Kartini dan Pendidikan Barat


Dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” sudah cukup representatif untuk melihat jejak arkeologis pemikiran sosok Kartini, terutama perjuangan pendidikannya.
Membaca jejak pemikiran Kartini, seakan tidak pernah habis, dari tahun ke tahun, momen demi momen digelar untuk mengenang jejak arkeologis pemikiran Kartini. Kartini telah dikenal dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita. Kartini beranggapan bahwa wanita secara kodrati juga memiliki kemampuan untuk berkembang.
Pendidikan juga penting bagi kaum wanita karena secara alamiyah pendidikan anak pertama kali ada di tangan seorang ibu, secara umum kedua orang tuanya. Dalam hadits pun, secara eksplisit nabi menjelaskan bahwa yang menentukan arah perjalanan seorang anak adalah kedua orang tuanya. Wanita memegang peran sentral karena menjadi seorang ibu yang setiap waktu bersama sang anak.
Dalam sebuah surat kepada sahabatnya, Kartini menuliskan; ”Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Kartini merupakan sosok yang sangat tajam mengkritik dominasi adat dan tradisi Jawa zaman dahulu yang mengesampingkan pendidikan bagi perempuan. Kartini mengkritik adat yang membedakan manusia berdasarkan asal keturunannya dan budaya patriarkhi, dimana dominasi laki-laki sangat tampak di dalamnya. Bagi kartini, pangkal kemunduran sebuah bangsa adalah dari kualitas pendidikannya.
Hegemoni Belanda lewat politik etis-nya memang mengesampingkan pendidikan seorang wanita. Walaupun agenda utama politik etis adalah pendidikan bagi kaum pribumi, namun yang berhak mendapatkan pendidikan adalah kaum ningrat (lelaki). Wanita sangat terkucilkan karena sebuah persepsi; “dapur, sumur dan kasur” atau “macak, manak, masak”. Logika inilah yang didobrak oleh Kartini dengan memperjuangkan pendidikan bagi wanita.
Perjuangan kartini memang terfokus pada upaya pemberdayaan wanita. Kartini berusaha agar pendidikan dapat merata kepada wanita. Kemajuan seseorang dapat dilihat jika maju cara berpikirnya. Kartini berjuang pendidikan bagi kaum wanita demi sebuah harapan agar kaum wanita lebih pintar dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang perempuan.
Perjuangan Kartini memang tidak sia-sia, realitas sosial telah membuktikan perempuan juga bisa menerima dan merasakan pendidikan. Perempuan telah berhasil mendapatkan pendidikan secara merata sebagaimana laki-laki. Di ranah politik, perempuan telah mampu berpartisipasi aktif dan menjadi wakil rakyat. Sejarah memang telah mencatatkan, Kartini sebagai sang pembaharu dan pejuang pendidikan bagi perempuan.
Kualitas pendidikan menjadi ukuran standar dalam kemajuan suatu bangsa. Pendidikan juga mampu mengangkat harkat, martabat bangsa dan negara. Kemajuan berpikir akan mampu memberikan kontribusi besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi dunia.
Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan diri, masyarakat sangat memimpikan pendidikan yang bermutu serta mampu memberikan pencerahan. Asumsi akan pendidikan maju pun tertuju pada Eropa atau Amerika yang dinilai memiliki kemajuan peradaban yang tinggi. Asumsi ini mengakibatkan masyarakat bermimpi melanjutkan pendidikan ke luar negeri karena dianggap lebih maju kualitas pendidikannya.
Hegemoni pendidikan Eropa dalam alam pikiran masyarakat indonesia cukup memberikan rasa inferior bagi bangsa ini. Seakan ada asumsi bahwa kualitas pendidikan Eropa menjadi segalanya dan kiblat pengetahuan bagi dunia. Kronisnya rasa inferioritas, akan berakibat pada logika berpikir Eropa atau Amerika. Terjadilah Eropanisasi pendidikan atau Amerikanisasi pendidikan. Dimana, kualitas standart pendidikan harus berkiblat pada barat.
Dalam kasus Kartini, rasa inferioritas terhadap diri sendiri telah tumbuh dalam bangsa indonesia. Kalau melihat kasus di zaman Kartini, kita akan memakluminya, karena indonesia memang sedang berada dalam keterpurukan pendidikan akibat penjajahan Belanda. Pendidikan hanya bisa dinikmati oleh para ningrat dan priyayi.
Dalam sebuah suratnya, Kartini mengakui akan eksistensi pendidikan di Barat yang lebih maju. Dia menulis surat yang isinya: ”Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih” (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900).”Pergi ke Eropa. Itulah cita-citaku sampai nafasku yang terakhir” (Surat Kartini kepada Stella, 12 Januari 1900).
https://www.slideshare.net
Barat memang telah menjadi kiblat Kartini untuk melapaskan kungkungan adat yang membelenggu dirinya. Logika hegemoni pendidikan barat terhadap indonesia memang begitu kuat mencengkram ranah kesadaran masyarakat. Barat memang telah selangkah lebih maju dari pada indonesia, namun inferioritas diri menjadikan kita bersikap ironi terhadap kualitas pendidikan indonesia. Kita menjadi bangsa yang antipati terhadap pendidikan di indonesia. Kita lebih membanggakan pendidikan dari Barat.
Sebagai bahan refleksi saya ingin mengutip salah satu isi surat Kartini pada Ny. Abendanon (27-10-1902) yang berbunyi ”… tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat itu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai Peradaban?” Lalu, kenapa harus barat yang kita jadikan sebagai kiblat pengetahuan?

0 Comment "Kartini dan Pendidikan Barat"