhi metode sejarah. sebagai filsafat empirisme, empirisme
meyakiniki pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman
aktualfisikal.
Pengetahuan demikian hanya bisa
dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat,
yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. August Comte merupakan ilmuwan
yang sukses memperkenalkan metode saintifik ke dalam ilmu sosial dan humaniora.
Metode Comte diteruskan oleh J. S. Mill yang memperkenalkan logika induksi
dalam metode memperoleh ilmu pengetahuan. Makalah ini, membahas perdebatan logika
eksakta dan sosial-humaniora dalam penelitian historis. Penulis mengacu pada dua
tokoh, Comte dan Mill.
BAB II PEMBAHASAN
Perdebatan antara ilmuwan humaniora
dan ilmu alam mengarah pada pemisahan antara studi tentang kejadian dan studi
perubahan waktu. Hal ini berujung pada sebuah konsep bagaimana ilmu sosial akan
di bawa ke dalam metode ilmu alam.
Perdebatan ini menjadikan ilmuwan
perlu untuk mempertimbangkan dan merevisi ulang konsep metodologi yang
memisahkan antara kajian historis dan ilmu alam yang telah diperkenalkan sejak
abad ke tujuh belas. Langkah yang dapat dilakukan berupa merekonstruksi prosedur
yang dianut ilmu sosial dengan mempertimbangkan apa yang disebut ‘metode saintifik.’[1]
Watak dari ilmuwan humaniora selalu
menganggap pekerjaan mereka sebagai ‘ilmiyah’ yang berusaha memisahkan dengan ilmu
alam. Mereka memiliki argumentasi bahwa secara historis, ‘sains’ bersamaan kata
dengan ‘pengetahuan’, atau secara eksplisit ‘pengetahuan yang didapatkan dari lapangan.’
Logika eksakta selalu berkaitan
dengan disiplin ilmu matematika, geometryi, biologi, dan lain sebagainya. Ilmu
eksakta tidak dapat diidentifikasi pada bidang eksprerimentasi, sementara
eksperimen tidak dapat diaplikasikan pada subjek sejarah, seperti geology dan
palaeontopologi.
Orang yang sukses dalam memperkenalkan
kriteria ilmu pengetahuan adalah August Comte.[2] Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya The
Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai
evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang
sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan.
Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika
yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan dinamika
adalah urutan gejala-gejala.[3]
Metode positif juga
mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan
metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam,
tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan
hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan.[4]
Comte menegaskan bawha bahwa
strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan
berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivis percaya bahwa hukum-hukum alam
yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat digunakan sebagai dasar
untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan
institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.[5]
Comte merumuskan metode positif memiliki
empat ciri, yaitu :
1.
Metode ini
diarahkan pada fakta-fakta
2.
Metode ini
diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3.
Metode ini
berusaha ke arah kepastian
4.
Metode ini
berusaha ke arah kecermatan.
Sarana yang digunakan dalam metode
positif berupa pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga
yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis
khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang
menguasai perkembangan gagasan-gagasan.[6]
Comte juga
melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organis yang kenyataannya
lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung dan untuk
mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris.
Sehingga dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari
alam seperti halnya gejala fisik.
Dengan menggunakan metode-metode
diatas Comte merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner
menjadi 3 kelompok yaitu :
1.
Tahap
Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam
periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk
pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa
semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul
adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau
gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang
tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.
2.
Tahap
Metafisik, merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif.
Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang
dapat ditemukan dalam akal budi.
3.
Tahap Positif
ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan
terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak
mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka
secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan
menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris
akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat
uniformitas.[7]
Metode ilmu pengetahuan yang
dikembangkan Comte yang dikenal dengan prinsip positivisme diteruskan oleh J.S.
Mill. Mill menegaskan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman. Dari sini,
Mill memperkenalkan metode induktif dalam pencarian ilmu pengetahuan.[8]
Mill membedakan antara ilmu
pengetahuan alam dengan ilmu pengetahuan rohani. Ilmu pengetahuan rohani adalah
psikologi, ajaran tentang kesusilaan dan sosiologi. Ilmu sejarah termasuk ilmu
pengetahuan alam.[9]
Secara sederhana,
logika induksi merupakan logika yang digunakan untuk sampai pada pernyataan
yang universal dari hal-hal yang bersifat individual. Kesimpulan ditarik dari
hal-hal yang khusus untuk menuju kesimpulan yang bersifat umum. Tidak seperti
logika deduktif, dalam logika induksi, kerja akal atau fikiran beranjak dari
pengetahuan sebelumnya mengenai sejumlah kasus sejenis yang bersifat spesifik,
khusus, individual, dan nyata yang ditemukan oleh pengalaman inderawi kita. Ia
berangkat dari sesuatu yang riel, lalu dari berbagai kenyataan tersebut
disimpulkan pengetahuan baru yang bersifat lebih umum. Jadi, generalisasi dalam
logika induksi ini selalu berdasar pada hal-hal yang empiris.[10]
Pandangan Mill tentang penalaran
induktif jelas sangat penting, karena merupakan satu-satunya sumber kemungkinan
proposisi umum yang substantif. Sedangkan rincian teorinya cukup rumit, mungkin
secara luas dinyatakan singkat. Semua penalaran induksi bersifat metodis dan
kritis yang mencakup prinsip fundamental dari keseragaman alam, yaitu bahwa,
apa yang telah terjadi sekali akan terjadi lagi, jika keadaan cukup mirip. Ilmu
logika dan matematika, menurut Mill, mengemukakan hukum-hukum alam, dan seperti
ilmu-ilmu lain, semuanya berakar pada pengalaman-pengalaman induktif.
Logika induksi adalah sebuah proses
penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu,
bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika
penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi. Dalam pengembangan keilmuan,
kedua proses dijalankan secara bergantian. Secara tidak langsung prinsip
berfikir deduktif menyumbang kepada kerja logika induksi, demikian pula
sebaliknya. Induksi ada dua macam :
- 1. Induksi Sempurna
Jika putusan umum itu merupakan
penjumlahan dari putusan khusus. Maka Induksi itu sempurna. Misalnya : dari
masing-masing mahasiswa pada suatu fakultas, diketahui bahwa ia warga negara
Indonesia. Maka dapat diadakan putusan umum : semua mahasiswa fakultas itu
warga negara Indonesia.[11]
- 2. Induksi Tidak Sempurna
Jika demi Induksi ada putusan umum
yang bukan merupakan penjumlahan, melainkan seakan-akan loncatan dari yang
khusus kepada yang umum, itulah induksi tidak sempurna.[12]
Induksi tidak sempurna ini ada dua
lagi macamnya demi sifat yang dimilikinya dalam kekuatan putusan yang ternyata
:
·
Dalam ilmu
alam putusan yang tercapai melalui Induksi tidak sempurna ini berlaku umum,
mutlak jadi tidak ada kecualinya. Hukum air mengenai pembekuannya tak
mengizinkan pengecualiannya. Tidak ragu-ragu ilmu berani mengamalkan tentang
pembekuan air itu. Begitulah mengenai lain-lain hukum alam. Kalau sudah
diketahui dengan pasti bahwa itu hukum alam, maka dapat juga dikatakan bahwa
hukum itu berlaku dengan pasti. Hukunm alam boleh dikatakan berlaku umum
mutlak. Hal yang demikian itu secara filsafat menimbulkan kesulitan, paling
sedikit timbullah persoalan : bagaimana orang dapat memastikan bahwa putusan
yang diperoleh secara induktif itu sungguh umum, sedangkan pengalamannya hanya
berlaku khusus.
·
Jika ilmu
mempunyai objek yang terjadinya bisa kena pengaruh dari manusia yang
sedikit-banyaknya dapat ikut menentukan kejadian-kejadian yang menjadi
pandangan ilmu, maka lalu lain pula halnya. Ilmunya kami sebut ilmu sosial
serta objek penyelidikannya mungkin terpengaruhi oleh kehendak manusia. Oleh
karena manusia mempunyai daya memilih dan sebab itu mungkin bertindak atau
tidak bertindak, malahan mungkin juga bertindak lain dan tidak dapat dipastikan
sebelumnya. Ada juga semacam hukum terdapat pada tindakan-tindakan manusia,
tetapi tidaklah mutlak umum. Selalu ada kemungkinan lain, jadi ada kekecualian.
Kalau pada prinsipnya hukum alam tidak ada kekecualiannya, hukum-hukum pada
ilmu sosial selalu ada kemungkinan kekecualiannya.
Cara befikir dalam logika induksi
adalah melalui analogi, yaitu persamaan antar bentuk yang menjadi dasar
terjadinya bentuk-bentuk yang lain. Dalam analogi kita mempersamakan dua hal
yang sebenarnya tidak sama persis. Analogi membandingkan dua hal atau lebih
yang memiliki kesamaan tertentu pada beberapa segi dan menyimpulkan keduanya
memiliki kesamaan dalam segi yang lain.[13] Memang terdapat kritikan
terhadap metode ilmiah ini, khususnya pada apa yang disebut kebenaran umum
(general truth), yaitu kesimpulan umum yang terdapat dari hasil penyelidikan
atau metode berpikir induksi.
BAB III PENUTUP
August Comte dan J. S. Mill
merupakan dua tokoh positivis yang sukses memperkenalkan metode saintifik ke
dalam ilmu humaniora. Sejarah sebagai ilmu humaniora pun mengaplikasikan metode
pengetahuan positivisme. Dalam logika positivisme, sejarah harus ditempatkan
sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi, jauh dari mitos, mistik dan di luar
akal sehat. Sejarah harus logis, sistematis dan sesuai dengan logika ilmu
pengetahuan (eksakta).
Ketika sejarah menganut logika
positivisme, penelitian tentang mistisisme akan dianggap tidak rasional. Karena
bertentangan dengan logika eksakta, berupa empirisme. Penelitian sejarah dalam
logika positivis mengharuskan setiap peristiwa harus benar-benar terjadi sesuai
dengan data dan fakta di masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono,
Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Wibisono,
Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Poedjawijatna,
Logika Filsafat Berfikir. Jakarata: Rineka Cipta, 1992.
Frederick
J. Teggart, Theory and Process of History. London : Cambridge, 1925.
Ankersmit, F.R. Refleksi Tentang
Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama. 1987
0 Comment "METODE ILMU PENGETAHUAN"
Posting Komentar