Modernisasi Iran di masa rezim
Pahlevi berupa adopsi terhadap budaya Barat. Visi modernisasi Iran yang
dilakukan rezim Pahlevi terciptanya institusi pendidikan sekuler yang sebanding
dengan Eropa; memperkenalkan perempuan pakaian Eropa, baik di sekolah, mengajar,
bekerja di luar rumah.
Reza Shah visiting Luristan after banning the veil Source: http://www.parstimes.com |
Sebuah artikel di Iran Review
bertajuk “The Removing of Hijab in Iran” menegaskan bahwa langkah yang
ditempuh rezim Pahlevi dapat mulai mengkampanyekan pelepasan hijab dengan
mengadakan kongres perempuan di Kota Teheran, Iran tahun 1932. Kongres yang
dipimpin oleh anak Reza Shah ini mengundang banyak perempuan dari negara lain
yang nota benenya tidak memakai hijab. Rezim Pahlevi memformulasi ulang hukum dengan
diinspirasi negara tetangga, seperti modernisasi di Afghanistan dan sekularisasi
di Turki.
Ketika Reza Shah melakukan
kunjungan ke Afghanistan, ia meliaht ratu Afghanistan yang tidak memakai hijab
dan menjadikan Reza Shah berpikir untuk melakuan formulasi cara berpakaian di
Iran. Sementara, ketika ia berkunjung ke Turki, pada 2 Juni 1934, Reza begitu terperangah
dengan cara pandang pemimpin Turki dalam menerapkan pola pikir barat
(westernisasi).
Pada tahun 1936, Reza Pahlevi
secara resmi melarang hijab sebagai bentuk kebangkitan perempuan dan rencana
modernisasi Iran. Langkah Reza Shah dalam menghapus hijab dengan
“menginstruksikan” pada mentri dan anggota parlemen untuk melepaskan hijab
wanita. Caranya, menghapus jilbab para istri mentri, anggota parlemen dan
pejabat negara lainnya.
Pelarangan hijab yang dilakukan
oleh Reza Shah bukan tanpa konflik dan penentangan. Akibat dari pemberlakukan
larangan memakai hijab, perempuan Iran banyak yang melakukan pemberontakan dan
menentang keras rezim Reza Shah.
Penentangan yang dilakukan oleh
masyarakat salah satunya dapat dilihat dari pemberontakan yang terjadi di
Masjid Goharshad di kota Masyhad di Iran Timur Laut pada bulan Juli 1935. Ayatullah
Khomeini salah satu ulama yang menentang keras pelarang hijab di Iran.
Sehingga, berdampak pada pengasingan banyak ulama, termasuk Khomeini.
Bagi sebagian perempuan,
pelarangan hijab berarti sebuah kebangkitan, bukan liberalisasi Iran. Akan tetapi,
banyak perempuan yang takut keluar rumah jika harus melepas jilbab, karena
mereka takut dipaksa polisi. (Jennifer Sands; 2014, 1)
Fadwa El-Ghundi dalam buku Jilbab:
Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan (276-278), memberikan deskripsi
bagaimana hijab atau jilba telah banyak melahirkan gaerakan perlawanan dari
rakyat. Fatma El-Ghundi mengatakan: Simbol perlawanan yang di Iran sebagai
bentuk perlawanan terhadap westrenisasinya, Syah Reza Pahlevi yang melarang
penggunaan jilbab pada tahun 1936, dan polisi akan menahan wanita-wanita yang
memakai jilbab dan akan dengan paksa polisi itu harus melepaskan jilbab yang
mereka kenakan. Para ulama dianiaya. Tidakan perintah tidak menggunakan jilbab ini
disambut baik oleh laki-laki dan perempuan dari kelas atas yang telah terbaratkan.
Sejak itulah isu hijab ini menjadi luka dalam bagi politik Iran, membangkitkan
emosi kuat bagi semua pihak. Isu ini juga menjadi arena utama konflik antara
kekuatan modernitas melawan otoritas Islam, dimana semua pihak memproyeksikan
visi mereka sendiri akan moralitas.
Pada tahun 1920, disarankan bahwa
wanita Iran seharusnya meniru wanita Turki dan mengganti jilbabnya dengan sapu
tangan. Untuk laki-laki “Topi Pahlevi” yang diadopsi dari Prancis dinyatakan
sebagai topi resmi untuk laki-laki Iran. Namun undang-undang tentang kode
berpakaian dicabut kembali, dan setelah Syah Reza turun tahta pada tahun 1941
kewajiban melapas jilbab tidak diberlakuakan lagi. Walaupun memakai jilbab
sudah tidak melanggar hukum, namun jilbab masih merupakan penghalang untuk meningkatkan
karir sosial, sebuah pelambang keterbelakangan dan penanda kelas. Jilbab
dianggap sebagai penghambat kesempatan untuk maju dalam bekerja dan
bermasyarakat bukan hanya untuk perempuan, tapi juga untuk laki-laki.
Pada tahun 1970 hijab digunakan
untuk menolak kaum Pahlevis dan juga menolak undang-undang dan gerakan
westernisasinya. Banyak wanita pekerja dari kelas menengah kota secara suka
rela memakai jilbab. Pada tahun 1983 muncul gerakan tidak memakai jilbab
dianggap melanggar hukum dan bisa dikenai hukuman cambuk. Dan dari situ tidak
ada wanita yang tebuka kepalanya di wilayah Iran. Jilbab meupakan metafora yang
penuh kekuatan, sanggup mengayomi berbagai makna dan membentuk banyak fungsi.
Pemberdayaan jilbab dapat menjadi sangat kuat sebagaimana pelarangannya. Jilbab
tidak diragukan lagi membatasi sebagian wanita. Jilbab juga mengemansipasikan
yang lain dengan melegeltimasikan kehadiran mereka di tengah kehidupan politik.
|
Radhika Saghani (2015,
telegrap.uk) menggambarkan bagaimana perempuan Iran yang selalu tertindas. Ada
periode dimana mereka dibebaskan dan berhenti mengenakan jilbab, selama dinasti
Pahlevi dari tahun 1925 sampai 1979. Ketika revolusi Iran terjadi dan Ayatollah
Khomeini mendirikan Republik Islam Iran, kebebasan wanita diambil kembali.
Mereka dipaksa mengenakan jilbab dan mereka dipisahkan menurut jenis kelamin.
Sumber:
iran review
telegraph.uk
Fadwa
El-Ghundi, Jilbab: Antara
Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan. Jakarta: Serambi. 2003
0 Comment "Rezim Pahlevi Melarang Hijab"
Posting Komentar