Salahkah Fotokopi?


Beberapa minggu lalu, salah seorang dosen bercerita di kelas bahwa buku yang ia tulis mendapatkan banyak apresiasi dari mahasiswanya. Ia melihat banyak mahasiswanya memegang buku sebagai referensi mata kuliahnya. Akan tetapi, ketika ia mendapatkan laporan dari penerbit, justru penjualan buku tersebut tidak sebanyak yang diperkirakan. Sang dosen merasa heran, bagaimana mungkin, jika hampir seluruh mahasiswa di kelasnya memiliki buku, tetapi laporan penjualan dari penerbit justru berbanding terbalik dari kenyataan.
Dari peristiwa itu, dosen mencari tahu muasal buku tersebut. Akhrinya, dosen itu mnegethuai bahwa mahasiswa yang hampir sekelas punya referensi buku, didapatkan dari memfotokopi buku. Memang, dosen itu tidak menyalahkan mahasiswa secara secara blak-blakan, tetapi ada raut kekecewaan bahwa mahasiswa tidak membeli buku aslinya.
Saat mendengar cerita itu, saya pun terpikir, ada kalanya memang kita perlu menghargai karya orang lain apalagi dosen kita sendiri dengan cara membeli bukunya. Akan tetapi, saya pun menyadari sisi lain, bahwa ada keterbatasan mahasiswa terutama soal uang jajan mereka.
Kelakuan memfotokopi buku memang bukan hal baru di kalangan mahasiswa. Apalagi, buku itu buku klasik atau langka. Mahasiswa yang ingin membaca buku klasik karya founding father seperti Soekarno, Hatta atau Tjokroaminoto memang menempuh jalur fotokopi untuk mengoleksi bukunya dan bisa membacanya.
Ada pertimbangan rasional bagi mahasiswa untuk melakukan fotokopian buku; pertama, harga buku klasik atau langka hampir dipastikan sulit terjangkau bagi kantong mahasiswa. Bagaimana tidak, pada tahun 2009, saya pernah mencari buku “Dibawah Bendera Revolusi” di lapak online, saya temukan, harga buku itu di atas 500 ribu rupiah, bahkan ada yang harganya 10 juta. Saya berpikir, gila benar harga segitu. Saya pun urungkan membeli buku itu. Ya, saya mencari buku itu, memang sebelum buku “Dibawah Bendera Revolusi” terbit ulang. Karena sekitar tahun 2015 atau 2016, buku itu kembali saya lihat di toko buku. Akhirnya, saya mengkoleksi buku baru itu. 
https://www.merdeka.com
Kedua, persoalan fotokopi buku di kalangan mahasiswa biasanya dilakukan ketika mereka benar-benar dalam keadaan kepepet. Mereka butuh referensi, tetapi kantong mulai menipis. Demi menghemat biaya hidup dan membeli buku, mereka harus memfotokopi buku, apalagi buku itu memang sudah buku lama atau klasik. Kondisi ini sering saya temui di kalangan mahasiswa, bahkan saya sendiri. Karena, ketika mereka sedang berkantong tebal dan ada buku yang ingin dibeli, pasti mereka ke toko buku, bukan ke fotokopian.
Boleh saja, kita secara sepihak nyinyir pada pelaku mahasiswa yang suka fotokopi dengan mengatakan mereka tidak menghargai penulis atau tidak menghargai hak cipta, tetapi sebelum kita melakukan penghakiman, kita perlu juga melihat kondisi atau latar belakang mahasiswa melakukan fotokopi buku.
Saya pribadi memang memfotokopi buku, tetapi saya memfotokopi buku, sekiranya buku itu sudah tidak beredar di pasaran (langka atau klasik). Jika buku yang ingin saya beli, masih beredar di toko buku, baik cetak ulang atau lainnya, saya akan membelinya di toko buku. Pertimbangan saya bukan soal menghargai hak cipta atau menghargai jerih payah penulis, tetapi saya merasa lebih nyaman membaca buku asli dari pada fotokopian. Bahwa hak cipta itu penting dan tidak boleh diabaikan, saya mengakuinya, tetapi di luar itu, saya merasa nyaman ketika membeli buku baru.  
Saya mungkin akan mengkritik mereka yang suka memfotokopi, jika mereka memfotokopi buku karena harga lebih murah, sementara di pasaran masih beredar buku itu. Apalagi, mereka yang mampu membeli buku asli, tetapi mereka masih memfotokopi buku.
Saya tidak sedang membenarkan perilaku fotokopi atau pelaku fotokopian, karena memang ada undang-undang yang mengatur serta ada pidana bagi pelaku itu. Sekali lagi, orang memfotokopi buku punya alasan dan kadang itu bukan pilihan utamanya. Lalu, salahkah kita fotokopi buku?


0 Comment "Salahkah Fotokopi?"