iheartparsons.com |
A. Catatan Pengantar
Pemikiran John Locke sangat luas
cakupannya. Sebagai bapak emperisme, ia memiliki pandangan yang mampu
mempengaruhi para filsuf atau pemikir setelahnya seperti Kant dan Hume. Saat
menelaah pemikiran filsafat John Locke tentang tabula rasa, penulis
seolah tidak bisa lepas dari dua hal, yaitu adanya hadis tentang bayi yang
terlahir dalam keadaan fitrah, kedua adanya perjanjian primordialisme manusia
dengan Tuhan.
Penulis sangat kesulitan melepaskan
dua konsep tersebut, terlebih ketika dikaitkan dengan fenomena modern hari ini,
bahwa banyak seorang ibu yang mengandung telah memperdengarkan musik klasik bagi
bayinya. Konsep tabularasa, primordialisme, dan hadis begitu berkelindan dalam
pikiran penulis. Benarkah manusia lahir dalam keadaan kosong ataukah ia sudah
terisi pengetahuan sejak dalam kandungan. Penulis tidak akan berusaha menjawab
pertanyaan itu (saya yakin masing-masing kita punya jawaban sendiri-sendiri).
Penulis hanya sebatas menguraikan pemikiran John Locke tentang tabula rasa
dan pengetahuan manusia.
B. Biografi John Locke
John Locke adalah filosof Inggris. Ia
adalah sosok filosof emperisme sebagai penentangan rasionalisme. Ia dilahirkan
di Wrington Somerst pada tanggal 29 Agustus 1632. Ia belajar di Westminster
School selama lima tahun yaitu pada tahun 1647-1652 pada tahun itu juga hingga
tahun 1656. Ia melanjutkan studinya di Christ Church, Oxford untuk mempelajari
agama dan mendapat gelar B.A. disana ia kemudian melanjutkan studinya lagi
untuk mendapatkan gelar M.A.
Ia kemudian belajar ilmu kedokteran
dan pada tahun 1667 menjadi sekretaris dan dokter pribadi Earl Shaftesbury
pertama, yang memimpin partai Whig.[1]
Dari tahun 1675 hingga 1679, Locke berada di Prancis. Disana ia banyak
mempelajari filsafat Descartes dan mengembangkan pandangan filsafatnya sendiri.
Pada
tahun 1683 shaftesbury terancam
akan diimpeacchment karena telah
melakukan pengkhianatan. Locke lari ke Belanda dan di sana ia menulis esai yang
berjudul An Essay Concerning Human Understanding[2]
yang di terbitkan pada tahun 1690. Publikasi esai ini telah membawa perubahan
besar bagi filsafat. Setelah revolusi tahun 1688, Locke kembali ke inggris
untuk mengiringi raja orange yang akan menjadi Queen Mary.[3]
Sejak itulah, karya-karya Locke tersebar dan banyak mempengaruhi filsuf
lainnya, seperti Hume dan dan Berkeley.
Pemikiran John termuat dalam tiga
buku pentingnya yaitu Essay Concerning Human Understanding, terbit tahun
1600; Letters On Tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan Two
Treatises On Government, terbit tahun 1690. Karya-karya penting dari John
Locke seperti (A Letter
Concerning Toleration, 1689); (A Second Letter Concerning Toleration,
1690); (A Third Letter for Toleratio, 1692) ; (Two Treatises of
Government, 1689); (An Essay Concerning Human Understanding, 1689); (Some
Thoughts Concerning Education, 1693); (The Reasonableness of
Christianity, as Delivered in the Scriptures, 1695) ; (A Vindication of the
Reasonableness of Christianity, 1695) ; (First Tract of Government
atau the English Tract, 1660); (Second
Tract of Government atau the Latin Tract, 1662); (Questions
Concerning the Law of Nature, 1664); (Essay Concerning Toleration, 1667);
(Of the Conduct of the Understanding, 1706); dan (A Paraphrase and
Notes on the Epistles of St. Paul, 1707) .
C. Emperisme John Locke
1. Tabula rasa Sebagai Bantahan Innate Idea
Gagasan emperisme[4]
John Locke terlahir sebagai bantahan atau kritik atas doktrin Rene Descartes
tentang innate idea.[5]
Locke mengkritik Descartes tentang pengetahuan yang bersifat a priori[6].
Penolakan Locke atas konsep Descartes menegaskan sebuah tesis barunya berupa
pengetahuan yang a posteriori[7].
Menurut Locke ide bayi yang baru lahir ibarat kertas putih kosong atau tabula
rasa.[8]
Pengalaman inderawi yang akan mengisi pikiran itu menjadi sebuah pengetahuan.
Semua pengetahuan manusia diturunkan dari ide yang disajikan pikirannya stelah
melalui pengalaman yang dialaminya.
Bantahan Locke terhadap Descartes terdapat
dalam bukunya, An Essay Concerning Human Understanding[9].
Penekanan Locke akan pengetahuan yang berdasarkan pengalaman ialah pengalaman
inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari observasi yang kita lakukan terhadap
jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner sense
(pengindera dalam)[10].
Locke berpandangan bahwa tidak ada
pengetahuan yang mendahului pengalaman manusia. Segala sesutu yang diperoleh
manusia tidak pernah didapatkan dari genetika orang tuanya, tetapi dari
persepsi pengalamannya. Persepsi menurut locke adalah langkah pertama menuju
pengetahuan dan ceruk dari semua isinya.[11]
Tesis tabula rasa Locke
menolak sebuah anggapan bahwa anak kiai, petani, seniman, atau pedagang belum
tentu akan memiliki pengetahuan yang sama dengan orang tuanya. Karena
pengetahuan itu tidak diwariskan sejak lahir, melainkan didapat dari pengalaman
dan interaksi dengan lingkungannya. Anggapan ini juga menguatkan sebuah pandangan
bahwa orang yang berteman dengan tukang minyak akan mendapatkan harumnya,
sementara orang yang berteman dengan maling akan menjadi maling pula. Teori
Locke memberikan sebuah pilihan kepada manusia untuk menentukan nasib sesuai
dengan pilihannya sendiri.
Ide-ide manusia dibangun dari dua
sumber, yaitu indera atau pengalaman lahiriah (sense atau eksternal
sensatition) dan persepsi atau pengalaman batiniah (internal sense atau
reflection).[12]
Pengalaman lahiriah adalah pengalaman yang menangkap aktivitas indrawi yaitu
segala aktivitas material yang berhubungan dengan panca indra manusia. Kemudian
pengalaman batiniah terjadi ketika manusia memiliki kesadaran terhadap
aktivitasnya sendiri dengan cara 'mengingat', 'menghendaki', 'meyakini', dan
sebagainya. Kedua bentuk pengalaman manusia inilah yang akan membentuk
pengetahuan melalui proses selanjutnya.
Kedua macam pengalaman ini saling
berkaitan. Pengalaman lahiriah menghasilkan gejala-gejala psikis yang harus
ditanggapi oleh pengalaman batiniah. Objek-objek pengalaman lahiriah itu
mula-mula menjadi isi pengalaman, karena dihisabkan oleh pengalaman batiniah,
artinya : objek-objek itu tampil dalam kesadaran. Ketika sesorang mengenal, berarti
ia mengenal secara sadar.
Sebuah fenomena modern yang perlu
dijawab oleh konsep tabula rasa adalah bagaimana hubungan musik yang
diperdengarkan kepada bayi sejak dalam kandungan dengan kecerdasan bayi?
Bukankah ketika bayi diperdengarkan musik sejak dalam kandungan, berarti si
bayi telah menyerap pengetahuan sejak ia dalam kandungan.
Tabula rasa yang
dikonsepsikan John Locke menegaskan bahwa pengetahuan manusia selalu berkaitan
dengan pengalaman. Konteks pengalaman akan sangat berkaitan pula dengan
lingkungan yang membentuk manusia. Maka ketika bayi yang sejak dalam kandungan
diperdengarkan musik, berarti bayi yang lahir tidak dalam keadaan kosong. Ia
telah menyerap pengetahuan pertama dari ibunya, berupa musik. Ibu berperan
sebagai lingkungan pertama.
Menurut penulis, fenomena itu tidak
bertentangan dengan konsep tabula rasa. Artinya bayi yang diperdengarkan
musik, akan belajar sejak dalam kandunan dan mempelajari suara-suara dari
ibunya yang berasal dari luar. Pikiran ibunya juga berpengaruh terhadap bayi
yang ada dalam kandungan.
Banyak ilmuwan dan peneliti telah
membuktikan kebenaran dari konsep tabula rasa John Locke berkaitan
dengan pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman. Seorang bayi telah
mendapatkan pengalaman sejak ia berada dalam kandungan.
2. Teori Pengetahuan
Ide adalah cara reaksi subjektifku
terhadap pengaruh dari benda-benda yang menimpaku. Mereka adalah gambaran di
dalam kesadaranku mengenai benda-benda material di luar diriku.[13]
John Locke membagi ide menjadi dua, yaitu ide sederhana (simpleks) dan ide
kompleks. Pada awalnya, tangkapan indera yang masuk itu berupa ide sederhana,[14]
lama kelamaan berubah menjadi ide yang kompleks.[15]
Dari dua ide inilah manusia
membangun pengetahuannya. Bagaimana pun kompleksnya pengetahuan manusia, ia
selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat
diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera
itulah sumber pengetahuan yang benar. Karena itulah metode penelitian yang
menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen[16].
Akal sebagai sejenis tempat
penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini
berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai
kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan
sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau
tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau
setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal faktual.[17]
Menurut Locke ide sederhana berasal
dari tangkapan panca indera kita, maka ide sederhana tidak dapat keliru.
Sementara ide kompleks bisa keliru karena berasal dari hasil refleksi, hasil
dari olah pikir budi. Ia bukan berasal langsung dari objek.[18]
Pertanyaan tentang ide sederhana
yang tidak dapat keliru akan muncul tentang bagaimana objektifitas (kebenaran) sebuah
panca indera dalam melihat objek jika dikatikan dengan cara pandang, panca
indera dan kaca mata manusia? Dalam pandangan Locke bahwa jiwa dan mind manusia
dalam keadaan kosong tanpa ada pengaruh subjektif dari apa yang ditangkap panca
indera. Lebih lanjut Locke menegaskan bahwa semua itu berkaitan dengan penilaian
atas objek yang dipengaruhi refleksi.[19]
Kenyataan objektif berasal dari sensasi
langsung atas objek, bukan berasal dari daya refleksi pikiran atas tangkapan
dari objek. Ketika panca indera menangkap objek, sensasi langsung itulah yang
memunculkan ide sederhana, sementara refleksi atas objek akan melahirkan ide
kompleks.
Singkirkan sensati mengenai mereka:
tanpa mata yang melihat sinar, atau warna; atau tanpa telinga yang mendengar
suara; tanpa langit-langit mulut yang merasa; atau hidung yang membau; maka
semua warna, bau, dan suara sebagai ide-ide khusus akan lenyap dan berhenti, dan
mereka direduksi kepada sebab-sebab mereka, yaitu kumpulan, bentuk, dan gerakan
dari berbagai bagian-bagian.[20]
Ketika Locke membahas ide sebagai daya
tarik dari pengalaman-pengalaman, maka kualitas dianggap sebagai kekuatan pada
objek untuk menghasilkan ide-ide dalam diri manusia. Locke membedakan
‘kualitas’ bola salju yang mampu menghasilkan ide putih, dingin, dan bulat
dalam subjek. Persepsi yang terjadi dalam subjek itulah yang dimaksud ide.[21]
Locke pun membedakan kualitas
menjadi dua, yaitu kualitas primer dan kualitas sekunder. Kualitas primer sebuah
subjek tidak berubah dan melekat pada pada objek. Ide simpleks dihasilkan dari kualitas
primer. Kualits primer inheren dalam objek, seperti keluasan, bentuk bentuk,
ukuran, gerak, massa dan lain sebagainya. Kualitas sekunder adalah daya yang
mempengaruhi sebuah subjek. Ia merupakan kenyataan subjektif yang tidak ada
pada objek, oleh karenanya ia berubah-ubah sesuai persepsi subjek.[22]
Dua kualitas ini berusaha membedakan
apa yang hakiki dan apa yang berubah-ubah dalam objek atau kenyataan di luar
kita. Kualitas primer sebagai bentuk penegasan atas atas dunia objektif atau
kebenaran dalam objek. Sementara, kualitas sekunder sebagai sebuah penjelas
bahwa objek mampu menghasilkan pengindraan dalam sebuah subjek.[23]
Manusia akan mampu mencapai
pengetahuan yang pasti, tidak bisa diragukan, dan bersifat universal dalam kaitan
dengan kualitas primer dari objek yang ditangkap oleh panca indera. Manusia
tidak akan pernah mencapai pengetahuan yang sejati, pasti, dan universal dari kualitas sekunder
karena dalam kualitas sekunder manusia memiliki pandangan yang berbeda-beda.[24]
Untuk mengetahui kualitas primer adalah
kenyataan objektif dan kualitas sekunder adalah subjektif dari ide sederhana
dan ide kompleks, Locke menjelaskan bahwa ide muncul karena akal budi melalui
panca indera menangkap objek. Kualitas muncul karena objek memproduksi dalam
diri kita ide tertentu. Untuk menghasilkan pengetahuan, subjek dan objek tidak
pernah bisa dilepaskan, keduanya saling bekerja sama.[25]
Dengan membedakan kualitas primer
dan sekunder, Locke berusaha mengungkapkan subtansi material dari sebuah objek.
Dalam konsep subtansi, ia lebih banyak berbicara tentang intuisi. Menurut Locke;
pengetahuan kita diperoleh lewat intuisi. Eksistensi Tuhan, akallah yang
memberitaukan pada kita.[26]
Locke percaya bahwa akal manusia mampu mengetahuai Tuhan itu ada.[27]
Sebagai seorang empiris, Locke
tampak ragu membedakan antara intuisi dan sensasi. Ia pun mengatakan bahwa apa
yang diketahuai manusia tidak akan pernah lepas cara panca indera memahami sesuatu
yang dikirim lewat panca indera. Subtance is we know not what, tentang
subtansi, kita tidak tahu-apa-apa. Locke pun, tidak berani menegaskan ide
sebagai subtansi subjek.
‘Ketidaktahuan’ Locek atas subtansi subtansi
membuatnya meyakini akan adanya tiga pengetahuan, yaitu pengetahuan intuitif,[28]
demonstratif,[29]
dan inderawi.[30]
Pengetahuan intuitif bersifat pasti secara absolut, pengetahuan demonstratif
bersifat pasti seperti bukti matematis, dan pengetahuan inderawi bersifat
problematik, maksimal merupakan dugaan yang baik.[31]
Pengetahuan intuitif berupa
pengetahuan sebagaimana objeknya, seperti pengetahuan warna putih adalah putih—ia
menegaskan pengetahuan secara pasti. Pengetahuan demonstratif—pengetahuan yang
munculd di akhir pembuktian matematis—atau pengetahuan tidak cukup pasti. Pikiran
mungkin akan kesulitan memahami persetujuan di antara dua ide sekaligus, sebagaimana
yang terjadi dalam intuisi. Namun, melalaui intervensi intuisi, sebuah
demonstrasi, kita dapat melihat hubungan antar ide. Sesuatu tidak lebih pasti
adalah pengetahuan sensitif.[32]
3. Kelemahan John Locke
Ketika Locke mengkonsepsikan
pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi, maka pertanyaan yang muncul,
bagaimana Locke menjawab pengalaman seorang indigo atau pengalaman mistik
seseorang dan orang yang memiliki indera keenam?
Dalam kacamata penulis, pengalaman
yang didapatkan seorang indigo atau orang yang memiliki indera keenam adalah
pengalaman yang sifatnya batiniah. Hal ini serupa dengan pengalaman mistik dari
seseorang. Kita tidak bisa menyangkal adanya fenomena manusia yang memiliki
kelebihan tersebut. Oleh karenanya, konsepsi pengetahuan yang didapatkan pun
akan sangat berbeda dengan pengetahuan umum (common sense) masyarakat luas.
Secara common sense, pengalaman yang
lahir dari mereka adalah pengetahuan yang samar tentang sebuah objek. Pengetahuan
akan berjalan sesuai dengan ide yang berjalan pula. Ketika kita mengetahui ide
merepresentasikan kualitas primer, namun ide tentang kualitas sekunder tidak
berada dalam objek itu.
Lalu, mengapa indera mampu
menghasilkan kualitas sekunder? Menurut Locke, ide selalu berdiri dalam
kebutuhan koneksi yang tidak pernah diketahui alasannya. Kita diputus oleh
pemahaman tentang eksistensi riil dan sifat alamiyah dari sesuatu. Kita
memiliki pengetahuan intuitif dan demonstratif dari diri kita.[33]
Saat kita melihat fenomena orang
indigo, orang yang punya indera keenam, atau orang yang punya pengalaman
mistik, kita hanya mengetahui kenyataan itu tanpa bisa masuk ke dunia mereka. Semua
itu di luar kemampuan manusia secara umum. Artinya, kebenaran individual tidak
akan mampu menjabarkan kebenaran universal. Pengalaman individu hanya dapat diketahui
tanpa mampu diterima secara universal oleh masyarakat luas.
Berikut ini penulis sajikan beberapa
kelemahan emperisme;
·
Indra
terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil benda itu
kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan objek salah.
·
Indera
menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulara rasanya pahit, udara panas
dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
·
Objek
yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak
sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membihongi indera. Ini jleas dapat
menimbulkan inderawi yang salah.
·
Indera
dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat
seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan
badannya secara keseluruhan. Jika melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah
kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus
memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan
indera manusia.[34]
PENUTUP
John
Locke telah melahirkan sebuah konsep pengetahuan yang disebut tabula rasa,
seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Menurut Locke, seluruh
pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Posisi ini adalah posisi
empirisme yang menolak pendapat kaum rasionalis
yang mengatakan sumber pengetahuan manusia yang terutama berasal dari rasio
atau pikiran manusia. Rasio manusia hanya berfungsi untuk mengolah
pengalaman-pengalaman manusia menjadi pengetahuan sehingga sumber utama
pengetahuan menurut Locke adalah pengalaman.
Pemikiran
Locke tentang pengetahuan memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf
setelahnya, khususnya David Hume di Inggris dan Kant
di Jerman.
Pandangan Locke tentang proses manusia mendapat pengetahuan memiliki dua
implikasi penting. Pertama, munculnya anggapan bahwa seluruh pengetahuan
manusia berasal dari pengalaman, dan tiadanya pengetahuan secara apriori
(sebelum pengalaman) sebagaimana yang dikatakan Descartes. Kedua, semua hal
yang manusia ketahui melalui pengalaman, bukanlah obyek atau benda pada dirinya
sendiri, melainkan hanya kesan-kesan indrawi dari hal itu yang diterima oleh
panca indra manusia.
Dari
perpaduan dua bentuk pengalaman manusia, pengalaman lahiriah dan pengalaman
batiniah, diperoleh apa yang Locke sebut 'pandangan-pandangan sederhana' (simple
ideas) yang berfungsi sebagai data-data empiris.
DAFTAR PUSTAKA
Megee, Bryan. The Story of
Philosophy. Yogyakarta Kanisius, 2008
Hardiman, F. Budi. Filsafat
Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta: 2007
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum,
Akal dan Hati dari Thales Sampai Capra. Bandung : Rosda, 2008
Yuana, Kumara Ari. The Great
Philosphers : 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM- Abad 21 yang Menginspirasi
Dunia Bisnis. Yogyakarta : Penerbit Andi,
2010
Russell, Betrand. Sejarah
Filsafat Barat, Penerjemah Sigit Jatmiko, dkk. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002
Hadiwijono, Harun. Seri Sejarah
Filsafat Barat, Book 2. Yogyakarta:
Kanisius, 2007
Hadi, Protasius Hardono &
Kenneth T. Gallagher. Epistemologi; Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta : Kanisius,
1994
Kattsof, Louiss O. Elements of Phylosophy,
Pengantar Filsafat., alih bahasa: Soejono Soemargono.
Tiara Wacana, Yogyakarta: 2004
Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua. Ilmu
Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta
: Kanisius, 2001
Smith, Linda & William Raeper. Ide-Ide
Filsafat dan Agama : Dulu dan Sekarang. Yogyakarta
: Kanisius, 2007
Garder, Joestein. Dunia Sophie : Sebuah
Filsafat. Bandung : Mizan Pustaka, 2011
Garvey, James. 20 Karya Filsafat
Terbesar. Yogyakarta: Kanisius,
2007
Bachtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Press,
2011
[1] John Locke bergabung dengan kubu parlemen yang menentang kekuasan Raja
Charles II, lihat Bryan Megee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta
Kanisius, 2008), hlm. 102. Locke dilahirkan dari keluarga puritan yang memihak
parlemen. Sikap puritan inilah yang menular ke John Lokce hingga ia terlibat
dalam partai itu. Lihat F.
Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (PT.
Gramedia Pustaka, Jakarta: 2007) hal.74
[2] Esay ini ditulis dalam kurun waktu 20 tahun (1671-1689). Locke banyak
berdiskusi dengan Boyle dan Issac Newton untuk meletakkan dasar ilmiyah ilmu
pengetahuan. Lihat dalam Kumara Ari Yuana, The Great Philosphers : 100 Tokoh
Filsuf Barat dari Abad 6 SM- Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, (Yogyakarta
: Penerbit Andi, 2010), hlm. 169
[5] Locke membantah argumentasi Descartes sebagai berikut: 1) Dari jalan masuknya pengetahuan kita
mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa
innate itu ada. Ia itu seperti distempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa
membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada
kita bagaimana pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah
tanpa bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu
pengertian asli. 2) Persetujuan umum adalah argumen yang kuat. Tidak ada
sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea itu sebagai
suatu daya inhern. Argumen ini ditarik dari persetujuan umum. Bagaimana kita
akan mengatakan innate idea itu ada padahal umum tidak mengakui adanya. 3) Persetujuan
umum membuktikan tidak adanya innate idea. 4) Apa innate idea itu sebenarnya
tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti
yang mengatakan ada innate idea justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia
tidak ada. 5) Tidak juga dicetakkan
(distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, idea yang innate itu tidak ada.
Padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berfikir. Dalam Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Akal dan Hati dari Thales Sampai Capra, (Bandung : Rosda, 2008), hlm.
175-176
[7]
Semua pengetahuan datang dari pengalaman. Idea atau konsep tentang sesuatu yang
berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan. Konsep ini
sebagai bentuk penolakan Locke terhadap tesis innate idea yang diajarkan
oleh Descartes, Clear and distinc idea. Adequate idea dari
Spinoza, truth of reason dari Leibniz. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,
Akal dan Hati dari Thales Sampai Capra, (Bandung : Rosda, 2008), hlm. 175
[8] Ide Tabula rasa telah ada dalam karya Aristoteles, De Anima
atau Tentang Jiwa. Karya Ibnu Sina dan Ibnu Thufail dalam karyanya, Hayy
Ibn Yaqdzan yang bercerita tentang seorang anak yang hidup dengan kijang. Lihat
Kumara Ari Yuana, The Great Philosphers : 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6
SM- Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2010),
hlm. 170-171
[9] Buku ini membahas sifat pemahaman manusia, yaitu proses berjalannya
pikiran manusia untuk mengumpulkan data yang masuk melalui indera, menyusun
data, mengklarifikasi data, dan akhirnya menggunakan data untuk mengambil
keputusan berdasarkan informasi data itu. Dalam Kumara Ari Yuana, ibid,
hlm. 168-169
0 Comment "Filsafat John Locke"
Posting Komentar