The Insult; Narasi Ego dalam Konflik Komunal



Saya penasaran ketika film the Insult masuk nominasi Best Foreign Movie di ajang Oscar, seperti apa film ini, hingga laik masuk nominasi. Apalagi film ini berasal dari Lebanon. Ya, saya memang suka penasaran ketika satu film masuk nominasi, entah Cannes, BAFTA, Oscar, atau penghargaan lainnya. Saya pun menyempatkan mencari film ini. Saya enyahkan dulu hiruk pikuk film Funtastic Women sebagai pemenang Best Foreign Movie.
Saya tak berekspektasi lebih soal film ini, saya hanya ingin melampiaskan rasa penasaran saya akan film dari Lebanon yang masuk nominasi Oscar. Saya pun menonton film ini dengan penuh semangat. Film ini menurut saya begitu memukau dengan memberikan premis-premis umum; konflik pribadi antara dua sosok yang berbeda etnis, agama dan negara. Terasa klise memang premis yang dihadirkan dalam film ini. Tetapi Ziad Doueri meramu premis klasik itu dalam sebuah balutan konflik ke ranah historis dan psikologis.   
Source : IMDB.COM
Film ini mengkisahkan dua sosok Tony Hanna (Adel Karam), warga Lebanon, Kristiani, dan aktivis partai politik yang sering menghadiri kampanye partai politik, sementara Yasser Salameh (Kamel el Basha) seorang imigran muslim dari Palestina, kontraktor di sebuah perusahaan.
Konflik antara kedua tokoh tersebut berawal dari pipa yang menetaskan air ke jalan. Yasser, sang kontraktor berniat membetulkan pipa dengan memotongnya dan kebetulan pipa tersebut berasal dari rumah Tony. Kata-kata kasar terlontar. Egoisme memuncak.
Tony, seorang montir mobil yang emosial dengan amarah yang mudah meledak, Salameh, sang kontraktor terlihat lebih pendiam dan easy going. Persoalan pipa seharusnya tidak menjadi masalah besar, jika keduanya mampu meredam emosi. Tony yang angkuh dan emosional mengharap permintaan maaf dari Salameh.
Ketika Tony mengarap permintaan maaf dari Salameh, sepertinya persoalan akan selesai. Disini, berlaku hukum, niat baik tak selalu mendapat sambutan yang baik. Salameh mendatangi bengkel Tony, tetapi apa yang terjadi, ia disambut dengan suara sarkas anti-Palestina yang berasal dari TV di bengkel Tony; “semoga kalian semua dihabisi oleh Ariel Sharon.”
Tiba-tiba, Salameh naik pitam, mukanya memerah. Alih-alih meminta maaf, Salameh justru menghantam Tony. Ia memukul Tony tepat di rusuknya. Tony mengerang kesakitan. Salameh pergi penuh emosi. Tony harus dilarikan diri ke rumah sakit, beberapa rusuknya patah. Ia tak boleh banyak beraktifitas dan mengangkat barang berat.
Konflik sepele berubah semakin rumit nan panas. Emosi yang meledak dan amarah yang tak bisa ditahan membuat konflik itu semakin tinggi. Tony membawa kasusnya ke ranah hukum, karena menganggap Salameh telah melakukan kekarasan fisik. Permintaan maaf yang diminta justru dibalas dengan pukulan. Setting film ini pun berganti ke ruang sidang.
Berkali-kali istrinya mendesak untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara damai; dari hati ke hati. Tetapi, Tony telah termakan hasutan temannya, sehingga percikan emosi dan amarah semakin membara. Tony mendatangi pengacara Wajdi, sementara Salameh yang seolah mendiamkan dan pasrah pada tuntutan Tony didampingin oleh pengacara, Nadine.    
Dalam persidangan, konflik pipa pun meluas menjadi konflik identitas kebangsaan, agama dan rasial. Pengacara dari pihak Tony dan Salameh berperan besar menghadirkan konflik tersebut semakin membesar. Pengacara Tony mengeksploitasi identias kebangsaan dari Salameh, yang dianggap sebagai pengungsi yang tidak jelas identitas hukumnya.
Sementara, pihak pengacara Salameh mengaitkan konflik itu dengan identitas Tony sebagai korban perang Lebanon. Trauma historis dijadikan sebagai senjata oleh pihak pengacara Salameh untuk menyerang pribadinya. Konflik semakin intens ketika konflik itu mengarah pada kepercayaan dan agama kedua sosok.
Konflik muslim dan kristen. Sebuah premis umum tentunya bahwa konflik yang melibatkan identitas primordial (agama atau suku bangsa) akan mudah meletupkan bara api kebencian yang lebih besar. Dalam hati, seandainya film ini memilih setting indonesia, mungkin akan ada scene demo berjilid-jilid; membela muslim, mengutuk si kafir.
Konflik antara dua sosok ini pun menjadi isu nasional. Kegegeran nasional pun tak dapat dielakkan. Jika kita pernah membaca teori jarum suntik (magic bullet theory), menurut saya, disinilah Ziad Doueiri dan Joelle memainkan kontekstualisasinya. Dalam teori jarum suntik misalnya dikatakan bahwa pesan yang dikirim oleh media massa dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang.
Dalam teori jarum suntik, pesan yang disampaikan media bersifat satu arah. Sehingga apa yang tersampaikan di media, dianggap sebagai kebenaran. Publik menerima pesan itu sesuai dengan apa yang dihadirkan atau ditayangkan di media massa.  Tulisan di koran dan rekaman persidangan yang diputar di televisi telah menimbulkan gejolak yang lebih besar.
Source : IMDB.COM
Kehadiran seorang wartawan yang secara diam-diam merekam jalannya persidangan telah membuat pemberitaan konflik antar keluarga ini menjadi konflik nasional yang melibatkan antar etnis, ras dan agama. Media massa berperan bagaimana konflik kedua keluarga tersebut menjadi konflik yang besar dan menjadi isu nasional. Baik Salameh atau Tony pun tak bisa berbuat banyak untuk meredakan konflik nasional itu. Mereka menjadi perbincangan hangat di koran-koran dan di televisi.
Mereka yang akrab dengan isu Timur Tengah atau Arab Spring tahun 1960-an akan sangat klik dengan jalan cerita film ini. Karena, film ini tidak hanya menghadirkan konflik identitas kebangsaan seseorang, tetapi bagaimana perang sipil di Timur Tengah; Lebanon dan Israel dieksploitasi sedemikian rupa untuk meruncingkan konflik.  
Rasanya sulit menerka satu pesan yang pasti dari film ini, karena memang terlalu banyak konflik yang dihadirkan dalam cerita. Cerita penghinaan, sarkasme anti-Palestina, narasi kekejaman sejarah perang dihadirkan sebagai pemantik konflik. Lalu, saya pun bertanya, dalam arena konflik personal yang (kadang) melibatkan aspek politik dan kepercayaan, siapa yang akan diuntungkan dan dirugikan; mereka atau kita semua? Film ini tak menawarkan ending yang mencerahkan, justru pertanyaan akan terus bermunculan dalam diri; kita akan memilih ego atau kepentingan banyak orang?
Pelan-pelan, saya merenung, rasanya kita sudah terlalu sering berhadapan dengan konflik rasial dan agama yang berdampak pada banyak orang. Lalu, terma “sumbu pendek” dan “bumi datar atau bumi bulat” pun semakin mengiang-ngiang di telinga. Sekian.   

Identitas Film
Judul Film         : The Insult
Genre               : Drama
Cast                 : Adel Karam, Kamel El Basha, Camille Salameh
Directed           : Ziad Doueiri
Writen by         : Ziad Doueiri and Joelle Touma
Rilis                  : 2017


       


tulisan ini dimuat di karepe 




0 Comment "The Insult; Narasi Ego dalam Konflik Komunal"