Bagaimana kau mengukur pluralitas
atas dasar pengakuan atas keyakinan agama lain, sementara kita menolak habis perbedaan
di luar agama kita. Mudahnya kita menuding orang lain anti-bhinneka dan anti-pluralitas
hanya atas dasar ia “berteman” dengan paham yang kau anggap radikal. Sementara,
kau terus bersuara “kebhinnekaan” karena dukunganmu atas agama lain.
Lalu, kita akan memilih apa;
minoritas yang berkuasa atau mayoritas dalam sebuah angka. Pilihan ini bisa
sangat tidak relevan, jika menggunakan satu parameter. Lalu pluralitas macam
apa yang sedang kita perjuangkan.
Minoritas yang terus merasa
tertindas atau mayoritas yang diasumsikan menindas. Ataukah kita secara
diam-diam menikmati ketertindasan itu untuk menindas balik mayoritas.
Bukankah kita begitu mafhum dan
hafal di luar kepala bunyi ayat : “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Ini menegaskan
bahwa beragama itu perlu saling menghormati keyakinan dan kepercayaan
masing-masing. Ketika agamamu dan agamaku berbeda, itu sebuah keniscayaan yang
harus disukuri dengan penuh kekhidmatan. Bukankah perbedaan yang dirayakan akan
melahirkan harmoni antar umat.
Persoalan agamamu dan agamaku
mungkin sudah selesai, tetapi aliranku dan aliranmu menjadi persoalan baru. Islam
misalnya, dikapling dengan aliran ini dan itu, aliran sana dan sini. Seolah kegersangan
spiritual tengah benar-benar akut, hingga islam dibedakan dengan islam ala
tokoh ini dan itu. Islam ala NU, islam ala Muhammadiyah, Islam Ala Gus Dur,
Islam Ala Cak Nur, dan ala yang lainnya. Akhirnya, debat islam tak berkesudahan
di area ini.
Source : https://bocahbancar.wordpress.com/ |
Kita terus berdebat soal siapa
yang paling bhinneka, siapa yang paling pluralis sambil menertawakan dan mengecam
keras paham yang kita anggap radikal. Kita mengagungkan islam moderat, tetapi
pada saat yang sama kita menolak dan mengecam aksi yang dilakukan paham
radikal.
Kita memblow up berita Arab Saudi
yang ingin mengaplikasikan islam moderat dan menganggap Wahabisme sebuah
kesalahan, tetapi pada saat yang sama kita lupa untuk menelaah diri kita
sendiri. Kita sibuk bertengkar soal wahabisme vis a vis ahlu sunnah. Atas nama
apa kita bersuara? Menjadi moderat tak berarti menolak paham mereka yang
radikal. Jika ingin adil, terimalah mereka sebagai sebuah keniscayaan sejarah.
Haruskah
kita akan terus berlomba-lomba mengakui “kita paling moderat”, “kita paling
pluralis”, sementara mereka salah dan harus membuang kepercayaan dan paham yang
mereka anut. Moderat seperti apa yang kita harapkan? Apakah kita ingin menjadi manusia
moderat sembari mengharap orang lain sama dengan kita. Dimana, kita
memposisikan diri sebagai orang yang menerima perbedaan?
0 Comment "Berlomba-lomba Menjadi yang “Paling Pluralis”"
Posting Komentar