Ngayog-Jakarta; Akankah Jogja Seperti Jakarta?

Ngayogyakarta Hadiningrat, kota dengan banyak atribut; kota pendidikan, kota budaya, kota wisata, dan kota kuliner. Jogja memiliki predika urban heritage, kawasan warisan leluhur. Urban heritage ditandai dengan warisan bangunan bernilai budaya dan sejarah yang masih lestari di Jogjakarta.  
Eksotika dan keistimewaan Jogja selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat umum. Setiap tahun, masyarakat dari berbagai status sosial-ekonomi berdatangan dengan tujuan, pendidikan, wisata, dan lainnya. Kenyamanan dan keramahan Jogja membuatnya dinobatkan sebagai kota “The Most Liveable City”.
Sumber : https://tirto.id
Jogja terus mengalami perubahan sesuai dengan konteks zamannya. Kota Yogyakarta telah dihias semeriah mungkin; didandani dengan hotel berbintang, toko waralaba berjejer rapi, dan tata kota yang silang sengkarut. Jalan raya dan telah mengalami perubahan begitu drastis. Perubahan yang mengarah pada hilangnya kenyamanan penghuninya. Jalan raya Jogja serupa Jakarta, padat, macet. Tata ruang kota sesak dengan bangunan. 
Kegetiran dan kegelisan tentang potret kota yang berubah memunculnya satire “Jogja Sold Out” dan “Jogja Ora Didol”. Satire tersebut mengeeliat dengan pembangunan hotel, perumahan, mall, dan minimarket yang semakin menggila. Hari ini, siapa yang tidak risau dengan jalan raya yang macet, pembangnan hotel yang berjejer indah, minimarket yang menggila dan pemabangunan Mall yang semakin massif, serta amburadulnya space iklan di jalan raya.
Transformasi sebagai sebuah tindakan kolektif memang memiliki indikasi untuk menegekkan terciptanya kehidupaan dan tatanan baru. Perubahan yang terjadi di Jogja tidak dapat dielakkan, ia melekat, built in dalam sebuah proses pengembangan tatanan sosial masyarakat. Jogja memang sedang bergerak ke arah sana. 
Perubahan kota sebagai akibat jamaknya aktifitas manusia dapat diamati dari bagunan, sarana dan prasarana dan tata ruang kota yang dibangun untuk mendukung aktifitas manusia. Modernisasi dan industrialisasi telah merubah wajah kota. Jogja harus menyesuaikan dengan konteks industrialisasi dan modernisasi.  
Macetnya jalan di Jogja menimbulkan persoalan tersendiri bagi penghuninya. Motor dan mobil tumpah ruah di jalan raya. Kita tentu tidak pernah membayangkan Jogja yang serupa Jakarta. Macetnya jalan di Jogja begitu menghawatirkan. Kamil Alfin Arifin dalam artikelnya “Jalan Raya Yogyakarta: Potret Masyarakat Beresiko” di Indoprogres; 2015, mendeskripsikan kemacetan di jalan raya telah menjadi arena homo homini lupus, manusia memangsa yang lain. Alasan kerja dan kesibukan, memuat orang berkendara tanpa kendali, serobot kanan, salib kiri. Resikonya, nyawa. Jalan raya telah menjelma menjadi potret masyarakat yang beresiko. Masyarakat tak ubahnya hewan, kehilangan identitasnya. 
Jalan raya menjadi potret masyarakat yang terus mengalami transformasi diri; mulai andong, becak, onthel, motor hingga mobil. Kehidupan di jalan raya terkadang membuat masyarakat menengah ke bawah tersisihkan secara struktural.
Potret “homo homini lupus” terasa nyata dengan pemandangan “bapak tukang becak yang terengah-engah mengayuh becaknya karena diklaksoni mobil. Kita pun sering melihat mobil di jalan yang mempersepsikan jalan raya hanya diperuntukkan buat mobil. 
Jogja telah bertransformasi menuju kota industri. Jogja telah disesaki dengan motor dan mobil, gedung hotel dan mall. Jalan raya di Yogyakarta disesaki alat angkut modern. Motor dan mobil merayap, macet, dan tumpah-ruah di jalanan. Lihatlah, tubuh jalan raya di Yogyakarta yang semakin sesak dan sumpek dengan kemacetan yang panjang. 
Kemacetan di jalan raya mungkin hanya bagian tertentu dari persoalan kota modern, pembangunan gedung dan mall pun menjadi persoalan masyarakat modern. Pembangunan gedung hotel dan mall di Jogja pun semakin menggila. Mall-mall telah berdiri sebagai pusat gaya hidup masyarakat modern yang menyisihkan pasar lokal. Tuntutan efisiensi dan gaya hidup serba cepat menuntut manusia untuk bergerak cepat pula, salah satunya dengan mall. Jogja City Mall, Hartono Lifestyle Mall, Sahid Yogya Lifestyle Mall, Jogja Town Square dan Jogja Lippo Mall, minimarket, supermarket & hipermarket pun makin menggila di segala penjuru kota Jogja menjadi fakta bahwa perubahan menuju tatanan kehidupan baru terencana secara massif. 
Pembangunan gedung hotel pun terus bergeliat ibarat jamur. Tak terhitung jumlah hotel yang terus dibangun di Jogja. Jika ingin melihat kemegahannya, sejenak luangkan waktu ke Ring Road Utara, ada Hyatt Hotel, Jalan Solo, ada Royal Ambarukmo, dan daerah Malioboro, kita akan melihat hotel berbintang menghiasi Jogjakarta.  
Hotel dan Mall mengindikasikan Jogja yang memiliki daya tarik buat investor untuk menanamkan modalnya. Pembangunan mall, hotel, apartemen, yang notabene sasarannya hanya untuk orang-orang “berduit”, akan mengundang banyak pendatang, utamanya mereka dari kota-kota besar. Motifnya, bisa liburan, kunjungan kerja, kuliah dan lain sebagainya.  
Jogjakarta memang tengah menuju masyarakat beresiko. Pembangunan hotel, mall, gedung dan macet di jalan raya telah mengindikasikan masyarakat yang siap saling memangsa. Masyarakat yang akan terindustrialisasi kehidupannya. Penataan Jogja memang memprihatinkan. Jogja sudah tidak memperhatikan tata ruang yang nyaman bagi penghuninya. 
Dalam gemerlap kemegahan akan terciptanya tatanan baru sebuah kota, selalu saja nada pesimis bermunculan. Ungkapan “Jogja ora didol” mungkin hanya sebatas kegelisahan dan kegetiran kecil dari masyarakat yang risau dengan kondisi Jogja. Pembangunan hotel dan mall serta kemacetan jalan raya telah memberikan penegasan industrialisasi kota dan kapitalisasi yang terus berjingkrak. Benarkah Jogja seperti Jakarta?

0 Comment "Ngayog-Jakarta; Akankah Jogja Seperti Jakarta?"