Sumber Foto : darisana.wordpress.com |
Menurut kamus besar bahasa
indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Kata
pahlawan identik dengan sosok pemberani, pantang menyerang dan berjuang demi
kebenaran. Personifikasi pahlawan merupakan sosok yang penuh keberanian membela
rakyat untuk kepentingan bangsa dan negara. Pahlawan disematkan kepada pejuang
kemerdekaan dan sosok yang menentang kolonialisme. Narasi historis kepahlawanan
cukup dilematis ketika berhadapan sejarah menempatkan pejuang indonesia dalam
logika kolonial. Pahlawan banyak dihadirkan demi kepentingan sosial-politik an
sich. Ketika Alimin dan Tan Malaka dinobatkan sebagai pahlawan oleh Soekarno,
semuanya tidak lepas dari upaya penyatuan ideologi Nasakom (Nasionalisme, Agama
dan Komunis) (Henri F. Isnaeni, Majalah Historia). Narasi historis pun mencatat
bahwa Arung Palakka adalah pemberontak, sementara Sultan Hasanuddin pahlawan
nasional. Hasanuddin adalah raja yang “mempekerjakan” 1000 orang demi
kepentingan benteng, lalu Arung Palakka ingin melepaskannya. Trunojoya adalah
pemberontak, karena melawan kekuasaan Mataram yang bekerja sama dengan kolonial.
Lalu, bagaimanan subtansi pahlawan?
Dalam konteks ini, kata “pahlawan” akan bersanding dengan “pemberontak” dan makar. Sejarah indonesia telah mendeskripsikan bagaimana logika kolonial menulis kepahlawanan. Kita dapat melihat sosok Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan bagi Indonesia dan “pemberontak” bagi bangsa kolonial. Sejarah cukup punya peran bagaimana mengkonstruk kesadaran masyarakat tentang pahlawan atau pemberontak. “Pahlawan” dan “pemberontak” sangat bergantung pada perspektif dan logika berpikir masyarakat yang dibangun oleh narasi historis kolonial-sentris. Kesadaran masyarakat tentang pahlawan berbanding lurus dengan tulisan sejarah tentang track record tokoh. Saat kita menilai orang dari garis politik atau ideologi yang berseberangan dengan garis perjuangan sang tokoh maka ia adalah pemberontak. Tetapi, ketika kita menilia dari posisi dan kepentingan yang sama dengan sang tokoh, maka tokoh tersebut adalah pahlawan dan pejuang.Akhirnya, kepahlawanan sang tokoh di mata masyarakat sangat bergantung pada siapa yang menilai dan menuliskan sejarah. Orde Baru berhasil menulis historiograsi istana-sentris atau kolonial-sentris dalam mengkonstruksi kesadaran masyarakat tentang pahlawan. Ketika Orde Baru anti-komunis, maka pejuang yang pernah terlibat pemberontakan 65 pun seolah terkubur dari sejarah. Peristiwa sejarah 1965 pun menjelma sejarah yang menakutkan.
Dalam konteks ini, kata “pahlawan” akan bersanding dengan “pemberontak” dan makar. Sejarah indonesia telah mendeskripsikan bagaimana logika kolonial menulis kepahlawanan. Kita dapat melihat sosok Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan bagi Indonesia dan “pemberontak” bagi bangsa kolonial. Sejarah cukup punya peran bagaimana mengkonstruk kesadaran masyarakat tentang pahlawan atau pemberontak. “Pahlawan” dan “pemberontak” sangat bergantung pada perspektif dan logika berpikir masyarakat yang dibangun oleh narasi historis kolonial-sentris. Kesadaran masyarakat tentang pahlawan berbanding lurus dengan tulisan sejarah tentang track record tokoh. Saat kita menilai orang dari garis politik atau ideologi yang berseberangan dengan garis perjuangan sang tokoh maka ia adalah pemberontak. Tetapi, ketika kita menilia dari posisi dan kepentingan yang sama dengan sang tokoh, maka tokoh tersebut adalah pahlawan dan pejuang.Akhirnya, kepahlawanan sang tokoh di mata masyarakat sangat bergantung pada siapa yang menilai dan menuliskan sejarah. Orde Baru berhasil menulis historiograsi istana-sentris atau kolonial-sentris dalam mengkonstruksi kesadaran masyarakat tentang pahlawan. Ketika Orde Baru anti-komunis, maka pejuang yang pernah terlibat pemberontakan 65 pun seolah terkubur dari sejarah. Peristiwa sejarah 1965 pun menjelma sejarah yang menakutkan.
Mengutip JJ. Rizal (2012)
bahwa sungguh menyedihkan hidup sebuah bangsa ketika pahlawan diproduksi sebagai
komoditas sosial-politik, sementara pahlawan sejati dilupakan, diabaikan,
disulap mejadi gelar kedinasan dan dinilai lebih baik secara sistematis dikedepankan
sebagai tokoh keramat, ketimbang mengkaji, menguji pemikirannya. Fenomena ini
menandai pahlawan telah dilucuti nilai kemanusiaannya. Latar belakang sejarah
dan sosialnya disusun ulang dan hanya ditampakkan sebagai “kekuasaan negara”
untuk mengusai kesadaran masyarakat tentang mereka yang disebut pahlawan atau
teladan.
Ungkapan JJ Rizal
menemukan momentumnya untuk menilai pahlawan secara subtansial dan universal. Narasi
sejarah indonesia harus direkonstruksi untuk memberikan deskripsi yang proporsional
dan objektif dalam membangkitkan kesadaran masyarakat tentang siapa dan
bagaimana pahlawan.
Mengutip Henk Schulte Nordholt dkk (2008) jika kita mengakui bahwa sejarah tentang ‘apa
yang terjadi’ dan sejarah tentang ‘apa yang dikatakan’ telah terjadi adalah dua
dimensi dari penulisan sejarah, maka kita juga harus mengakui bahwa perdebatan
tentang sejuh mana terdapat batas yang tajam antara kedua dimensi itu belum
selesai. Ada dua faktor utama yang telah membentuk situasi tersebut; pertama,
pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) tergantung pada
penguasaan terhadap sejumlah sumber daya institusional yang memungkinkan
rekonstruksi, produksi, dan sirkulasi pengetahuan tentang masa lalu; kedua,
tantangan terhadap narasi besar (grand narratives) tentang masyarakat
dan masa lalu juga merupakan bagian dari dinamika hubungan kekuasaan.
Momentum hari pahlawan harus
menjadi momentum bagi bangsa untuk melihat narasi historis secara universal dan
utuh. Arus kepentingan politik bukan tidak mungkin sangat terjadi dalam
penganugerahan gelar pahlawan. Kepentingan-kepentingan tersebut tidak boleh
mendegradasi subtansi nilai pahlawan.
Gelar kepahlawanan tidak boleh
hanya menjadi simbol kedinasan, sosok tokoh pejuang yang hanya diberi surat,
nomor, dimakamkan terpisah dan dibuatkan patung atau monumen. Pahlawan tidak
boleh menjadi sosok yang dikeramatkan.
Bukankah, kepahlawanan diciptakan
dan dianugerahkan untuk dijadikan teladan. Telandan tentang keberanian,
perjuangan, kegetiran melawan kolonial, dan perjuangan kemanusiaan.
Kepahlawanan merupakan pengingat masyarakat bahwa kejadian masa lalu harus
dihadirkan di masa kini untuk dijadikan pelajaran hidup bagi masyarakat.
Pahlawan tidak boleh hanya
sebatas gelar artifisial dan simbol yang nir-makna.
Pahlawan sangat penting diciptakan dan dianugerahkan demi meneguhkan nilai. Manusia
membutuhkan nilai kearifan dalam mengarungi kehidupan, karena hidup tanpa
teladan akan terasa sangat gersang dan tak bermakna.
0 Comment "(Re)konstruksi Kepahlawanan"
Posting Komentar