Furiosa, lakon dalam film Mad Max Fury Road yang memikat saya lewat perjalanan panjangnya melarikan diri dari Citadel. Ya, Furiosa perempuan tangguh yang merencanakan penghianatan terhadap Immortan Joe, pemimpin Citadel. Ia merencanakan pelarian diri bersama para selir Immortan Joe dengan membawa mobil rig besar.
Disini, saya tak sedang mereview film tersebut karena filmnya sudah lama. Saya hanya menangkap sisi menarik dari film ini yang bisa jadi sangat subjektif. Saya begitu menikmati film ini karena adegan yang menegangkan dan cenderung gila. Adegan pertama hingga terakhir dimulai dengan ketegangan, apalagi ditambah dengan adegang kejar-kejaran antara Furiosa, War-boy dan Immortan Joe.
Saya tertarik dengan sosok Furiosa yang melarikan diri dari Citadel dengan membawa selir Immortan Joe. Saya melihat sosok Furiosa sebagai diri yang selalu menyimpan harap di setiap hidupnya. Ia adalah perempuan tangguh yang selalu optimis dengan apa yang dilakukan, keluar dari “neraka Citadel” menuju Green Place, tempat lahirnya. Perjalanan kejar-kejaran dengan war-boy dan Immortan Joe hanyalah sebuah titik proses dimana ia begitu punya harapan yang besar bahwa di tempat lahirnya, Green Place sebagai tempat yang indah, subur tanpa penyiksaan.
Saya membayangkan, Furiosa tengah memimpikan hidup di negeri yang disebut “tanah kita tanah surga” dalam bahasa Koes Plus. Ia bermimpi hidup di sebuah tempat yang segalanya ada, “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Itulah tanah surga, tanah hijau anugerah sang kuasa.
Harapan yang tertanam dalam diri Furiosa begitu mencengkram kuat dalam dirinya. Ia tak pernah mempedulikan bahaya yang akan merenggut jiwanya. Semua dilakukan demi sebuah harapan untuk lebih baik. Walau akhirnya, ia sadar bahwa harapan tak akan pernah terwujud. Saat ia menyadari bahwa Green Place itu telah hancur, ia begitu terpukul hancur. Hanya tertunduk lesu dengan kenyataan yang ia hadapi. Hingga akhirnya, ia terlibat sebuah percakapan dengan Max.
Dalam sebuah scene Max berkata pada Furiosa: “Kau tahu, harapan adalah sebuah kesalah. Jika kau tak bisa memperbaiki dirimu dan yang lain. Kau akan gila.”
Ungkapan ini menjadi pengingat bagi Furiosa bahwa ia tidak bisa berharap pada apa pun dan siapa pun. Ia harus menjadi dirinya sendiri. Diri yang bisa memperbaik diri sendiri dan orang lain. Pelariannya mungkin hanyalah kesia-siaan, tetapi jika ia tak mampu berdamai dengan keadaan, ia akan mati oleh harapan.
Momen ini memikat saya pada sebuah refleksi panjang tentang hidup. Betapa dalam hidup, kadang kita terlalu menyandarkan diri pada orang lain. Kalau tidak boncengan, tidak mau bepergian. Kalau tidak ada motor tidak, malas bersilaturahmi.
Harapan memang ibarat sumbu hidup. Dengan harapan, kita mengerahkan seluruh kekuatan diri untuk merengkuhnya. Kita akan menjadi manusia yang selalu menaruh harap dalam setiap detik dan detak jantung kita. Saat harapan itu terhempas, patah. Jatahu.
Manusia hidup untuk sebuah harapan. Tetapi, saat ia sadar harapan itu adalah penyesalan, ia baru mengerti hidup selalu tentang apa yang didapatkan bukan apa yang dijalani. Coba kita lihat, berapa banyak orang yang akan datang saat kita terhempas oleh harapan dan berapa banyak pula orang yang akan datang saat kita menggapai harapan itu.
Siapa yang peduli dengan kegagalan dan kejatuhan. Siapa pula yang bertepuk tangan atas capaian hidup? Kegagalan menentukan siapa yang peduli atasmu. Keberhasilan akan menunjukkan siapa yang datang atasmu. Seberapa kuat ia menahan rasa sakit karena dihempaskan dan terjatuh dan seberapa besar pula ia akan berbangga atas keberhasilannya. Ada yang jatuh, lalu bangkit. Ada yang sukses, lalu terjungkal. Ada pula yang jatuh, tetapi selalu saja ada pikiran, ialah sang pemenang.
Kau memilih terjatuh atau sukses itu hanya soal jalan yang kau tempuh, siapa yang bersamamu dan berapa temanmu.
Disini, saya tak sedang mereview film tersebut karena filmnya sudah lama. Saya hanya menangkap sisi menarik dari film ini yang bisa jadi sangat subjektif. Saya begitu menikmati film ini karena adegan yang menegangkan dan cenderung gila. Adegan pertama hingga terakhir dimulai dengan ketegangan, apalagi ditambah dengan adegang kejar-kejaran antara Furiosa, War-boy dan Immortan Joe.
Saya tertarik dengan sosok Furiosa yang melarikan diri dari Citadel dengan membawa selir Immortan Joe. Saya melihat sosok Furiosa sebagai diri yang selalu menyimpan harap di setiap hidupnya. Ia adalah perempuan tangguh yang selalu optimis dengan apa yang dilakukan, keluar dari “neraka Citadel” menuju Green Place, tempat lahirnya. Perjalanan kejar-kejaran dengan war-boy dan Immortan Joe hanyalah sebuah titik proses dimana ia begitu punya harapan yang besar bahwa di tempat lahirnya, Green Place sebagai tempat yang indah, subur tanpa penyiksaan.
Saya membayangkan, Furiosa tengah memimpikan hidup di negeri yang disebut “tanah kita tanah surga” dalam bahasa Koes Plus. Ia bermimpi hidup di sebuah tempat yang segalanya ada, “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Itulah tanah surga, tanah hijau anugerah sang kuasa.
Harapan yang tertanam dalam diri Furiosa begitu mencengkram kuat dalam dirinya. Ia tak pernah mempedulikan bahaya yang akan merenggut jiwanya. Semua dilakukan demi sebuah harapan untuk lebih baik. Walau akhirnya, ia sadar bahwa harapan tak akan pernah terwujud. Saat ia menyadari bahwa Green Place itu telah hancur, ia begitu terpukul hancur. Hanya tertunduk lesu dengan kenyataan yang ia hadapi. Hingga akhirnya, ia terlibat sebuah percakapan dengan Max.
Dalam sebuah scene Max berkata pada Furiosa: “Kau tahu, harapan adalah sebuah kesalah. Jika kau tak bisa memperbaiki dirimu dan yang lain. Kau akan gila.”
Ungkapan ini menjadi pengingat bagi Furiosa bahwa ia tidak bisa berharap pada apa pun dan siapa pun. Ia harus menjadi dirinya sendiri. Diri yang bisa memperbaik diri sendiri dan orang lain. Pelariannya mungkin hanyalah kesia-siaan, tetapi jika ia tak mampu berdamai dengan keadaan, ia akan mati oleh harapan.
Momen ini memikat saya pada sebuah refleksi panjang tentang hidup. Betapa dalam hidup, kadang kita terlalu menyandarkan diri pada orang lain. Kalau tidak boncengan, tidak mau bepergian. Kalau tidak ada motor tidak, malas bersilaturahmi.
Harapan memang ibarat sumbu hidup. Dengan harapan, kita mengerahkan seluruh kekuatan diri untuk merengkuhnya. Kita akan menjadi manusia yang selalu menaruh harap dalam setiap detik dan detak jantung kita. Saat harapan itu terhempas, patah. Jatahu.
Manusia hidup untuk sebuah harapan. Tetapi, saat ia sadar harapan itu adalah penyesalan, ia baru mengerti hidup selalu tentang apa yang didapatkan bukan apa yang dijalani. Coba kita lihat, berapa banyak orang yang akan datang saat kita terhempas oleh harapan dan berapa banyak pula orang yang akan datang saat kita menggapai harapan itu.
Siapa yang peduli dengan kegagalan dan kejatuhan. Siapa pula yang bertepuk tangan atas capaian hidup? Kegagalan menentukan siapa yang peduli atasmu. Keberhasilan akan menunjukkan siapa yang datang atasmu. Seberapa kuat ia menahan rasa sakit karena dihempaskan dan terjatuh dan seberapa besar pula ia akan berbangga atas keberhasilannya. Ada yang jatuh, lalu bangkit. Ada yang sukses, lalu terjungkal. Ada pula yang jatuh, tetapi selalu saja ada pikiran, ialah sang pemenang.
Kau memilih terjatuh atau sukses itu hanya soal jalan yang kau tempuh, siapa yang bersamamu dan berapa temanmu.
0 Comment "Furiosa dan Sebuah Harapan "
Posting Komentar