Kasus penistaan agama menjadi isu
publik yang menyita banyak kalangan pasca insiden Ahok. Penistaan yang menimpa
Ahok lamat-lamat membuka memori masa lalu akan penistaan agama yang terjadi di
Indonesia. Dalam sejarah kebangsaan kita, penistaan agama memang bukan isu
baru.
Kasus penistaan
agama setidaknya dapat dilacak dari kasus surat kabar Djawi Hisworo yang memuat
artikel Martodharsono dan Djojodikoro tanggal 9 dan 11 Januari 1918. Artikel
tersebut menyebut Nabi Muhammad dalam keadaan mabuk watu menerima wahyu Tuhan.
Surat kabar
Djawi Hisworo memuat artikel berjudul “Pertjakapan Antara Marto dan Djojo”
memuat artikel yang berbunyi; “Toehan itoe seorang perempoean djalang, dan
Kandjeng Nabi Mohamad soeka minum tjiu O.V.H., dan hisap opium atau makan
djitjing.”(Syamsul Bakri: 2015, 156) Isi percaapan tersebut adalah;
“Ah seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoema bertjeritera atau memberi nasehat, kebetoelan sekarang ada waktoenja. Maka baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perloe pakai nasi woedoek dengan ajam tjengoek brendel. Sebab goesti Kandjeng Nabi Rasoel itoe minoem tjioe A.V.H dan minoem madat, kadang kle’let djoega soeka. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Meskipon ada banjak nasi woedoek, kalau tidak tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.”(Artawijaya: 2010, 151-152)
Kejadian tersebut memicu
kemarahan umat dan masyarakat. Penulis Djawi Hisworo di anggap telah melakukan pelecehan
terhadap islam karena menganggap Nabi Muhammad dalam kondisi mabuk sebelum
menerima wahyu. Hal inilah yang memicu lahirnya gerakan massa yang dikenal
dengan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad. Tjokroaminoto sebagai tokoh penggerak,
berhasil memobilisasi massa untuk melawan dan memprotes penistaan agama yang
dilakukan oleh Djawi Hisworo. Setidaknya, mereka ingin membela kehormatan islam
dan Nabi Muhammad.
Source : https://gphoriablog.wordpress.com |
Di tengah keterbatasan media
informasi seperti sekarang, TKNM berhasil menarik simpati umat. Dulu,
masyarakat yang belum mengenal media sosial seperti Twitter, Facebook dan
Instagram, tetapi gerakan TKNM telah berhasil menggerakkan massa kurang lebih
35.000 orang untuk mengadili dua penulis Djawi Hisworo.
Betapa kemarahan masyarakat atau
umat begitu besar ketika terjadi penistaan agama. TKNM berhasil manarik simpati
masyarakat untuk bergerak dan melakukan protes terhadap Martodharsono dan
Djojodikoro.
Dalam proses
pembentukan, sosok seperti Misbach tidak dapat dilupakan sebagai tokoh yang
berhasil menyebarkan propaganda lewat seruan tertulis (pamflet) yang menyerang
Martodharsono, dan mendesak sebuah rapat umum umat islam, serta membentuk sub
Commite TKNM (CTKNM).
Tidak tanggung-tanggung,
Misbach berharap akan diadakan debat terbuka di sebuah podium dengan
Martodharsono. Inilah salah satu faktor yang memmbuat masyarakat mulai tertarik
dan menarik perhatian besar terhadap penistaan agama yang dilakukan Djawi
Hisworo. Setiap kali rapat yang diselenggarakan oleh TKNM di Surakarta, tidak
kurang dari 20.000 orang menghadiri rapat tersebut.
Martodharsono
pun diajukan ke pengadilan atas tuduhan penodaan agama, tetapi pihak pengadilan
menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengajukan Martodharsono ke pengadilan.
Kasus ini pun tenggelam tanpa ada proses hukum. Persoalan anti-Djawi Hisworo
dan anti-Martodharsono pun melebar ke anti-kristenisasi.
Kasus Djawi
Hisworo membuka mata kesadaran kita, betapa penistaan agama telah memunculkan kamarahan
luar biasa masyarakat. Tidak peduli, apakah ia berasal tokoh islam, nasionalis
atau sekuler, ketika mereka melakukan penistaan agama, masyarakat bersatu untuk
melakukan protes terhadap penistaan tersebut.
Sumber
Shiraishi, Takeshi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Bakri, Syamsul. 2015. Gerakan Komunis Islam Surakarta 1914-1925. Yogyakarta: LKiS
Artawijaya. 2010. Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara. Jakarta; Pustaka Al-Kautsar
0 Comment "Penodaan Agama Djawi Hisworo"
Posting Komentar