Jilbab, Perempuan dan Kemerdekaan Aljazair

Diskursus Jilbab tidak pernah lepas dari sosial, budaya dan politik. Jilbab tidak hanya berkonteks pakaian perempuan semata. Tetapi, latar belakang sosial dan budaya selalu hadir dalam setiap diskursus jilbab. Jilbab memang tidak bermakna ganda. Jilbab menjadi sebuah kontestasi yang tidak hanya berkutat pada makna dan tafsir tetapi juga relasi kuasa negara bermain di dalam diskursus jilbab. Sejarah jilbab bagi perempuan tidak selalu menampilkan identitas keagamaan dan sosio-kulturalnya, tetapi bentuk perlawanan terhadap relasi kuasa.

source: http://www.middleeasteye.net
Salah satu bentuk relasi kuasa yang ditampilkan dalam sejarah kolonial adalah bentuk perlawanan perempuan Aljazair teradap Perancis. Prempuan Aljazair digambarkan sebagai perempuan yang taat beragama laiknya perempuan Arab yang memakai hijab, cadar dan jilbab. 

Ketika Perancis menguasai Aljazair, mereka mewacanakan perempuan berjilbab sebagai perempuan yang dikuasai, dikucilkan dan direndahkan. Perancis mengeksploitasi perempuan miskin, berkekurangan dan lapar untuk dieksploitasi. Dalam operasi gandung bagi kaum miskin, dalam setiap kilo gandum bagi kaum miskin selalu disertakan petuah betapa jeleknya jilbab dan suasana pingitan. Perancis begitu berhasrat melepaskan jilbab perempuan Aljazair kaena mereka ingin membuka rahasianya. Membuka cadar berarti membuka kecantikannya, menelanjangi rahasianya, mematahkan perlawannya, menyiapkannya utnuk suatu pelancongan asmara. Perempuan yang berjilbab dianggap sebagai perempuan yang menyimpan banyak misteri. (Daniel Dhakidae; 590) 

Source: https://photius.com
Penelitian tentang perlawanan perempuan berjilbab di Timur Tengah digambarkan secara mendalam oleh Fadwa el-Ghundi dalam bukunya “Jilbab: Antara Kesopanan, Ketaataan dan Perlawanan” bahwa jilbab mempunyai peran penting dalam proses kemerdekaan negara Aljazair dari kolonialisme Perancis. Penjahahan Perancis tidak hanya menghancurkan hukum islam tetapi juga mampu mengobrak-abrik tatanan kebudayaan masyarakat Aljazair. 
Saat pasukan kolonial Prancis ada di Aljazair, telah terjadi Prancisasi di Aljazair, mulai dari hukum Prancis yang mengontrol hukum Islam dan perkara pidana diatur dengan hukum Prancis. Dalam bidang ekonomi, ada proses perampasan yang sama. Kolonialis Eropa memonopoli tanah yang paling subur dan, mengeksploitasi tenaga kerja Aljazair. Penjajahan ini merupakan penyerahantotal sumber daya Aljazair. Kemudian Prancis juga menggunakan para pastur untuk terlibat dalam misisonaris untuk pencarian pengikut baru, walaupun belum berhasil. Dan strategi lainnya adalah mem-Pranciskan Wanita Aljazair, dengan mempengaruhi wanita Aljazair agar melepaskan jilbabnya. 
Taktik seperti itu membuat orang-orang Arab menghubungkan prosespelepasan jilbab dengan strategi kolonial untuk menghinakan dan menghancurkan kebudayaan. Efeknya adalah adanya perlawanan terhadap apa yang di lakukan oleh Prancis, dengan tetap memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol nasional dan kultural perjuangan wanita Aljazair.
Pemberontakan terhadap Prancis terus terjadi sebuah pemberontakan yang semula kecil berubah menjadi revolusi nasional, dimana disini wanita tetap memainkan perannya menjadi perawat, pemasok makanan, dan penyimpan senjata. Disini jilbab memainkan peran sentralnya. Jilbab menjadi pusat perjuangan melawan penjajahan dan pusat kebudayaan, sebuah simbol bagi resistensi dan tradisi. Wanita Aljazair memegang teguh jilbab sebagai sebuah simbol dan tradisi asli di hadapan penguasa kolonial. Jilbab menang dan Aljazair bebas. Jilbab menjadi pusat perjuangan wanita melawan kolonial Perancis dengan tetap memegang teguh jilbab yang dikenakan. (Fadwa al-Ghundi; 270-273)
Penelitian Fatma El-Ghundi membuka kesadaran betapa jilbab bukan semata pakaian penutup kepala dan tubuh perempuan. Jilbab telah menjelma sebuah gerakan massa yang berhasil menumbangkan kekuatan kolonial. Perjuangan perempuan telah memberikan kesadaran bahwa mereka punya kekuatan dan kemampuan untuk menjadi katalisator gerakan revolusi. 
Keberhasilan kaum perempuan dalam menumbangkan penjajahan Perancis telah berdampak emansipasi perempuan di Aljazair. Peran perempuan selama masa revolusi membuat pemimpin Aljazair begitu terbuka terhadap perempuan. Pada akhirnya, larangan memakai jilbab bagi perempuan hanyalah bentuk dari penjajahan kecil terhadap perempuan. Perempuan yang memiliki tradisi berjilbab karena memegang tradisi, budaya dan ketaatan terhadap agama tidak dapat dipaksakan agar mereka melepaskannya. 
Sejarah penjajahan Perancis di Aljazair menjadi sebuah refleksi bagaimana perempuan bangkit dari ketertindasan sosial, budaya dan agama. El-Ghundi yang mengutip Frantz Fanon menyebutnya dengan istilah “dinamisme historis jilbab”. Dimana, jilbab memerankan sebuah pembebasan negara Aljzair dari penjajahan. Tetapi, justru fakta itu diidealkan, diromantisasikan, diidelogisasikan dan difiksikan. Lalu, masihkah kita mengukur pikiran perempuan dari pakaiannya (jilbabnya)?   


Sumber: Daniel Dakidhae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia, 2003

Fadwa El-Ghundi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan. Jakarta: Serambi. 2003

0 Comment "Jilbab, Perempuan dan Kemerdekaan Aljazair"