Riwayat hidup manusia tidak pernah lepas dari interaksinya bersama pohon. Peristiwa terusirnya Adam-Hawa dari surga karena memakan buah dari pohon Khuldi menjadi kisah pertama bagaimana interaksi manusia dengan pohon. Peristiwa besar selanjutnya antara manusia dan pohon tidak kalah pentingnya dan melibatkan peristiwa besar dengan orang-orang besar lainnya; mulai dari Sidharta Gautama dengan Pohon Bodhi hingga Soekarno. Tulisan ini merangkum serial “riwayat” pohon dalam sejarah umat manusia.
Tulisan tulisan pertama ini akan bercerita bagaimana Soekarno berinteraksi dengan pohon. Kisah Soekarno dengan pohon terjadi di Ende, Flores. Ketika Soekarno dibebaskan dari penjara Sukamiskin, Bandung. Soekarno yang menjalani masa pembuangan ke Ende tahun 1934 membuatnya “terdampar” di Ende. Soekarno, Inggit Ganarsih, ibu mertuanya, dan anak angkatnya, Ratna Djuami menjejakkan kakinya di Ende sebagai buangan pemerintah kolonial Belanda.[1]
Pembuangan di Ende telah menjadi penanda sebuah peristiwa besar dalam hidup Soekarno. Falsafah negara lahir dari rahim sebuah kota bernama Ende. Dari perenungannya di bawah pohon bawah pohon sukun telah memunculkan sebuah refleksi mendalam dari diri Soekarno. Soekarno menyerap intisari hidup di tanah ende. Kesenangannya merenung di bawah pohon sukun menghasilkan sebuah pemikiran akan lahirnya Pancasila yang diserap dari bumi kebudayaan bumi nusantara.
Walau pun Soekarno tidak menyebut Ende sebagai kota lahirnya Pancasila, tetapi dari Ende, Soekarno telah menemukan intisari falsafah pancasila dari renungan mendalam akan budaya dan tradisi nusantara. Kekayaan tradisi ibu pertiwi dan budaya nusantara inilah yang selalu disebut Soekarno sebagai inti dari pemikirannya.
Kisah Soekarno dengan pohon sukun diabadikan oleh Cindy Adams, dalam buku “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat”. Soekarno menceritakan sendiri bagaimana perjalanan batinnya di sebuah tempat sunyi dan tenang tersebut.
“Ketika sekawanan kucing berkandang dekat pohon keluih itu dan karena tempat itu tidak lagi tenang, aku lalu berjalan‐jalan ke dalam hutan. Aku mencari tempat yang tenang dimana angin mendesirkan daun-daunan bagai bisikan, karena bisikan Tuhan ini terdengar seperti nyanyian nina bobok di telingaku. Ialah nyanyian dari pulau Jawaku ang tercinta.
Tempat pelarian menyendiri yang kugemari adalah di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut. Sukun, sejenis buah‐buahan seperti avocado, adalah semacam buah yang kalau dikupas, diiris panjang-panjang seperti ketimun, rasanya menyerupai ubi.
Aku lalu duduk dan memandang pohon itu. Dan aku melihat pekerjaan dari pada Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Yang Maha Pencipta dalam tunas yang berkecambah dikulit kayu yang keabu‐abuan itu. Aku melihat Wishnu Yang Maha Pelindung dalam buah yang lonjong berwarna hijau. Aku melihat Shiwa Yang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati yang gugur dari batangnya yang besar. Dan aku merasakan jaringan‐jaringan yang sudah tua dalam badanku menjadi rontok dan mati di dalam.
Kemudian aku dihinggapi oleh penyakit kepala dan merasa tidak sehat sama sekali. Tapi setiap pagi aku masih merangkak keluar tempat tidur untuk duduk‐duduk dibawah pohon sukun jauh dari rumah. Pohon sukun itu berdiri di atas sebuah bukit kecil menghadapi teluk. Di sana, dengan pemandangan ke laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung dan dimana sesekali seekor kambing yang sedang bertualang lewat sendirian, di sana itulah aku duduk melamun jam demi jam.
Terkadang terasa udara yang dingin di tepi pantai laut itu dan aku kedinginan. Seringkali aku merasa dingin, sedang keadaan udara tidak dingin sama sekali. Tapi masih saja aku duduk di sana. Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari.
Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukul pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir‐pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti‐hentinya. Pasang naik dan pasang surut, namun ia terus menggelora secara abadi.
Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudera luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu‐satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu. aku harus tahu sekarang bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada.
Di suatu hari aku tidak mempunyai kekuatan untuk duduk di bawah pohon itu seperti biasanya. Aku tak dapat bangun dari tempat‐tidur. Yaitu di hari dokter menyampaikan, bahwa aku mendekati kematianku karena menderita malaria.[2]”
Sumber Foto : http://nationalgeographic.co.id |
Ende, pohon sukun dan Soekarno menjadi pertalian erat yang sangat sulit dipisahkan dalam perjalanan sejarah bangsa indonesia. Ende telah menempa batin Soekarno. Di bawah pohon sukun, Soekarno terbiasa bertapa dan menyepi untuk merenungkan dan merefleksikan diri.
Parakitri Tahi Simbolon. Menjadi Indonesia. Jakarta; Penerbit Buku Kompas, 2008
Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. ebook pdf.
0 Comment "Bung Karno, Pohon Sukun dan Pancasila"
Posting Komentar