ALIRAN POLITIK ISLAM KHAWARIJ



ALIRAN KHAWARIJ

 A.    Lahirnya Aliran Politik Khawarij
            Sejarah lahirnya aliran politik Khawarij tidak pernah dilepaskan dari pertikaian politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Segmentasi gerakan paska peristiwa tahkim telah melahirkan aliran, berupa Syiah dan Khawarij. Syiah adalah mereka yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Sementara, Khawarij adalah mereka yang tidak mendukung Ali dan Muawiyah. Mereka adalah aliran yang keluar dari golongan Ali dan Muawiyah.
            Sejarah keluarnya mereka diakibatkan oleh ketidakpuasan dalam peristiwa tahkim atau arbitrase antara Ali dan Muawiyah. Orang-orang Khawarij berasal dari orang arab Badui yang sederhana dan berhati keras. Mereka dikenal pemberani, merdeka, tidak tergantung pada orang lain dan cenderung radikal dalam bersikap.[1]
            Pada awalnya, kaum Khawarij menerima kekhalifahan yang berkembang. Mereka menolak karena tidak puas atas Ali yang menerima tahkim dan sekaligus menganggap Muawiyah melakukan kecurangan terhadap Ali. Peristiwa ini membuat mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah dan memilih memberontak.
            Menurut Harun Nasution, penyebutan nama aliran Khawarij karena mereka keluar. Khawarij diidentikkan dengan kata Kharaja, yang berarti keluar. Mereka identik dengan orang yang keluar dari barisan Ali.[2]  Pemberian nama tersebut didasarkan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi:
 “ Dan barang siapa berhijrah dijalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas  dan (rizki) yang banyak, barang siapa keluar dari rumahnya dengan maqsud berhijrah karena Allah dan RasulNya kemudian kematian menimpanya (sebelum sapai ke tempat yang dituju ), maka sungguh pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah, dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
            Sejarah kemunculan aliran Khawarij tidak dapat dilepaskan dari peristiwa politik. Dari kisruh politik, mereka berubah menjadi isu kepercayaan, dogma, dan teologi. Mereka pun menuduh Ali bin Abi Thalib lebih percaya pada keputusan musuh dan mengesampingkan putusan Allah, yaitu menerima tahkim yang menjadi sebab perpecahan dan perbedaan sampat tingkat teologi.
            Jadi, setelah menerima prinsip arbitrase yang merugikan pihak Ali, sebagian pengikut-pengikutnya keluar dari golongan Ali dan menamakan diri mereka dengan golongan Khawarij dan merupakan sekte pertama lahir dalam islam. Mereka menentang arbitrase dengan prisip la hukma Illa Lillah.[3]
            Ketika mereka berubah menjadi aliran teologi, maka mereke memiliki kecendrungan sebagia berikut:
1.      Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka, walaupun orang tersebut adalah penganut agama islam.
2.      Islam yang benar adalah islam yang mereka pahami dan amalkan. Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan golongan islam lain tidak benar.
3.      Orang-orang islam yang tersesat dan telah menjadi kafir itu perlu dibawa kembali ke islam yang sebenarnya, yaitu islam seperti yang mereka pahami dan amalkan.
4.      Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri. Imam dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan.
5.      Mereka bersikap fanatik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai tujuan mereka.[4]

B.     Ajaran Khawarij
            Ajaran pokok firqoh khawarij adalah khilafah, dosa, dan iman. Di bawah ini merupakan intisari pendapat-pendapat mereka:
1.      Menurut faham mereka, dosa yang ada  hanya dosa besar saja, tidak ada pembagian dosa besar dan kecil. Semua pendurhakaan terhadap Allah swt adalah berakibat dosa besar dan menjadikan mereka kafir.
2.      Pengangkatan  khalifah akan sah jika hanya berdasarkan pemilihan yang benar-benar bebas dan  dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.
3.      Mereka sama sekali tidak menyetujui  pendapat  yang menyatakan bahwa seorang khalifah haruslah berasal dari suku Quraisy.
4.      Ketaatan kepada khalifah adalah sesuatu yang wajib hukumnya selama ia masih berada di jalan keadilan dan kebaikan. Apabila ia menyimpang, maka wajib memeranginya, memakzulkannya atau membunuhnya.[5]

C.    Sekte-sekte dalam Khawarij
Sejarah mencatatkan banyak sekte muncul dalam aliran khawarij, sementara yang paling terkenal ada lima sekte yaitu,

1.      Al-Zariqah
            Sekte al-Zariqah adalah pengikut dari Nafi’ bin Al-Azraq bin Qais al-Hanafi. Ia dipanggil Abu Rasyid. Ia dikenal sebagai sosok pemberani yang banyak melakukan peperangan, termasuk dengan Abdullah bin Zubair. Sekte ini termasuk penentang kekhalifahan Umayyah. Mereka melakukan peperangan dengan kekuasaan bani Umayyah pada masa kepemimpinan Yazib bin Muawiyah.
            Sekte ini merupakan sekte yang relatif ekstrem dalam menerapkan prinsip teologinya. Mereka berpandangan bahwa anak dari orang yang tidak sepaham denganya halal darahnya dan kelak akan masuk neraka. Orang yang telah berbuat dosa besar, sehingga menyebabkan kekafiran akan diwariskan pada keturunannya, sekali pun masih kecil, sebab mereka adalah buah dari hasil orang tuanya yang telah melakukan dosa besar.[6]
2.      An-Najdat
            An-Najdat atau Najadiyah adalah pengikut dari Najdat bin Athiyah bin Amir al-Hanafi. Ia adalah sosok yang keluar dari golongan Nafi bin Al-Azraq. Najdat tidak sependapat dengan Nafi dalam hal dosa waris yang dikonsepsikan oleh Nafi. Najdat tidak setuju dengan ajaran Zariqah yang memusyriqkan orang yang tidak mau hijrah ke lingkungan Zariqah dan ajaran tentang bolehnya membunuh anak atau istri orang islam yang tidak sepaham dengan mereka. Bagi Najdat, seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain.[7]  
            Najdat mengeluarkan sebuah ajaran bahwa roang yang tidak mendukung mereka bukanlah kafir, melainkan hanya munafik. Mereka juga membiarkan orang lain untuk hidup di luar lingkungan mereka atau di luar wilayah kekuasaan Khawarij.
3.      As-Shafariyah atau As-Shufriyah
            Sekte ini dipimpin oleh Ziyah bin al-Ashfar. Mereka termasuk sekte yang tidak sepakat dengan anak boleh dibunuh karena dosa orang tuanya. Mereka berpandangan bahwa daerah lain bukanlah daerah yang boleh diperangi. Daerah perang hanya daerah kekuasaan pemerintah. Wanita islam (golongan mereka) bolah menikah dengan orang kafi (golongan selain mereka) di daerah bukan islam demi alasan keselamatan. Kesepakatan boleh dilakukan dalam taraf perkataan, bukan perbuatan.
4.      Al-Ajaridah atau Al-Ajradiyah
            Sekte Ajaridah adalah pengikut dari Abdul Karim bin Arjad, sebuah sekte pecahan dari Al-Najdiyah.[8] Sekte ini mengingkari surat Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’an. Menurut mereka, surat Yusuf hanya memuat kisah percintaan, dan al-Qur’an tidak mungkin mendukung kisah tersebut.
            Mereka memiliki pandangan berupa melindungi orang yang tidak ikut berperang dan tidak mengkarifkannya, harta rampasan hanya boleh diambil dari orang yang mati dibunuh, dan anak-anak musyrik tidak bersalah karena mereka tidak ikut musyrik.  
5.      Al-Ibadhiyah
            Pemimpin sekte ini adalah Abdullah bin Ibadh al-Tamimi. Sekte ini dapat dikatakan sebagai sekte yang paling toleran dari sekte lainnya. Mereka cenderung tidak ingin disebut sebagai aliran Khawarij, karena bagi mereka ada beberapa pandangan yang berbeda dengan aliran Khawarij secara umum.
            Buktinya adalah salah satu tokoh terkemukanya yaitu al-rabi’ bin habib al-farahidi menyusun sebuah kitab musnad yang shahih, untuk berlepas diri dari kaum khawarij, dan  beliau pernah berkata bahwa biarkan saja kaumkhawarij membuktikan ucapan mereka dalam tindakan nyata, kalau mereka hanya berkata saja maka dosa atas ucapan mereka berada di pundak mereka.[9]
            Paham yang menjadi prinsip hidup mereka adalah sebagai berikut:
·         Orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka, mereka sebut kafir nikmat, bukan mukmin, dan bukan pula musyrik. Darah orang kafir nikmat itu harus di tumpahkan, sedangkan daerahnya disebut dar al-tawhid, daerah tauhid. Daerah perang adalah kompleks daerah pemerintah.
·         Boleh dierima syahadah (kesakdian) orang yang kafir nikmat dan boleh pula dilaksanakan dengannya hubungan perkwinan serta hubungan waris.
·         Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid (orang yang mengesakan Allah) tapi tidak mukmin, ia adalah kafir nikmat, dan mukan kafir agama. Dengan kata lain dosa besar tidak membuat orang Islam keluar dari agama Islam.
·         Yang boleh dirampas dalam peperangan adalah kuda dan senjata, sedangkan emas dan perak harus dikembalikan kepada orang yang empunya.[10]

D.    Konsep Politik Aliran Khawarij
            Proses lahirnya aliran Khawarij berkaitan dengan proses politik antara Ali dan Muawiyah. Proses tersebut berpengaruh terhadap konsepsi berpikir mereka tentang dinamika politik dan kepemimpinan dalam agama islam.
            Dalam proses pengangkatan kepemimpinan, aliran Khawarij memiliki konsep bahwa khalifah sah disebut pemimpin kalau ia dipilih dengan cara yang benar, yaitu dipilih oleh semua umat islam, tanpa ada diskriminasi dari siapa pun. Prinsip ini harus dijalankan secara konsekwen oleh umat islam.
            Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa perlawanan atau peperangan yang dilakukan mereka terhadap Ali dan Muawiyah disebabkan oleh pandangan mereka yang menganggap, kepemimpinan atau kekuasaan Muawiyah dan keturunannya tidak sah. Muawiyah dianggap telah merampah hak kaum muslimin.
            Pemikiran politik mereka yang pokok adalah mengenai eksistensi khalifah dan persyaratanya, masalah mekanisme pengangkatan dan pemakzulan khalifah.[11] Pembentukan khilafah atau pemerintahan, menurut khawarij bukanlah merupakan suatu keharusan atau wajib. Hal ini tergantung kepada umat apakah suatu pemerintahan perlu dibentuk atau tidak. Semua sekte khawarij mempunyai kesamaan pendapat tentang tidak adanya keharusan membentuk suatu pemerintahan.
            Salah satu sekte Khawarij, yaitu Al-Najdat mengkonsepsikan bahwa imam atau kepala negara tidak perlu sama sekali. Imam atau kepala negara diperlukan hanya jika maslahat umat menghendaki demikian. Umat tidak membutuhkan adanya khilafah, imam atau kepala negara untuk memimpin mereka.[12]
            Pemikiran ini menekankan bahwa pada dasarnya umat islam tidak membutuhkan pemimpin (khilafah atau imamah). Ketika setiap umat memiliki kesadaran untuk memperbaiki umatnya, maka kehadiran pemimpin tidaklah dibutuhkan. Kalau kemaslahatan tidak didapatkan, umat islam baru diperbolehkan mengangkat seorang imam. Aliran khawarij percaya bahwa membentuk pemerintahan atua mengangkat imam bukan wajib syar’i, akan tetapi karena tuntutan keadaan yang mengharuskan dibentuknya pemerintahan atau diangkatnya pemimpin.
     Pemikiran politik khawarij yang cemerlang yang bercorak demokratis adalah mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah atau imam, dan atau kepala negara kalau memang dibutuhkan oleh umat Islam golongan ini berpendapat, masalah ini berkaitan dengan kemaslahatn umat, dank arena itu bukanlah hak monopoli suku tertentu. Siapapun, ia orang Quraisy atau bukan, atau apakah ia orang Arab atau bukan Arab, boleh menjadi khalifah selama ia mempunyai kemampuan untuk memegang jabatan itu. Bahkan seorang budak Negro sekalipun, boleh dipilih menjadi pemimpin masyarakat Muslim jika ia memenuhi kualifikasi untuk itu.[13]
            Atas dasar paham yang demokratis ini, teori politik Khawarij tidak mengenal atau tidak mengakui bahwa khalifah telah ditentukan oleh Nabi melalui wasiatnya, dan tidak pula menerima penyerahan kekuasaan kepada sesorang dari khalifah yang berkuasa, yakni suksesi khalifah secara turun temurun dengan mengangkat putra mahkota.
     Lebih dari itu, dalam praktek, kaum khawarij lebih mengutamakan orang non-Quraisy untuk menduduki jabatan khalifah. Alasan yang dikemukakan agar mudah dimakzulkan apabila ia menyimpang dari ketentuan syariat. Sebab tidak ada ‘ashabiyat yang melindunginya, atau keluarga besar yang akan membelanya. Karena itu, ketika mereka memakzulkan Ali sebagai khalifah, mereka menggantikannya dengan mengangkat Abdullah bin Wahab al Rasabi, non-Quraisy. Banyak kalangan menyebut kaum khawarij adalah para pemegang prinsip demokrasi yang tulen[14].
            Sikap politik yang ditunjukkan aliran Khawarit terhadap penguasa, baik Umayyah atau Abbasiyah tidak lepas dari anggapan bahwa penguasa itu telah keluar dari islam dan telah berdosa besar, serta boleh dibunuh. Penguasa (Umayyah atau Abbasiyah) tidak sah, karena tidak dipilih oleh rahyat. Mereka diperbolehkan dimakzulkan dan dibunuh. Teori politik yang mereka pegang bahwa setiap orang berhak menjadi pemimpin, tanpa ada monopoli dari suku, golongan atau diwariskan secara turun temurun.
            Kriteria pemimpin menurut Khawarij adah adil, berilmu, punya keutamaan, warak dan berani, meski bukan dari kalangan Quraisy. Mereka juga berpendapat bahwa imam atau khalifah harus diangkat melalui pemilihan bebas kaum muslim, dan kalau sudah terpilih, ia tidak boleh dihukum.[15] Pembaiatan seorang pemimpin harus melibatkan seluruh kaum muslimin. Seorang pemimpin tidak boleh diturunkan dari tahtanya selama tidak melakukan penyelewengan. Kalau pemimpin menyeleweng, mereka berhak dimakzulkan dan dibunuh.[16]
            Aliran khawarij menetapkan bahwa seorang pemimpin dapat berkuasa seumur hidupnya. Syaratnya, mereka tidak melanggar syariat islam, al-Qur’an dan Hadis, memerintah dengan adil, menegakkan syariat islam, terhindar dari dosa besar.[17] Kalau semua itu tidak dipenuhi, maka pemimpin tersebut halal darahnya.  
            Sikap dan pandangan politik Aliran Khawarij banyak dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap al-Qur’an yang hanya bersifat formalistik, tekstual, dan skripuralistik. Faktor orang Baduwi turut pula mempengaruhi pandangan demokratif dan ektrem dalam bersikap mereka, serta adanya kekecewaan terhadap peristiwa tahkim menuntut mereka untuk bersikap ekstrem terhadap penguasa.
            Pemikiran politik aliran Khawarij lebih banyak dipengaruhi trauma historis berupa tatanan politik islam yang banyak dimonopoli suku Quraiys. Keinginan mereka untuk membentuk pemerintahan dan mengangkat pemimpin dari non-Quraiys menjadi bukti bahwa truma historis sangat vital mempengaruhi gerakan politik aliran Khawarij.            

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Ilmu Kalam,  Filsafat dan  Tasawuf,  Jakarta : PT. Raja Grafindo   Persada, 2001
Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan.       Jakarta: UI-Press, cetakan V, 1986
Khallaf, Abdul Wahab. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam.   Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Penerbit Mizan        cetakan V, 1998
Abu Zahrah, Imam Muhammad. Aliran Politik dan dan Aqidah dalam Islam Terj.   Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta: Logos, 1996
Al-Najjar, Amir. Aliran Khawarij-Mengungkap Akar Perselisihan Umat. Jakarta:   Lentera, 1993
Pulungan, J. Suyuti. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja    Grafindo Persada, 2002
Sjadzali, Munawar. Islam dan Tata Negara. Jakarta : Penerbit UI Press, edisi 5, 1993
Rais, Muhammad Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta : Gema Insanni Press, 2001



                [1] Abuddin Nata, Ilmu Kalam,  Filsafat dan  Tasawuf,  (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001 cet. 5), hlm. 29.
                [2] Harun nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan (Jakarta: UI-Press, cetakan V, 1986), hlm.11
          [3] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. 61.
                [4] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKPAI, cetakan V, 1998), hlm 124-125.
                [5] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan dan Aqidah dalam Islam, Terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996) hlm. 69-71
                [6] Amir Al-Najjar, Aliran Khawarij-Mengungkap Akar Perselisihan Umat, (Jakarta: Lentera, 1993), hlm. 61-62
                [7] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, hlm. 31-33
                [8] Amir Al-Najjar, Aliran Khawarij , hlm. 61.
                [9] Ibid, hlm. 69
                [10] Imam Muhammad abu Zahrah, Aliran Politik, hlm. 83-84
                [11] Suyuti pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.197
                [12] Ibid.
                [13] Ibid, hlm. 198
                [14] Munawar Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : Penerbit UI Press, edisi 5, 1993), hlm. 217
                [15] Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insanni Press, 2001), hlm. 240. Lihat juga dalam Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, hlm. 199
                [16] Munawar Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 218
                [17] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, hlm. 200

0 Comment "ALIRAN POLITIK ISLAM KHAWARIJ"