Saat
mendengar cerita Malin Kundang, Si Anak Durhaka, hatiku tak karuan. Semua persoalan
berkelindan dalam pikiran tentang ketaatan, kepatuhan, bakti pada orang tua dan
kedurhakaan. Bagiku, kisah teladan dan hikmah semacam itu hanyalah obat
penyejuk optimisme jiwa manusia untuk senantiasa berada dalam alur kebenaran.
Lalu, kenapa kebenaran harus menjadi ukuran dalam setiap tindakan manusia?
Bukankah Tuhan tidak memberikan porsi kebenaran bagi manusia? karena Tuhan
terlanjur mengklaim kebenaran itu hanya milik-Nya. Lalu kenapa kita selalu
menggembar-gemborkan sebuah kebenaran, yang jelas-jelas bukan milik kita?
Kebenaran
memang sebuah misteri kehidupan yang Tuhan sendiri “bingung” untuk
memberikannya pada manusia, karena manusia terlanjur diberikan sedikit
pengetahuan untuk menjangkau kebenaran itu. Entah, apakah karena Tuhan tidak
rela ataukah memang sudah kadar kemampuan manusia yang demikian? Yang jelas
manusia memang terbatas dan diatas yang terbatas ada yang tidak terbatas.
Malin
Kundang adalah sebuah kebenaran sekaligus misteri. Ia lahir dari sebuah keanehan
sejarah, maka ia berusaha menjadi penghianat sejarah. Dia aib dari sebuah
sejarah dan legenda. Ia sekaligus menjadi awal sebuah sejarah manusia. Sejarah
baru dimulai dari legendanya. Ia pun menjadi jurus literer andalan manusia
untuk menggertak anak yang baru dilahirkan dari rahim sejarah yang berbeda
dengannya. Malin kundang menjadi boomerang bagi mereka yang berusaha bertindak
kreatif. Jusitikasi atas Malin Kundang telah berhasil memasung aku dalam
belantara tanya yang tak kunjung menemukan jawaban.
“Aku
akan sangat durhaka jika tidak ku temukan surga di bawah kaki mu ibu”.
Tiba-tiba
saya teringat dengan syair itu yang pernah dibaca di sebuah buku. Malin Kundang
yang terlanjur tidak menemukan surga dibawah kaki ibunya menjadi batu menhir
yang sacral. Malin Kundang telah menemukan surga di balik tongkat yang
diberikan ibunya dan dia menemukan kebahagian disamping istrinya. Maka buat apa
“surga” itu kalau dia lebih dulu menemukan surganya dari punya ibunya. Bukankah
Malin Kundang telah sejak kecil menemukan surganya. Karena surga pada hakikatnya
adalah kebahagiaan. Maka ketika Malin bahagia dengan kekayaannya bukankah itu
sebuah cipratan surga. Lalu berdosakah dia ketika tidak “mengakui surga” yang
ada di bawah kaki ibuya.
Kebahagiaan
dan kesengsaraan, surga dan neraka adalah dua entitas yang tidak akan pernah
bersatu dalam satu wadah. Bagai api dan air kalau bersatu tidak akan terjadi
apa-apa. Ketika Malin Kundang bahagia dengan kekayaan dan sengsara dengan
kedurhakaannya, maka sakralitas batu itu adalah saksi bisu diantara berbagai
macam gelombang kehidupan yang akan senantiasa menerpa manusia dari segala
penjuru. Cukup Malin Kundang yang menyimpan batu sakral itu, cukup Malin saja
yang menerima tongkat pusaka dari ibunya. Malin Kundang adalah wajah seribu
manusia yang ada di Minangkabau, sekaligus sejuta wajah manusia di segala
penjuru. Dia adalah ikon peradaban sebuah anak manusia yang harus “dibuang”
ibunya, lantaran tradisi dan budaya yang mengaharuskannya pergi jauh dari
ibunya yang rentan dan miskin.
Malin
sekarang menjelma dalam diriku. Ia telah benar-benar hadir dalam jiwaku dengan
wajah yang lain, semangat yang lain dan dengan kedurhakaan yang lain pula. Kini
Malin Kundang sedang merangkak naik ke otakku, saat-saat sekarat yang dia
alami. Aku benar-benar merasakan “sakit kutukan” yang ia rasakan. Ketika aku
tahu kalau ibunya sangat mengaharapkannya. Ibunya berjuang di balik evolusi
diri yang sedang ia jalani. Dari kepongpong sampai menjadi kupu-kupu yang
terbang bebas menikmati alam. Tetapi kini ketika kebebasan diberikannya, Malin
malah terbang meninggalkan kubangan itu.
Kubangan
yang pernah ibunya siapkan untuk Malin sekarang menjadi jurang dalam dan curam,
rumahnya pun menjadi sarang laba-laba, cicak, ular, dan hantu. Betapa aku tahu
kalau ibu Malin itu pernah menangis lantaran angin yang pernah memerihkan
matanya, dia menangis lantaran jantung-hatinya terkena pisau angin itu. Lalu
kenapa aku hanya bisa merasakan waktu dia sedih, untuk selanjutnya tidak.
Padahal obatnya ada pada ku dan Malin kundang yang saat ini sedang berevolusi.
Kenapa
setelah kepergianku yang begitu jauh dari ibu dan perjuangannya yang begitu
berat, aku baru merasa kalau ibu sangat sengsara. Dia ikut berjuang dalam
rantau yang aku jalani saat ini, seperti ibu Malin yang ikut merantau mencari
kebahagiaan keluarganya. Malin merantau untuk mencari kekayaan dengan tuntutan
sebuah tradisi rantau yang berlaku di daerahnya.
Sebuah
perjuangan tiada henti untuk memperjuangkan nasib sebuah perubahan. Ibuku
mengharapkan kehidupan yang berbeda, cukup ibu dan saudaraku yang menjalaninya.
Kehidupan dalam himpitan sejarah kelam yang tidak terjamah orang sebelumku.
Ibuku merasa sangat berat melapasku, sama seperti ibu Malin Kundang yang
membiarkan Malin berkelana atau bahkan beratnya melebihi, karena tidak ada yang
dapat ia berikan kecuali segenggam doa. Tekad mungkin harus selalu berbarengan
dengan nekad dan nekad harus beriringan dengan doa. Ibuku adalah orang terbaik
yang ada di dunia ini. Karena tidak semua orang seperti ibuku yang melapas aku
dengan sutera doanya, banyak temanku yang harus kehilangan kehidupannya
lantaran ibunya atau orang tuanya tidak bisa melepasnya.
Akua
melenggang di terpa angin yang sangat memerihkan mataku dan mata ibuku. Aku dan
ibuku berjalan diantara onak dan duri. Diantara gelombang pasang-surut laut.
Kalau hidup itu memang sebuah perjalanan sejarah, maka itu harus aku lakukan
karena aku lahir dari rahim sejarah orang tuaku. Mau tidak mau aku harus
merubah sebuah legenda kedurhakaan itu menjadi sebuah kecintaan dan catatan
hitam menjadi catatan putih. Karena aku dan ibuku, Malin dan ibunya adalah
gambaran kehidupan yang berbeda tetapi memiliki kesamaan.
0 Comment "Malin Kundang ; Kisah Kedurhakaan"
Posting Komentar