GERAKAN POLITIK MASYUMI

Latar Belakang

Dinamika sosial dan politik indonesia di awal kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan yang memadai antara golongan islam dan nasionalis. Perdebatan yang sempat memanas sebelum kemerdekaan, seolah hilang paska kemerdekaan. Dua golongan tersebut mulai fokus ke arah perjuangan menegakkan kedaulatan republik indonesia.

Kondisi sosial politik yang mulai kondusif memunculkan inisiatif dari penggagas organisasi politik membuat gebrakan dengan membentuk partai Islam. Partai yang berfungsi sebagai pegangan dan sekaligus wadah untuk berkreasi serta ikut aktif dalam aktifitas politik di Indonesia.

Sejak ada kebijakan untuk mendirikan partai, bermunculan organisasi mengatasnamakan Islam sebagai penggerak organisasi, salah satunya adalah Masyumi. Melalui Masyumi, kalangan nasionalis dan islam berhasil memobilisasi kekuatan politik yang cukup besar. Masyumi terlahir dari sebuah respon atas kebijakan pemerintahan Seokarno yang menerapkan pembentukan partai.

Masyumi terlahir dengan inisiatif dari para tokoh bangsa (nasionalis atau islam) yang berusaha menghimpun kekuatan massa agar mampu ikut aktif dalan perpolitikan indonesia. Masyumi menjadi wahana perjuangan politik umas islam. Masyumi lahir sebagai pembela demokrasi tangguh di indonesia yang disusul dengan berdirinya partai politik lain setelahnya.

Sejarah Masyumi

Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) berdiri pada 7-8 November 1945 yang berawal dari sebuah kongres bertempat tinggal di gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Nama Masyumi digunakan semata-mata karena hasil musyawarah bulan November tersebut.[1] Kemunculan Masyumi karena adanya maklumat pemerintah yang berisi tentang munculnya partai-partai politik di indonesia. Muhammadiyah dianggap sebagai salah satu organisasi yang “mensponsori” berdirinya Masyumi.

Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak satu kesatuan dalam kemerdekaan Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah (a historical accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah (a historical necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah Soekarno yang mengluarkan perintah berdirinya organasasi politik.

Inisiatif pembentukan Masyumi adalah para tokoh partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman pergerakan, seperti Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasim, Muhammad Nasir, Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. SoekimanWirosandjojo, Kibagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah. Keputusan pembentukan Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam tersebut tidak hanya sekedar keputusan, akan tetapi sebuah keputusan dari seluruh umat Islam melalui wakil-wakilnya. Penilaian seperti ini cukup beralasan apabila Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang merupakan sebuah cerminan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam tersebut.[2]

Penilaian ini cukup beralasan apabila Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya yang mencerminkan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam. Gagasan untuk menciptakan satu partai Islam dalam kehidupan politik umat Islam tidak dapat terwujud. Tampaknya terdapat hal-hal mendasar dalam konteks gagalnya umat Islam menyusun kekuatan politiknya di dalam satu wadah partai politik. Deliar Noer mengungkapkan fenomena ini sebgai berikut:

Bila kita perhatikan sebab-sebab berdirinya partai Islam itu, maka tampak sekali bahwa cita-cita adanya hanya satu partai tidak terwujudkan dalam kenyataan. Setengah kalangan Islam menghubungkan soal ini dengan kurang atau lemahnya iman keikhlasan dan persaudaraan dalam lingkungan umat Islam, sehingga berbagai faktor, seperti kursi, kompetisi, mudah menggoda. Tetapi faktor perkembangangan keadaan atau sejarah, sifat-sifat pribadi serta psikologis, tidak dapat diabaikan begitu saja. Partai-partai Islam itu, kecuali Masyumi, memiliki sejarah panjang yang bermula dari masa jajahan Belanda. Pada ketika itu para pemimpin mereka yang terus aktif di zaman mereka sudah juga memiliki kedudukan yang penting. Beberapa diantaranya seperti pemimpin-pemimpin PSII aktif dalam GAPI dan juga MIAI. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila mereka juga ingin memainkan peran besar dalam masa merdeka, baik di pemerintahan maupun di luarnya.[3]

Dalam kongres itu diputuskan bahwa (1) Masyumi adalah satu-satunya partai islam di indonesia (2) Masyumi-lah yang akan memperjuangkan nasib umat islam indonesia. Pengurus awal Partai Masyumi adalah Hasyim Asy’ari sebagai ketua, dan penguruh besar diketuai oleh Seokiman Wirjosendjojo, Mohammad Natsir menjabat sebagai anggota pengurus partai.[4]

Masyumi lahir dari kancah Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang pada zaman pendudukan Jepang dipaksa membatasi peranya menjadi majelis syuro saja. Jika dilihat dari anggaran dasarnya pada tahun 1952, Masyumi bertujuan untuk ‘terlaksanakannya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan seseorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia menuju keridhoan Illahi’: menuju ‘baldatun thoyyibatun wa rubbin ghofur’.[5]

Sifat keanggotaan Masyumi selain perorangan juga organisasi dalam kedudukannya sebagai anggota istimewa. Anggota perorangan tidak diperkenankan merangkap keanggotaan pada partai lain. Ia mempunyai hak suara. Sedangkan hak istimewa memiliki hak untuk memberi nasihat atau saran. Ide keanggotaan ini didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu agar yang menjadi anggota banyak dan umat Islam terwakili.[6]

Pada awal pendirian Masyumi, hanya empat organisasi yang masuk Masyumi yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Ummat Islam, dan Persatuan Ummat Islam. Setelah itu, barulah organisasi-organisasi Islam lainnya ikut bergabung ke Masyumi antara lain Persatuan Islam (Bandung), Al-Irsyad (Jakarta), Al-Jamiyatul Washliyah dan Al-Ittihadiyah (keduanya dari Sumatera Utara).[7]

Pendukung lainya adalah Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam yang pada tahun 1951 keduanya memfusikan diri menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia. Perkembangan pesat Masyumi ditandai dengan masuknya organisasi-organisasi Islam, antara lain: Persatuan Islam (Persis), Bandung pada 1948, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 1949, Al-Irsyad pada 1950, Al-Jami’ah Al-Washliyah dan Al-Ittihadiyah Sumatera Utara sesudah tahun 1949, Mathla’ul Anwar Banten dan Nahdlatul Wathan Lombok.[8]

Partai Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada tahun 1960 dapat dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai Masyumi juga mengemukakan dialog yang produktif antara Islam dan demokrasi, sejarah partai ini dapat dilihat dari kegiatan maupun programprogramnya mengenai identitas Islam dihadapan pluralisme politik. Selama massa begejolak yang dialami Indonesia, partai Masyumi menyusun dan mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan subtitusi dari pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar Negara Islam didirikan di Indonesia.

Masyumi dalam Perpolitikan Indonesia

Partai Masyumi telah melibatkan diri sebagai peranan penting dalam kancah politik demokrasi parlementer pada tahun 1950 dan 1957 adalah menginginkan sebuah Negara Islam, dan ingin membentuk pemerintahan yang berpandangan pragmatis, serta ingin berkoalisi dengan partai-partai sekuler dan Kristen.

Pada awal demokrasi parlementer, Masyumi mengalami ketimpangan dalam pembagian kekuasaan pemerintahan yang terkesan kurang adil, sehingga Masyumi tidak terlalu banyak andil dalam Kabinet. Akan tetapi Masyumi lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada mempersoalkan kepentingan partainya sendiri, oleh karena itu Masyumi tidak setuju dengan adanya perubahan sistem kabinet presidensil ke kabinet parlementer.

Pemilu 1955, adalah pemilihan umum yang pertama kali dilaksanakan semenjak Indonesia merdeka, pada awalnya pemilu direncanakan pada tahun 1946, enam bulan setelah kemerdekaan. Nemun situasi yang tidak memungkinkan karena adanya perang kemerdekaan akibat agresi Belanda I dan II, jadi pelaksanaan pemilu tertunda.[9] Pada saat memasuki demokrasi parlementer, setiap kabinet dalam programnya mencantumkan pelaksanaan pemilu. Namun hal ini tidak terjadi karena perebutan kekuasaan yang mengakibatkan kabinet jatuh-bangun, sehingga menimbulkan dampak tidak terlaksananya program pelaksanaan pemilu.[10]

Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Pemilu 1955 telah melahirkan empat partai besar, yaitu PNI (57 kursi DPR), Masyumi (57 kursi DPR), NU (45 kursi DPR) dan PKI (39 kursi DPR). Selebihnya berupa partai kecil dengan jumalh kursi kurang dari 10 dalam DPR. Masyumi pun terlibat dalam beberapa kabinet, seperti Kabinet Natsir antara tahun 1950-1951, Kabinet Soekiman antara tahun 1951-1952, dan kabinet Bahauddin antara tahun 1955-1956.[11]

Dalam pemilu ini tidak kurang dari 28 partai politik peserta pemilu, dengan menganut sistem proporsional. Yang secara garis besar dilihat dari segi ideologi, dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, Islam, Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme. Namun ketiga aliran dasar itu muncul kedalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan mereka mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas dan demokratis.

Corak Politik Masyumi

Masyumi merumuskan tujuan jangka panjang yang hendak diraihnya dalam perjuangan politik. Dalam anggaran dasar tujuan itu dirumuskan secara terbuka sebagai berikut: “tujuan partai adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju Keridhaan Ilahi. Dengan rumusan ini, Masyumi melalui cara-cara dan saluran-saluran demokratis yang ingin menciptakan Indonesai yang bercorak Islam. Akan tetapi memberikan kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat memperjuangkan inspirasi politik sesuai dengan agama dan ideologinya masing-masing. Hak bebas bagi golongan-golongan lain ditegaskan dalam tafsiran anggaran dasar partai. Dalam perjalanan sejarahnya orang memang meragukan kejujuran Masyumi dalam membela dan mempertahankan prinsipprinsip demokrasi dalam suatu pluralisme ideologi, sekalipun umat Islam secara kuantitatif merupakan mayoritas mutlak dari penduduk Indonesia.[12]

Mayoritas tidak berarti seluruhnya menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Secara ideologis, hanya partai-partai saja yang di kategorikan sebagai wakil Islam pada waktu itu, karena ideologi itu telah mempersempit ruang gerak Islam. Masyumi pun berdiri di atas semua golongan.

Hal ini dapat dilihat dari perintis berdirinya Masyumi. Masyumi secara ideal berusaha menghimpun kekuatan dan persatuan umat Islam di bawah panji politik dan garis kepartaiannya. Cita-cita ideal ini mengalami kegagalan karena masing-masing pemimpin mementingkan kekuatan golongannya. Peran kaum modernis (Muhammadiyah) gagal diterjemahkan golongan tradisional (NU). Kelompok modernis merasa wajar kalau mereka menempati posisi-posisi strategis dalam partai, terutama yang berkaitan dengan politik.[13]

Dengan adanya ketimpangan peran inilah, pada ujung perjalanannya Masyumi tidak bisa lagi menyatukan gerak ide kepartaian, sehingga muncul perbedaan pendapat. Pada tahun 1947 salah satu unsur Masyumi yaitu PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), meninggalkan Masyumi dan kembali menjadi partai independen.

Pada tahun 1952 NU meninggalkan Masyumi dan kembali menjadi jami’iyyah serta mendirikan partai politik sendiri. Keluarnya dua kekuatan ormas islam ini cukup memberikan pengaruh luar biasa terhadap eksistensi Masyumi dalam menghimpun suara, terutama pada pemilu. tahun 1955. Kekuatan Masyumi berkurang dan NU yang menjadi partai politik praktis otomatis berada di urutan ke tiga.[14]

Keluarnya NU dari Masyumi menandakan satu babak baru, Pertama, mulai saat itu NU tampil menjadi salah satu kekuatan politik yang baru dengan dukungan massa yang demikian besar. Kedua, bagi partai Masyumi kehadiran partai NU merupakan awal persaingan dengan kalangan sendiri. Ketiga, dipandang dari sisi kekuatan maka Masyumi telah mengalami kegoncangan yang demikian besar, pendukung utamanya tinggallah Muhammadiyah.

Terpecahnya Masyumi dengan NU dapat ditelaah lebih dalam dari peristiwa pembentukan partai Masyumi pada bulan November 1945. Pembentukan dua badan penting dalam struktur kepengurusan partai Masyumi yakni Badan Eksekutif dan Dewan Partai (Majelis Syuro). Badan Eksekutif berwenang dalam menangani persoalan politik praktis, sedangkan Dewan Partai menangani persoalan yang menyangkut masalah agama dan hukum-hukum Islam. Dalam Majlis Syuro inilah para Ulama dari berbagai golongan terutama NU mendapat tempat. Sementara itu dalam Dewan Eksekutif banyak ditempati para politisi berpengalaman yang kebanyakan dari golongan dukungannya itu pada tahun 1952. Dengan kata lain NU mengubah dirinya dari Jami’iyyah (gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri.[15]

Para ulama dari berbagai kalangan NU kian merasakan kedudukan mereka di dalam Masyumi hanya sebagai dewan penasihat saja.[16] Sejak semula para ulama dalam Dewan Partai lebih ditempatkan sebagai “raja” yang terpisah dari peran politik praktis.[17]

Menurut Syafii Maarif :

“Kelompok modernis menganggap diri mereka lebih tahu dan lebih berpengalaman dalam soal-soal politik ketimbang kelompok pesantren, terutama karena mengingat latar belakang pendidikan Barat mereka. Fenomena inilah yang menyebabkan kebanyakan tokoh NU merasa diabaikan oleh kepemimpinan modernis di dunia politik, suatu dunia yang cukup menarik minat para ulama pada periode pasca kemerdekaan.[18]

Faktor yang dianggap cukup berperan vital dalam perpecahan di tubuh Masyumi karena struktur keanggotaan Masyumi yang mendua, terdiri atas anggota organisasi dan perorangan, tidak memperlancar dilakukanya negosiasi untuk mengatasi berbagai kepentingan yang timbul.

Analisiss dari A.R Baswedan menyatakan bahwa salah satu kekuatan sekaligus kelebihan Masyumi karena sifatnya yang federatif. Menurutnya, berhasil menarik hampir semua organisasi Islam Indonesia, sedangkan mereka tetap mempunyai otonomi dalam kegiatan sosio-keagamaan mereka. Kelemahan Masyumi juga terletak pada semangat golongan mereka yang selalu lebih dominan dalam partai ketimbang semangat persatuan. Kenyataan seperti inilah yang sering menempatkan Masyumi pada posisi yang sulit dalam menyusun badan eksekutif yang kuat dan handal.

Kegagalan dalam mengarahkan dan mengteluarkan semangat golongan yang hedrogen telah membawa partai Masyumi berhadapan dengan masalahmasalah intern yang serius. Apalagi posisi-posisi politik formal dalam negara yang baru merdeka tidak jarang mempunyai daya tarik tersendiri bagi pemimpin-pemimpin partai yang berasal dari berbagai golongan umat. [19]

Masyumi sebagai partai politik terbesar, tentunya mempunyai karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat Islam keseluruhan di Indonesia.

Dalam wadah partai Masyumi berhasil menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia sehingga menjadi bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada waktu itu memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsat, sehingga umat Islam berada dalam satu pimpinan.

Masyumi bekerja sama dengan partai-partai Islam lain untuk memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara republik Indoneisa dalam konstituante. Ini merupakan konsekwensi dan cita-cita Masyumi untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ada hal lain yang perlu dipahami, bahwa memperjuangkan cita-cita Negara berdasarkan Islam melalui musyawarah dalam konstituante hasil pemilu betapapun tidak bertentangan dengan undang-undang yang sudah di bentuk pemerintah sebelumnya dan sudah berlaku.

Perjuang politik Masyumi yang sangat kuat adalah perjuangan ideologi untuk menghadapi komunis yang diperjuangkan oleh PKI berdasarkan “teori-teori Marx, Engles Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung. Keyakinan Masyumi sebagai propaganda ideologi yang bisa menyesatkan adalah PKI, yang disebar luaskan melalui media cetak sepeti buku-buku tentang Marxise.

Untuk mengantisipasi propaganda tersebut Partai Masyumi mengeluarkan sebuah kebijakan bagi para anggotanya, kebijakan itu adalah buku-buku yang bertemakan “sosialisme-religius” atau lebih dikenal dengan buku-buku bacaan keluaga Masyumi.[20]

Soekiman mengatakan :

Dalam hubungan ini tidaklah dapat disampaikan lagi bahwa Masyumi merupakan kekuatan yang telah mempertahankan kemurnian cita-cita kemerdekaan, tidak dapat dibelokkan oleh mereka, yang memegang tampuk pimpinan negara, pada jalan-jalan yang menimpa dari tuntutan jiwa patriotik bangsa indonesia. Telah menolak perjanjian-perjanjian Renville dan Linggarjati, yang dipelopori oleh mereka, yang sekarang (1959) ini membanggakan dan menamakan diri golongan revolusioner-progresif.

Kurang lebih lima tahun Masyumi bermaskar besar di kota Yogya yang bersejarah ini dan dengan hati bersih dan ikhlas turut memnghantar bangsa dan tanah air indonesia memasuki suasana baru, alam kemerdekaan “tumpah darah indonesia” yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945.[21]

Masyumi adalah partai yang setia berjuang demi republik indoenesia yang dianggap telah dilemahkan oleh kekuatan politik golongan kiri dalam menghadapi Belanda. Perjanjian Linggarjati dan Renville adalah hasil dari golongan kiri. Golongan kiri dan partai sosialis Syahrir dianggap telah merugikan indonesia dalam menandatangani perjanjian tersebut. Syafii Maarif mengatakan bahwa karya politik Masyumi adalah prestasinya dalma membela bangsa dan negara karena pembelaan tersebut itu memang dituntut pada setiap patriot indoensia.[22]

PENUTUP
Masyumi dibentuk dalam rangka menyalurkan aspirasi politik umat sebagai cerminan dari potensi yang sangat besar dan konkret. Pada masa itu, adalah masa yang tanpa pimpinan politik yang berasaskan Islam. Dapat dipahami pula bahwa munculnya masyumi pada tahun 1945 dipandang sebagi jawaban positif umat, terhadap manifiesto politik yang mendorong partai-partai, dan direspon oleh pihak-pihak lain. Umat Islam-pun merespon kesempatan tersebut dengan mendirikan partai yang berasaskan Islam, yang diberi nama Masyumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik yang berasaskan Islam di Indonesia.

Karya politik itu adalah prestasi partai dalam membela bangsa dan Negara. Karena pembelaan itu memang dituntut pada setiap patriot Indonesia. Prestasi politik yang cemerlang perlu kita menengok lebih dekat “dapur Masyumi” yang di huni berbagai kecendrungn keagamaan dan politik yang sulit dipersatukan. Fenomena subkelompok dalam Masyumi tersebut berdasarkan kategori yang dibuat oleh Wahid Hasyim, yaitu saling bertabrakan untuk memahami masalah sengketa di dalam partai.

DAFTAR PUSTAKA
Maarif, Syafii Islam dan Politik di Indonesia ; Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988

Samsuri, Politik Islam Anti Komunis. Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press

A.G. Pringgono. Ensiklopedi Umum. Jogjakarta: Kanisius, 1974

Effendy, Bachtiar. Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam. Jakarta : Paramadina. 1998

Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta : Gradindo, 1998

[1] Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia ; Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 30

[2] Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press, 2004) hlm.9-10. Dalam kongres tersebut, Moehammad Natsir menjabat sebagai ketua pantia dengan anggota; Seokiman, Abikusno Tjokrosujoso, A. Wahid Hasyim, Wali Al Fatah, Sri Sultan HB IX, Sri Paku Alam VIII, dan A. Gaffar Karim, lihat. Syafii Maarif, Islam dan Politik, hlm. 31

[3] Deliar Noer, Partai Islam di Pentai Nasional, (Jakarta : Grafiti Press, 2000), hlm. 44-45

[4] Syafii Maarif, Islam dan Politk, hlm. 31

[5] A.G. Pringgono, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1974), hlm. 654.

[6] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, hlm. 48

[7] Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 3.

[8] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, hlm. 49

[9] Dalam analisis Bachtiar Effendi, bahwa Syahrir memang sengaja menunda pemilu sebelumnya karena jika pemilihan umum diselenggarakan tahun 1946, maka Masyumi yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan mulsim modernis dan tradisionalis, dengan jumlah anggota yang lebih besar lagi di wilayah pedesaan, akan memperoleh jumlah suara 80%. Bachtiar Effendy, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam, (Jakarta : Paramadina, 1998), hlm. 93

[10] Syafii Maarif, Islam dan Politik, hlm. 40

[11] Bachtiar Effendy, Islam dan Negara, hlm. 94

[12] Syafii Maarif, Islam dan Politik, hlm. 32

[13] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta : Gradindo, 1998), hlm. 230-231

[14] Ibid, hlm. 232

[15] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan. (Jakarta : LP3ES, 1985) hlm. 117-118.

[16] Ibid

[17] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, hlm. 81

[18] Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 117

[19] Dikutip dari Syafii Maarif, Islam dan Politik, hlm. 32

[20] Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, hlm. 96-97

[21] Syafii Maarif, Islam dan Politik, hlm. 33

[22] Ibid, hlm. 34-35

0 Comment " GERAKAN POLITIK MASYUMI "