Film The Bookshoop diangkat
dari novel Penelope Fitzgerald dengan judul yang sama dengan setting tahun 1959
di Inggris. Film ini berkisah tentang seorang janda muda bernama Florence Green
(Emily Mortimer) yang membuka toko buku di sebuah kota tepi pantai,
Hardborough, Inggris.
Florence Green,
janda muda yang suaminya meninggal dalam peperangan berjuang membangkitkan semangat
literasi masyarakat kota dengan membuka toko buku. Ia ditemani oleh Christine,
penjaga toko buku, dan Wally, anak kecil yang membantunya mengirim korespondensi
ke “rekan terbaiknya”, Mr. Brundish (Bill Nighy).
Tuan Brundish adalah lelaki paruh baya tinggal sendirian di sebuah rumah
tua. Ia punya kegemaran membaca buku dan membakarnya saat selesai membacanya. Sebelum
dibakar, Tuan Brundish membuat catatan atas buku itu.
Ini merupakan bagian yang penting, karena dalam membaca buku, kita tidak
hanya perlu untuk mengingatnya, tetapi kita perlu mencatat bagian penting di
dalam buku yang kita baca. Bahkan, perlu membuat catatan kritis atas buku yang
kita baca.
Nona Green telah
membangkitkan literasi masyarakat kota. Masyarakat semakin antusias dengan
buku-buku yang berjejer rapi di tokoh buku milik Nona Green. Gairah masyarakat
yang mulai tumbuh, membuat sosok Brundish semakin bergairah membantu nona
Green. Ia selalu menjadi rekan berharga bagi Nona Green perihal buku yang akan
dijual di toko bukunya. Sementara Chistine adalah perempuan kecil adalah teman
setianya di toko buku. Perempuan yang tak suka membaca ini, adalah penjaga dan
perawat buku yang baik.

Kita bisa
membayangkan bagaimana seorang janda muda yang berjuangan melawan orang kaya
yang disokong oleh kekuatan hukum. Satu persatu orang yang mendukungnya pun
harus ditarik dari toko buku milik Nona Green. Mulai dari Christine yang harus
menerima kaluar dari tokonya karena dipaksa pihak kepolisian.
Penjual Buku, sang Penjaga
Literasi
Film The Bookshop memberikan
gambaran bahwa menjadi penjual buku harus menjadi pembaca buku yang baik. Hal
ini setidkanya dapat dilihat dari beberapa scene di dalam film, ketika Nona
Green meminta pertimbangan kepada Mr. Brundish tentang buku Fahrenheit 451 dan
Lolita. Nona Green meminta saran kepada Mr Brundish apakah buku tersebut laik
dijual di toko bukunya. Selain itu, scene tentang nona Green yang betah semalaman
membaca buku Lolita menjadi gambaran utuh bagaimana seorang penjual harus
menjadi pembaca buku yang baik.
Dari scene
tersebut, penjual buku tidak selalu soal bagaimana membuat bukunya laku dan
tokonya ramai, tetapi bagaimana ia mampu memberikan pengetahuan kepada
pengunjungnya tentang buku apa yang laik untuk dibeli. Nona Green ingin menjaga
semangat literasi masyarakat.

Film ini memang tidak menampilkan adegan yang yang mencengangkan. Seolah
tidak ada konflik yang berarti di dalamnya. Konflik mendasar hanya ada pada Nona
Gamart dan Nona Green yang menginginkan agar toko buku itu ditutup.
Menonton film ini, saya membayangkan paling tidak ada tiga hal; pertama,
bahwa perjuangan membuat toko buku tidak semudah yang dibayangkan, akan ada
banyak rintangan yang dapat membuat toko buku dapat ditutup. Kedua, ajakan
terhadap anak kecil menggambarkan tentang upaya pengenalan literasi terhadap
anak kecil dengan cara tidak memaksanya membaca, tetapi membiarkan anak
tersebut dekat dengan buku, walau tidak dibaca. Ketiga, dalam membaca buku,
kita harus membuat catatan kritis atas buku tersebut. Catatan itu akan
menambahkan kritisisme di dalam diri kita. Sehingga, isi buku tidak diterima
dengan mata telanjang, tetapi kita kritisi dan berikan catatan di dalamnya.
0 Comment "The Bookshop; Impian Kecil Penjual Buku "
Posting Komentar