BAB I PENDAHULUAN
Sejarah
Dinasti Umayyah adalah sejarah panjang sebuah peradaban umat islam. Sejarah
Umayyah pun menjadi penanda sejarah yang sangat penting bagi generasi
selanjutnya. Kalau masa Khulafa al-Rasyidin menganut sistem pemerintahan
demokrasi yang berdasarkan musyawara, maka dinasti umayyah menganut sistem
monarchi, pergantian kekuasaan dengan sistem keturunan.
Peralihan
kekuasaan dari Ali ke Muawiyah dan perubahan sistem kekuasaan dari demokrasi ke
monarkhi menjadi isyarat adanya banyak perubahan yang akan terjadi pada
kekausaan dinasti Umayyah. Dalam sejarah perjalanannya Dinasti Umayyah telah
menerapkan banyak perubahan berarti yang cukup memiliki andil besar dalam
membangun peradaban islam.
Dalam
ranah dialog islam dan budaya Arab, pemakalah mendasarkan makalah ini pada apa
yang dikonsepsikan Komaruddin Hidayat ketika mengkaji pergolakan politik timur
tengah dan berkaitan dengan sejarah peradaban sebuah bangsa, yaitu ashabiyah,
ghanimah dan agama. Pemakalah menggunakan ini sebagai pisau analisis
untuk melihat bagaimana peradaban Dinasti Umayyah ditegakkan. Ketiga unsur ini
menurut pemakalah cukup menjadi dasar bagaimana Dinasti Umayyah dibangun hingga
hancur.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sekilas Dinasti Umayyah Damaskus
Daulat
Bani Umayyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Muawiyah ibn Abi Sufyan keturunan
dari Umayyah ibnu abdi Syams ibn abdi Manaf. Dia seorang yang terkemuka dalam
persukuan Quraisy di zaman jahiliyah, bergandingan dengan pamannya Hasyim ibnu Abdi Manaf.
Diantara Umayyah dengan Hasyim adalah dua sosok yang paling keras dalam merebut
kedudukan kalangan Quraisy.[1]
Dinasti
Umayyah berdiri pada tahun 661 M s.d 750 M. Dinasti Umayyah berdiri hampir satu
abad lamanya. Kekuatan luar biasa yang mendorong luarnya kekuasaan Dinasti
Umayyah adalah ekspansinya. Ekspansi ke luar dilakukan dalam waktu kurang dari
setengah abad. Hal ini menunjukkan adanya kekuatan politik yang luar biasa
besar dibangun oleh Dinasti Umayyah yang nota benenya secara kekuatan politik
dan militer, masih kurang berpengalaman.[2]
Sejarah
berdirinya Dinasti Umayyah tidak pernah lepas dari peristiwa tahkim dengan
Ali. Peristiwa tahkim menjadi penanda berdirinya Dinasti Umayyah,
mengingat paska tahkim, Ali bin Abi Thalib meninggal dan digantikan
putranya, Hasan. Kekuasaan Hasan hanya berlangsung beberapa bulan, karena
dirongrong oleh Muawiyah. Muawiyah meminta Hasan untuk melapaskan jabatan
khalifah Hasan. Hasan menyetujui permintaannya dengan beberapa syarat yang
diajukan kepada Mu’awiyah. Adapun syarat yang di kemukakan oleh Hasan adalah
jaminan hidup, dan ketika Mu’awiyah meninggal supaya jabatan itu diserahkan
kembali kepadanya.[3]
Langkah
awal yang diambil oleh Mu’awiyah adalah memindahkan pusat pemerintahan dari
Madinah ke Damaskus. Hal ini dapat dimaklumi karena jika dianalisa setidaknya
ada 2 faktor yang mempengaruhi, yaitu di Madinah sebagai pusat pemerintahan
khulafa al-rasyidin sebelumnya, masih terdapat sisa–sisa kelompok yang antipati
terhadapnya. Sedangkan di Damaskus pengaruhnya telah menciptakan nilai simpatik
masyarakat, basis kekuatannya cukup kuat.[4]
Mu’awiyah
mengubah sistem pemerintahan dari sistem kekhalifahan kepada sistem kerajaan
(monarchi absolut). Pergantian pemimpin pun dilakukan berdasarkan garis
keturunan (monarchi heridetis), bukan atas dasar demokrasi sebagaimana yang
terjadi di zaman sebelumnya. Model pemerintahan yang di tetapkan oleh Mu’awiyah
ini banyak di ambil dari model pemerintahan Byzantium. Karena Syiria pernah
dikuasai Byzantium selama kurang lebih 500 tahun sampai kedatangan islam,
sedang Damaskus menjadi pusat pemerintahannya.[5]
Pada
masa Mu’awiyah mulai diadakan perubahan-perubahan administrasi pemerintah,
dibentuk pasukan bertombak pengawal raja dan dibangun bagian khusus di dalam
masjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan shalat. Mu’awiyah juga
memperkenalkan materai resmi untuk pengiriman memorandum yang berasal dari Khalifah.
Para sejarawan mengatakan bahwa di dalam sejarah Islam, Mu’awiyahlah yang
pertama–tama mendirikan balai–balai pendaftaran dan menaruh perhatian atas
jawatan pos, yang tidak lama kemudian
berkembang menjadi suatu susunan teratur, yang menghubungkan berbagai bagian
negara.
Pada
masa Bani Umayyah dibentuk semacam dewan sekertaris negara (Diwan al-kitabah)
untuk mengurus berbagai urusan pemerintahan, yang terdiri dari lima orang
sekertaris yaitu: katib ar-Rasail, katib al-Kharraj, katib al-Jund, katib
asy-Syurtah dan katib al-Qodi. Untuk mengurusi administrasi
pemerintahan di daerah, diangkat seorang Amir al-Umara (Gubernur
jenderal) yang membawahi beberapa “amir”
sebagai penguasa suatu wilayah.
Dinasti
Umayyah yang ibukota pemerintahannya di Damaskus, berlangsung selama 91 tahun
dan diperintah oleh 14 orang khalifah, mereka itu ialah : Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan (661-680), Yazid ibn Mu’awiyah (680-683), Mu’awiyah II ibn Yazid (683),
Marwan ibn hakam (683-685), Abdul malik ibn Marwan (685-705), Walid ibn Abdul
Malik (705-715), Sulaiman ibn Abdul malik (715-717), ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz (717-720),
Yazid II ibn Abdul Malik (720-724), Hisyam ibn Abdul Malik (724-743), Walid ibn
Yazid ibn Abdul Malik (743-744), Yazid III ibn Walid ibn Abdul Malik (744),
Ibrahim (744), Marwan II ibn Muhammad ibn Marwan ibn Hakam (744-750).
Kejayaan
Bani Umayyah dimulai pada masa pemerintahan Abdul Malik. Dia dianggap sebagai
pendiri daulah Bani Umayyah kedua. Ia mampu mencegah disintegrasi yang telah
terjadi sejak pada masa Marwan. Sebagai seorang ahli tatanegara dan
administrator ulung, Abdul Malik berhasil menyempurnakan administrasi
pemerintah Bani Umayyah. Masa penggantinya, Walid I merupakan periode
kemenangan, kemakmuran dan kejayaan. Negara islam meluas ke daerah barat dan
timur, beban hidup masyarakat mulai ringan, pembangunan kota dan gedung-gedung
umum seperti masjid dan perkantoran mendapat perhatian yang cukup serius.
Puncak
kejayaan Dinasti Umayyah pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz. Dia
terpelajar dan taat beragama. Dia juga pelopor penyebaran agama islam. Beberapa
sejarawan mengatakan bahwa pemerintahannya termasyhur seperti halnya
pemerintahan orthodox yaitu pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Akan tetapi
pemerintahanya hanya bertahan selama 2 tahun 5 bulan.
Sepeninggalan
Umar bin Abdul Aziz kekhalifahan mulai melemah dan akhirnya hancur. Khalifah
pengganti Umar bin Abdul Aziz selalu mengorbankan kepentingan umum untuk
kesenangan pribadi. Perselisihan diantara putera mahkota, serta antara pemimpin
daerah merupakan sebab–sebab lain yang menyebabkan kehancuran kekuasaan Bani
Umayyah. Abu al Abbas mengadakan kerjasama dengan Kaum Syiah. Pada tahun 750 M
pertempuran terakhir antara pasukan Abbasiah yang dipimpin Abu Muslim
al-Khurasani dan pasukan Mu’awiyah terjadi di Irak. Yang mana waktu itu
kepemimpinan Bani Umayyah dipegang oleh Marwan II. Tidak lama kemudian Damaskus
jatuh ke tangan kekuasaan Bani Abbas.[6]
B. Dari Demokrasi ke Monarki
Sebagaimana
yang telah disinggung di atas, sistem kepemimpinan pemerintahan Diansti Umayyah
berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin. Khulafa al-Rasyidin menggunakan sistem kekhalifaahan
berdasarkan musyawarah dan mufakat, sementara Dinasti Umayyah diangkat secara
langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi
Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun.[7]
Orang
yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan
mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661
M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan
menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang
mempelopori proses dan system kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra
mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan
Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan
konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi dada masa-masa
sebelumnya. Sistem pemerintahan yang diterapkan Muawiyah meniru sistem
pemerintahan kerajaan Romawi dan Persia yang mewariskan.[8]
Sistem
pemerintahan Dinasti Umayyah pun meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih
pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani
Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia
(bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti
ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan
Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain
terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah
juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, di mana
setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi
sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya
menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah
kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M).
C. Dialektika Budaya Arab dan Bani Umayyah
1. Kebijakan Ekspansi Bani Umayyah
Perluasan
Islam pada masa Daulah Bany Umayyah, pada masa pemerintahan Khulufaur Rasyidin,
Daulah islamiyah telah demikian meluas, pada masa Muawiyah. Tujuan partama dari
kaum Muslimin ialah menaklukan daerah Syam dan Palestina. Karena faktor-faktor
dan sebab-sebab yang telah disebutkan dalam masa Mu’awiyah, setelah penaklukan
Daerah-daerah itu selesai, mereka barpendapat bahwa mereka harus memasuki
daerah mesi, untuk mengamankan pasukan-pasukan mereka yang berada dipalestina.
Pada masa itu pemerintah Umayah terkenal dengan suatu masa dimana perhatian tertumpah
kepada kerajaan ini. Semangat dan keinginan untuk berkuasa itu sudah mulai
muncul dalam diri Khalifah itu.
Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, bahawa Daulah Bani Umayyah yang berpusat di
Damaskus, telah diperintah oleh 14 orang Kholifah. Diantara keempat belas
pemimpin tersebut, Umar Ibn Abdul Aziz menjadi sosok pemimpin atau khalifah
yang paling menonjol di antara khalifah yang lainnya.[9]
Suksesi
kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh
Rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid Muawiyah bermaksud
mencontoh Monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan
istilah Khalifah, dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa”
yang diangkat oleh Allah.[10]
Ekspansi
yang sempat terhenti pada masa Khalifah Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib
dilanjutkan kembali oleh daulah ini. Mu’awiyah Ibn Abu Sufyan menaklukkan Tunisia,
Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya
melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel.
Dalam
upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah, Mu’awiyah selalu
mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut kekuasaan di luar
Jazirah Arab, antara lain upayanya untuk terus merebut kota Konstantinopel. Ada
tiga hal yang menyebabakan Mu’awiyah terus berusaha merebut Byzantium. Pertama,
karena kota tersebut adalah merupakan basis kekuatan Kristen Ortodoks, yang
pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua, orang-orang Byzantium
sering melakukan pemberontakan ke daerah Islam. Ketiga, Byzantium termasuk
Wilayah yang memiliki kekayaan yang melimpah.[11]
Pada
waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara yang
berada di Benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga terus memperluas peta
kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa Kholifah Walid bin Abdul Malik,
dengan mengutus panglimanya Musa bin Nushair yang kemudian ia diangkat sebagai
gubernurnya. Musa juga mengutus Thariq bin Ziyad untuk merebut daerah
Andalusia.[12]
Keberhasilan
Thariq memasuki Andalusia, membuat peta
perjalanan sejarah baru bagi kekuasaan Islam. Islam menjadi sebuah Agama yang
mampu memberikan motifasi para pemeluknya untuk mengembangkan diri dalam
berbagai Bidang kehidupan Social, Politik, Ekonomi, Budaya dan sebaginya.
Andalusia pun mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Islam.
Berikut
ini gambaran sederhana ekspansi Dinasti Umayyah, yaitu ekspansi ke timur dan
ekspanasi ke barat;
1)
Ekspansi ke Timur
Gelombang
perluasan wilayah umat islam telah dilakukan pada masa Umar dan Usman. Ekspansi
wilayah ke arah timur mencapai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan dari
Afghanistan sampai ke Kabul. Ekspansi ini diteruskan oleh Kemudian diteruskan
pada zaman Abdul Malik di bawah pimpinan Al- Hajjaj ibn Yusuf yang dapat
menundukkan daerah Balkh, Bukhara, Khawarizan, Fergnana, dan Samarkand.
Selanjutnya pasukan muslim juga samapi ke India serta dapat menguasai
Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan (713 H).[13]
Kekuatan
dalam penaklukan ke arah timur berada di bawah kendali al-Hajjaj. Guna
menaklukkan beberapa wilayah seperti Khawarizm, al-Hajjaj mengangkat Qutaiba
ibn Muslim sebagai pengganti Yazid ibn Muhallab. Qutaiba berhasil menjalankan
amanat yang diberikan dengan menaklukan seluruh negeri Asia Tengah ke dalam
kekuasaan Umayyah.
Untuk
menaklukkan daerah Pakistan dan sekitarnya, al-Hajjaj mengangkat keponakannya, Muhammad
ibn Qasim. Qasim berhasil melakukan ekspansinya dengan merubah Multan dan
sebagian wilayah Punjab menjadi kekuasaan imperium muslim.[14]
2)
Ekspansi ke Barat
Ekspansi arah barat dianggap
sebagai ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh Dinasti Umayyah. Walin Ibn
Abdul Malik menjadi pelopor ekspansi tersebut. Di mana, pemerintahannya
dianggap mengalami kemakmuran dan kesejahteraan luar biasa.
Ekspansi
ke wilayah Afrika utara hingga Barat Daya Benua Eropa dilakukan oleh Dinasti
Umayyah, Walid ibn Abdul Malik. Pada masanya, pemimpin militer, Musa ibn Nusair
mengirim pasukan sebanyak 7000 orang
dibawah pimpinan Thariq ibn Ziyad untuk menundukkan wilayah Al-Jazair, Maroko
hingga ke benua Eropa dengan menyeberangi selat yang dikenal Gilbaltar (Jabal
Tariq).
Ibu
Kota Spanyol, Cordova dapat ditaklukkan oleh pemimpin perang Dinasti Umayyah; Tharif
ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nusair. Selanjutnya, kota-kota lainya
seperti Seville, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol baru.[15]
Jatuhnya
Cordova dan beberapa wilayah di Spanyol membuat ekspransai dinasti Umayyah
tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti. Selanjutnya, pada masa kekuasaan
Umar bin Abdul Aziz, ekspansi dipimpin oleh Abdul al-Rahman ibn Abdullah
al-Ghafiqi yang memulai penyerangan ke Bordeau, Poitiers. Saat ekspansi ke
daerah Tours, Al-Ghafiqi terbunuh dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Keberhasilan
ekspansi dinasti Umayyah ke daerah Timur dan Barat telah membengkan kekuasaan
islam yang sangat luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina,
Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan Daerah yang
Sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbeg dan Kirgis di Asia Tengah.[16]
Ekspansi
wilayah yang dilakukan oleh Dinasti Umayyah merupakan langkah dari sebuah
emperium untuk memperluas kekuasaan. Di mana, ketika kekuasaan semakin meluas,
maka kekuatan politik dan ekonomi sebuah dinasti atau kerajaan akan semakin
besar pula. Dalam konteks ini, benar apa yang dikonsepsikan oleh Kamaruddin
Hidayat, bahwa sejaraha penaklukan selalu berbanding lurus dengan ekonomi,
politik dan agama. Dinasti Umayyah, ketika menaklukkan wilayah-wilayah (Timur
atau Barat), tentu tidak semata melindungi rakyat, tetapi upaya islamisasi,
legitimasi kekuasaan, dan kemakmuran ekonomi sebuah dinasti.
2. Sistem Sosial Dinasti Umayyah
Khalifah
Umayyah tidak hanya melakukan reformasi pemerintahan dnegan merubah sistem dari
demokrasi ke monarchi. Akan tetapi, dinasti Umayya juga melakukan upaya
stratifikasi sosial. Kalau pada masa Rasululullah dan Khulafa al-Rasyidin,
sistem sosial hanya dibedakan menjadi dua, yaitu islam dan non islam. Maka,
Dinasti Umayyah membagi menjadi Arab dan non-Arab (Mawali).
Pada
Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab,
sedangkan orang non Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung
(mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakt muslim pada masa Dinasti
Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.[17]
Menurut
Philip K. Hitti, strata sosial masa Dinasti Umayyah menjadi empat stratifikasi
sosial. Golongan pertama adalah golongan tertinggi terdiri atas kaum Muslimin
yang me-megang kekuasaan, dikepalai oleh anggota-anggota istana dan kaum
ningrat dari para penakluk Arab. Golongan kedua adalah golongan neo-Muslim
(kaum Muslim baru), yang dengan keyakinan sendiri atau terpaksa memeluk Islam
dan secara teori memiliki hak-hak penuh dari kewargaan Islam. Golongan ketiga
adalah anggota mazhab-mazhab, pemeluk agama-agama yang umum atau yang disebut
dengan zimmi, yaitu kaum Kristen, Yahudi, dan Saba yang mengikat perjanjian
dengan kaum Muslim. Mereka memiliki kemerdekaan beragama dengan jalan membayar
pajak tanah atau uang-kepala. Golongan keempat adalah golongan budak-budak.
Meskipun perlakuan terhadap para budak telah diperbaiki, namun dalam praktiknya
mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah.[18]
Selama
masa kekhalifahan Dinasti Umayyah, kondisi sosial dalam keadaan damai dan adil,
meskipun sistem pemerintahan berjalan tidak demokratis. Kendati pun bangsa
Arab-Islam berkuasa di seluruh imperium, namun kehidupan Muslim non-Arab tidak
mengalami kesulitan. Mereka hidup damai dan bersahabat dengan baik. Mereka
menikmati kewajiban dan hak yang sama dalam kehidupan negara. Para khalifah
melindungi gereja, katedral, candi, sinegog, dan tempat-tempat suci lainnya,
bahkan semua tempat peribadatan yang rusak dibangun kembali dengan dana yang
dikeluarkan dari kas negara.
Di
samping kebebasan beragama, orang bukan Islam juga menikmati kebebasan
peradilan, hakim, dan hukum. Mereka dibebaskan menggunakan yurisdiksi
mereka sebagaimana diatur oleh pimpinan
agama mereka sendiri. Di bawah kekhalifahan Dinasti Umayyah, Damaskus menjadi
salah satu kota yang cantik di dunia dan menjadi pusat budaya serta pusat
kerajaan Islam. Khalifah menghiasinya dengan bangunan-bangunan megah, air
mancur, dan rumah-rumah yang menyenangkan. Para penguasa, kecuali Umar II,
menempuh kehidupan mewah dan penuh kebesaran, dan mempertahankan standar istana
menurut cara para kaisar. Muawiyah sendiri gemar mendengarkan cerita sejarah
dan anekdot. Di samping melaksanakan fungsi keagamaan, para khalifah juga
malaksanakan kekuasaan mahkamah tinggi. Para penguasa mendengarkan keluhan
rakyatnya, baik secara pribadi maupun secara umum. Biasanya khalifah duduk di
atas singgasana di pengadilan terbuka, dikelilingi sebelah kanannya oleh para
pangeran dan di sebelah kirinya oleh orang-orang terkemuka dan masyarakat umum.
Kehidupan
pribadi para khalifah Dinasti Umayyah juga tidak lepas dari ke-kurangan dan
kelemahan. Menurut Ali K[19],
hampir semua khalifah mempunyai gundik dalam harem. Yazid II sangat mencintai
dua gadis penyanyinya, Salamah dan Habibah, sehingga ketika Habibah meninggal
karena tersumbat sebuah anggur yang dilempar Khalifah ke dalam mulutnya ketika
sedang bercanda, khalifah yang tengah dimabuk asmara itu sangat menyesal hingga
meninggal dunia.
Di
bawah penguasa Yazid I, penggunaan anggur menjadi sebuah tradisi. Peng-gunaan
anggur yang terlalu banyak membuat Yazid I memperoleh gelar Yazid Al-Khumur.
Dia biasa minum tiap hari; sementara Khalifah Walid I memuaskan dirinya dengan
minum anggur setiap dua hari sekali; Hisyam minum anggur sekali dalam satu
minggu, dan Abdul Malik minum anggur satu kali dalam satu bulan. Yazid II dan
Walid II dikenal sebagai peminum berat. Pesta anggur biasanya dilakukan
bersamaan dengan pesta musik. Permain-an dadu dan kartu juga dipraktikkan di
dalam kerajaan. Balapan kuda sangat populer di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah.
Musik dikembangkan dan sejumlah uang diberikan kepada para pemusik dan
penyanyi.
Kebiasaan
memingit wanita juga mulai masuk ke dalam budaya Arab, terutama sejak
pemerintahan Walid II. Kaum wanita juga memperoleh tempat yang terhormat pada
masa ini. Mereka dapat menikmati kebebasan di tengah masyarakat. Mereka juga
amat berminat terhadap pendidikan dan bidang sastra.
Sejak
pemerintahan Dinasti Umayyah juga mulai berkembang penggunaan serbet, sendok,
dan garpu. Makanan disajikan dengan model dan pola makan di Barat. Itulah
mungkin dampak dari persentuhan antara budaya Arab-Islam dengan budaya Barat,
terutama Spanyol.
3. Intelektualisme di Era Dinasti Umayyah
Dinasti
Umayah berlangsung selama 90 tahun lamanya dengan 14 khalifah. Dalam rentang
waktu yang sangat panjang tersebut, tentu saja sudah banyak yang dilakukan oleh
dinasti Umayah dalam memajukan Islam, terutama di sektor pengembangan ilmu
pengetahuan.
Dinasti
Umayyah telah memberikan andil besar dalam proyek intelektualisme dunia islam.
Dinasti Umayyah mampu mengembangkan cabang-cabang ilmu baru yang sebelumnya
tidak diajarkan dalam sistem pendidikan Arab, seperti tata-bahasa, sejarah,
geografi, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lain.
Kekuasaan
dinasti Umayyah telah banyak melahirkan ilmuwan muslim yang berperan dalam
segala bidang. Banyaknya mufassir membuat banyak kalangan mulai melirik filologi
dan leksikografi[20].
Periode ini menandai pesatnya ilmu tafsir dan tafsir al-Qur’an di kalangan
masyarakat Arab Muslim.
Perkembangan
pengetahuan yang sifatnya “umum” mendapatkan apresiasi luar biasa dari
masyarakat Arab. Umar bin Abdul Aziz menyokong pengajaran dan orang-orang
terpelajar, dan menurut suatu kabar, ia telah memindahkan sekolah kedokteran
dari Alexandria ke Antiocia[21].
Di bawah kekuasaan Umar bin Abdul Aziz, karya-karya Yunani diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Perkembangan ilmu pengetahuan di masanya mencapai puncak
kekuasaan.
Khalifah
Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi untuk membukukan
hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar, seorang
dokter dan Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.[22]
Pengaruh
lain dan ilmuwan kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara
sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada
sistem tulisan menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung
dalam pengembangan ilmu adalah golongan non Arab dan telaahnya pun sudah meluas
sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi : ilmu pengetahuan bidang agama, bidang
sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat. Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi,
al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu Zubair, Muhammad bin Muslim bin
Idris dan Bukhari Musiim (ahli Hadits) dan Mujahid bin Jabbar (ahli tafsir).
Dinasti
Umayah juga banyak melakukan karya-karya yang sangat berarti, misalnya
Mu’awiyah sudah merancang pola pengiriman surat (post), kemudian dimatangkan
lagi pada masa Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, semakin ditata dengan
baik, sehingga menjadi alat pengiriman yang baik pada waktu itu.[23]
Bahkan pada masa, Sulaiman bin Malik, telah dibangun pembangunan mega raksasa
yang terkenal dengan Jami’ul Umawi.
Bahkan
pada masa Daulah Umayah, gerakan sastra dan seni juga sempat muncul dan
berkembang, yaitu pada masa khalifah Abdul Malik, setelah al-Hajjaj berhasil
menundukkan Abdullah bin Zubair di Hijaz. Di negeri itu telah muncul generasi
baru yang bergerak di bidang sastra dan seni. Pada masa itu muncul tokoh Umar
binu Abi Rabi’ah, seorang penyair yang sangat mashur, dan muncul perkumpulan
penyanyi dan ahli musik, seperti Thuwais dan Ibn Suraih serta al-Gharidl.[24]
Kendati
perkembangan puisi dan musik mendapat tantangan dari kaum konservatif, yang
menganggap musik dan nyanyian sebagai kesenangan-kesenangan yang dilarang
agama, namun kemajuan puisi dan musik amat luar biasa, terutama di lingkungan
istana.[25]
4. Gerakan Arabisasi
Gerakan
intelektualisme yang berkembang pada masa Dinasti Umayyah mengakibatkan adanya
gelombang arabisasi. Arabisasi terjadi dalam ranah sistem pemerintahan dan
penerjemahan teks arab. Dalam konteks
kebijakan pemerintahan. Pada masa Abdul Malik (685-705 M) mulai diperkenalkan
bahasa Arab untuk tujuan-tujuan administrasi, mata uang gaya baru
diperkenalkan, dan hal ini memiliki arti yang sangat penting, karena mata uang
merupakan simbol kekuasaan dan identitas.[26]
Sebab, mata uang baru inipun dicetak dengan menggunakan kata-kata semata,
memproklmasikan dengan bahasa Arab keesaan Tuhan dan kebenaran agama Islam.[27]
Arabisasi
lainnya berupa penerjemahan teks-teks dari Yunani dan Persia ke dalam bahasa
Arab (Arabisasi buku), Marwan. Pada masanya, ia memerintahkan penerjemahan
sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dokter dari Iskandariyah, ke dalam
bahasa Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab.
Khalifah
memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa sansakerta yang dikenal
dengan Kalilah wa Dimnah, karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh
Abdullah bin Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan banyak buku lain,
seperti filsafat dan logika, termasuk karya Aristoteles : Categoris,
Hermeneutica, Analityca Posterior serta karya Porphyrius : Isagoge.[28]
Pada
masa Dinasti Umayah, sudah mulai dirancang tentang undang-undang yang bersumber
dari al-Qur’an, sehingga menuntut masyarakat mempelajari tentang tafsir
al-Qur’an. Salah seorang ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut
adalah Ibn Abbas. Pada waktu itu beliau telah menafsirkan al-Qur’an dengan
riwayat dan isnad, kemudian kesulitan-kesulitan dalam mengartikan al-Qur’an dicari
dalam al-hadits, yang pada gilirannya melahirkan ilmu hadits.
Pada
saat itulah kitab tentang ilmu hadits sudah mulai dikarang oleh para ulama
muslim. Beberapa ulama hadits yang terkenal pada masa itu, antara lain : Abu
Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibn
Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky), Al-Auza’i
Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Sya’bi.
Dalam
bidang hadits ini, Umar bin Abd Aziz secara khusus memerintahkan Ibn Syihab
az-Zuhri untuk mengumpulkan hadits. Oleh karena itu, Ibn Syihab telah dianggap
sangat berjasa dalam menyebarkan hadits hingga menembus berbagai zaman. Sejak
saat itulah perkembangan kitab-kitab hadits mulai dilakukan.[29]
PENUTUP
Dinasti
Umayyah berkuasa hampir seabad lamanya. Dinasti Umayyah membangun kekuasaannya
dengan melakukan ijtihad politik, berupa perubahan sistem pemerintahan dari
demokrasi ke monarki. Perubahan sistem pemerintahan dari demokrasi ke monarki
menjadi sebuah loncatan besar karena mereka keluar dari tradisi yang sebelumnya
berkembang (khulafa al-Rasyidin). Mereka juga melakukan perubahan pemindahan pusat
kekuasaan dari Jazirah Arab ke Damaskus.
Kekuasaan
Dinasti Umayyah mengalami perkembangan luar biasa dengan adanya ekspansi
besar-besar yang dilakukan para khalifah yang berkuasa. Ekspansi tersebut
memberikan andil besar bagi perkembangan islam. Kebudayaan dan peradaban islam
berkembang dengan pesat berkat adanya gerakan intelektualisme yang dikembangkan
oleh pemerintahan Umayyah. Banyak karya-karya dari luar diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Hal ini membuka pintu gerbang pengetahuan yang luas.
Dinasti
Umayah menjadi bagian penting dan menarik dalam sejarah umat Islam bagiamana
sebuah dinasti membangun dinamika kekuasaan dalam konteks dialog Islam dan
budaya Arab.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka Sejarah Ummat Islam. Jakarta
: Bulan Bintang, 1951
Fuadi, Imam. Sejarah Peradaban
Islam. Yogyakarta : TERAS, 2011
Siti Maryam dkk.(ed). Sejarah Peradaban
Islam:Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern. Yogyakarta: LESFI, 2002
Umam, Chatibul & Abidin Nawawi.
Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang : Toha Putra, 2009Murodi. Sejarah
Kebudayaan Islam. Semarang; Toha Putra. 2003
Supriyadi, Dedi. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung ; Pustaka Setia, 2008
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah
dan Kebudayaan Islam, terj, Jahdan Ibn Human. Yogyakarta; Kota Kembang,
1995
Nasution, Harun. Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya. Jakarta ; UII Press, 1985
Watt, W. Montgomary. Pergolakan
Pemikiran politik Islam. Jakarta: Bennabi Cipta, 1985
Hitti, Philip K. The History Of
The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi. Jakarta :
Serambi Ilmu, 2008
Ali, K. Sejarah Islam Tarikh
Pra-Modern. Jakarta : Raja Grafindo, 2003
Syalabi, A. Sejarah dan
Kebudayaan Islam Jilid 11. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003
Hourani,
Albert. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim. Bandung: Mizan, 2004
Qadir, C.A. Filsafat
dan ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2002
Khaeruman,
Badri. Otentisitas Hadits : Studi Kritis Atas Kajian Hadst Kontemporer. Bandung; Rosda Karya, 2004
0 Comment "DIALOG ISLAM DAN BUDAYA ARAB PADA MASA DINASTI UMAYYAH DAMASKUS"
Posting Komentar