Jilbab adalah
simbol pakaian muslimah yang dapat mencerminkan kesalehan individu terhadap
syariat agama. Jilbab berupa pakaian yang menutup aurat perempuan terutama di
bagian kepala dan wajah. Landasan teks agama yang menjelaskan tentang pemakaian
jilbabadalah ayat al-Qur’an, QS. Al-Ahzab 59 yang berbunyi:
“Hai Nabi katakanlah kepadan istri-istrimeu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat di atas
mendeskipsikan bahwa jilbab adalah pakaian muslimah yang menutupi bagian tubuh
perempuan yang tidak memperlihatkan auratnya, seperti rambut atau leher.
Pemakaian jilbab berarti tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya atau tidak boleh
transparan sehingga memperliahtkan bagian aurat wanita.
Seiring
perkembangan zaman, pemakaian jilbab terus mengalami transformasi. Jika jilbab
dalam konteks syariah dimaknai sebagai pakaian syariah yang bermakna ketaatan
dan kesalehan individu, maka jilbab sebagai fashion lebih dimaknai sebagai
trend dan gaya hidup yang menekankan pada keanggunan perempuan. Konsekwensinya,
perempuan berjilbab tidak semata soal menutup bagian tubuh, tetapi mengikuti
trend pakaian sesuai perkembangan zamannya. Sehingga, tidak berlebihan jika
banyak model jilbab yang didesain cukup modis sesuai selera perempuan kekinian.
Bahkan, ada fenomena, perempuan berjilbab tetapi masih memakai pakaian yang
justru memperlihatkan bagian tubuhnya. Lalu, bagaimana memaknai jilbab di era
kekinian; benarkah pemakaian jilbab sebagai simbol ketaatan atau kesalehan atau
justru jilbab hanya sebatas trend fashion.
Fenomena Jilbabers
source : http://www.dw.com/id |
Jilbab sebagai
pakaian dapat berasosiasi pada produk budaya, tuntutan agama dan moral. Sebagai
produk budaya, jilbab di berbagai negara memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Antara masyarakat indonesia dan Timur Tengah, desain jilbab
sangat berbeda. Walau pun menampilkan sisi perbedaan yang mencolok, jilbab
sebagai produk budaya tetap tidak lepas dari nilai agama atau tuntutan agama.
Artinya, desain jilbab yang didesain sesuai kondisi sosio-kultural masyarakat
tetap berpedoman pada nilai atau anjuran agama.
Sebagai produk
budaya, jilbab terus mengalami perubahan. Dewasa ini, fenomena jilbab modis
atau trendi begitu marak. Perempuan sudah tidak lagi merasa canggung ketika
harus pergi ke ruang publik dengan memakai jilbab. Jilbab bukan lagi fenomena
kelompok santri atau kelompok tertentu, tetapi sudah menjadi fenomena
masyarakat luas. Tidak sedikit pengguna jilbab di front office kantor-kantor eksekutif (Umar: 2015, 45). Disini,
jilbab telah menjadi komoditi ekspor impor yang terus berkembang. Jilbab tidak
lagi ekslusif untuk kalangan tertentu dan ruang tertentu. Semua orang sudah
mulai merasa anggun dengan memakai jilbab di depan publik.
Fenomena jilbab
trendi tengah menjadi daya tarik luar biasa di kalangan wanita muslimah. Dalam
koridor ini, tentu kita akan sangat berbangga karena dapat menjadi cermin dari
meningkatnya kesadaan masyarakat untuk menutup tubuhnya. Tetapi, benarkah cara
berjilbab trendi tersebut menunjukkan kesalehan dan ketaatan beragama?
Hari ini, kita
bisa melihat banyak salebriti, wanita karir dan mahasiswi di kampus memakai jilbab,
tetapi justru pakaian mereka begitu menonjol dan agar “vulgar”. Hal ini menjadi
pertanyaan besar, bagaimana memaknai fenomena jilbabers; murni sebagai ketaatan
terhadap agama atau hanya sebagai budaya ikut-ikutan trend busana terkini?
Ajaran islam menegaskan
aturan jilbab secara tegas dan jelas. Islam mendeskripsikan jilbab tidak hanya
sebatas menutup kepala, namu juga harus pakaian longgar, tidak membentuk badan,
tidak transparan dan tidak mencolok, sedangkan kerudung harus menutup dada
(Jannah: tt, 101).
Fenomena ini
mengindikasikan bahwa jilbab berdimensi dua hal sekaligus; dimensi materi dan
dimensi rohani. Dimensi materi berupta penutupan tubuh, sementara jilbab rohani
lebih menekankan pada penampilan perempuan di depan publik dengan tidak
berusaha menampakkan bagian tubuh, menerik perhatian demi mencegah penyimpangan
dan kemerosotan akhlak dan perilaku. Dua dimensi ini, saling terkati dan tidak
dapat dipisahkan satu dan lainnya. (Yulikhah: 2016, 101)
Dengan
menggunakan parameter jilbab rohani dan materi berarti berusaha menelaah cara
berjilbab perempuan secara komprehensif. Dalam artian, jilbab semata penutup
tubuh tetapi mencerminkan laku hidup keseharian yang mencerminkan nila-nilai
keislaman. Jadi ketika perempuan menggunakan jilbab, seluruh laku dan
aktifitasnya akan dihitung dan dinilai sebagai pemahaman terhadap agama.
Memakai jilbab
bukanlah kedok untuk mengklaim diri taat dan sholeh menjalankan agama. Tetapi
harus dilihat dari laku hidupnya. Jika perempuan berjilbab, tetapi masih
berperilaku di luar batas nilai-nilai agama, apakah makna penggunaan jilbab
semacam itu? Bukankah pemakaian jilbab digunakan untuk melindungi diri atau
tameng dari berbagai macam ancaman dari luar, seperti pelecehan seksual dan
lainnya.
Hatim Badu
Pakuan (2014) menalaah fenomena komunitas berjilbab menemukan sebuah fakta
bahwa maraknya komunitas berhijab tidak lepas dari semakin maraknya budaya
berjilbab. Ada perempuan yang secara sadar memakai jilbab, tetapi teta
menjadikannya sebagai fashion yang
gaul dan trendi, sedangkan yang lain justru lahir komunitas hijar tetapi
pakaiannya minim ala kebarat-baratan.
Dari penelitian
tersebut, penulis menganggap bahwa fenomena jilbab memang selalu bermakna
ganda; jilbab sebagai keyakinan agama dan kesalehan individu yang ditranformasikan
lewat fashion yang trendi sekaligus jilbab sebatas gaya hidup yang tidak
mencerminkan nilai keagamaan. Fenomena kedua lebih kepada shock culture atau latah terhadap perkembangan dunia fashion. Sehingga, mereka yang berjilbab
tetap menampilkan tubuh yang menonjol.
DAFTAR PUSTAKA
El-Ghundi,
Fadwa. 2003. Jilbab: Antara Kesalehan,
Kesopanan dan Perlawanan. Jakarta: Serambi
Jannah,
Raudatul. tt. Sudah Benarkah Kita
Berhijab? Jakarta: Guepedia.
Umar,
Nasaruddin. 2014. Mendekati Tuhan dengan
Kualitas Feminim. Jakarta: Elex MYuedia Komputindo
Yulikhah,
Safitri. “Jilbab: Antara Kesalehan dan Fenomena Sosial”. Jurnal Dakwah, Vol.
36. No. 1, Januari-Juni 2015
Hatim Badu
Pakuna. “Fenomena Komunitas Berjilbab: Antara Ketaatan dan Fashion”. Jurnal Farabi, Vol. 11. No. 1, Juni 2014
Chamim Thohari.
“Konstruksi Pemikiran Qurash Shihab Tentang Hukum Jilbab : Kajian Hermeneutika
Jilbab”, Jurnal UMM, Volume 14, Nomor 1, Januari-Juni 2011
0 Comment "Jilbab; Kesalehan atau Trend Busana?"
Posting Komentar