Grebeg dan Aktualisasi Budaya


Tulisan ini berangkat dari realitas kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat dimana saya hidup dan menempa pengetahuan tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Yogyakarta, sebuah kota yang (menurut saya sebagai pendatang) sangat unik dengan segala dinamisasi kebudayaan dan tradisi yang berkembang. Raja dan masyarakat begitu antusias melestarikan kebudayaan yang telah diwariskan nenek moyangnya. Disanalah saya melihat jalan kebudayaan masyarakat begitu bergerak dinamis.
Jalan kebudayaan masyarakat Yogyakarta telah menempatkan sekaten sebagai ruang kebudayaan bernilai sakral-relegius. Sekaten mengisi ruang kebudayaan yang begitu dalam bagi masyarakat Yogyakarta. setiap tahun, perayaan sekaten, selalu menyita perhatian masyarakat. Seakan tidak pernah bosan, masyarakat selalu memadati alun-alun utara.
Sekaten sebagai khazanah budaya local yang berkembang di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bentuk perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sekaten biasanya akan ditutup dengan perayaan grebeg maulud. Simbolisasi grebeg maulud dilaksanakan dengan cara mengeluarkan bermacam gunungan grebeg misalnya gunungan kakung (gunungan laki-laki), gunungan putri (gunungan perempuan), gunungan drajad, gunungan pawuhan dan gunungan gepak. Gunungan tersebut, tidak hanya dikeluarkan saat perayaan sekaten (grebeg maulud), namun juga dalam perayaan grebeg syawal atau grebeg besar.
Jika kita menelisik sejarah, kata “grebeg” berasal dari kata “gumrebeg” artinya riuh, ribut dan ramai. Istilah grebeg awalnya berarti “gerak bersama”, kemudian menjadi “jalan maja”, “iring-iringan”. Upacara grebeg merupakan upacara terpenting karena mengungkapkan gawai pada tingkat tertinggi, yaitu tindakan raja yang menggerakkan dunia. (Denys Lombard, 2000: 127)
source: Tirtoid

Ranah Ketuhanan dalam Kebudayaan

Secara subtansial, grebeg memiliki peran penting dalam ranah kebudayaan dan lokalitas Jawa. Sekaten bekerja sebagai suatu sistem integratif antara akulturisme budaya Jawa dengan nilai-nilai ke-Islaman. Integrasi nilai kejawen dengan nilai ajaran islam menghasilkan suatu sistem kepercayaan yang membumi dan mudah diterima masyarakat (Jawa). 
Menurut Mundzirin Yusuf (2009) ada tiga arti penting dari grebeg;  pertama, sebuah representasi relegius, dimana kewajiban sultan adalah untuk menyiarkan dan melindungi agama islam dalam kerajaan, karena sultan berkedudukan dan berperan sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah. Kedua, nilai historis, yaitu terkait dengan Sultan yang memiliki kewajiban untuk meneruskan tradisi warisan raja-raja mataram islam sebelumnya. Ketiga, nilai kultural yaitu berkaitan dengan upaya memelihara dan melestarikan kebudayaan Jawa.
Nilai pertama, peran sultan di keraton Mataram (Yogyakarta sekarang) memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penyebar ajaran islam dan pemegang tampuk kekuasaan. Ini kita bisa kita lihat bagaimana sultan Agung tidak hanya berjuang keras melawan kolonialisme Belanda dan melakukan diplomasi politik tetapi juga sangat aktif dalam melakukan islamisasi di Jawa, seperti pembuatan kalender hijriah dan lain sebagainya.
Grebeg secara kultural merupakan cermin prestasi “manusia Jawa” dalam membaca, memahami dan menafsir hirarki dan dinamisasi kebudayaan dan adat tradisi. Grebeg mengimplementasikan peran agama yang bekerja dalam ranah kultural dan tradisi masyarakat. Grebeg juga merepresentasikan jalan kebudayaan dalam mencapai keintiman bersama Tuhan. Dalam upacara Grebeg syair keagamaan senantiasa dilantunkan sebagai warisan Wali Songo melakukan islamisasi di Jawa.
Meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan (2007), upacara grebeg merupakan upaya manusia memahami dan menerapkan ajaran dan mencari serta menghampiri Tuhan. Kebudayaan merupakan sintesis segala realitas sintetis ketuhanan dan kemanusiaan. Kebudayaan merupakan sebuah ritus-ritus yang hidup dan aktual di mana manusia hadir di dalam perjamuan Tuhan dan Tuhan pun hadir dalam kemanusiaan aktual.
Lewat tradisi dan kebudayaannya masyarakat mencari eksistensi dirinya dalam berhubungan dengan tuhan. Manusia menempatkan kebudayaan dan kearifan lokal sebagai lokus iman dalam bercengkrama dengan tuhan. Sehingga terciptalah aktualitas kebudayaan yang tidak hanya mencerminkan sinkritisme atau akulturisme, melainkan juga penuh sakralitas dan nuansa keislaman serta keimanan.
Kebudayaan akan menjadi jalan mencapai dan menuju tuhan ketika kualifikasi ilahiyah kebudayaan islam dijalankan masyarakat dan budaya tidak dianggap sebagai lawan doktrinal ajaran islam. Sejarah telah mencatat bahwa ajaran islam di Jawa terutama banyak mengadopsi budaya dalam penyebarannya. Lihalah misalnya, bagaimana Walisongo dengan arif, cerdas dan bijaksana memodifikasi kebudayaan dan tradisi masyarakat Jawa dengan nilai ajaran islam tanpa terjebak pada islamisme, puritanisme atau fundamentalisme agama. Sehingga tercipta akulturasi budaya yang memperkaya khazanah peradaban manusia.
Nilai kedua, sebagai sebuah tradisi local yang telah berkembang sejak abad ke-19, posisi sultan sangat sentral dalam menentukan gerak dan jalan kebudayaan di keraton Yogyakarta. Sultan memiliki otoritas mutlak dalam menentukan arah kebudayaan akan dibawa. Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa; Silang Budaya (2000: 128) menegaskan bahwa grebeg adalah kelanjutan dari suatu ritual kuno yang telah terbukti ada sejak abad ke-14 yang berfungsi untuk memulihkan kepaduan kerajaan.  
Upacara grebeg kemudian diakulturasikan dengan nilai islam oleh para raja di Mataram atau sejak berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Gunungan yang merupakan simbolisasi akan hadirnya raja dalam upacara grebeg sudah ada setidaknya sebelum tahun 1888 M.
Pada saat itu, gunungan dijadikan raja untuk melakukan syiar islam dan sekaligus ungkapan rasa syukur atas keamanan, ketentraman dan kedamaian negara dan masyarakat. Sebagai ritual terakhir perayaan sekaten, gunungan biasanya diusung ke halaman masjid kraton dan setelah dibacakan doa, gunungan tersebut diperebutkan (dirayah) oleh masyarakat. Sebagaimana artinya, grebeg selalu dipenuhi keributan dan keramaian demi ngalap berkah atas gunungan yang dibawa abdi dalem atau prajurit kraton
Nilai ketiga, upacara grebeg berperan sebagai upaya pelestarian kebudayaan Jawa ketika seluruh elemen masyarakat mampu mengamalkan warisan kebudayaannya dengan baik dan penuh kesadaran. Kesadaran kebudayaan akan mampu membangkitkan semangat superioritas dalam mengamalkan warisan budaya leluhur.

Aktualisasi Kebudayaan

Dalam kosmologi masyarakat Jawa kuno yang masih bertahan sampai sekarang, gunung merupakan puncak tertinggi alam manusia. Gunung dipersepsikan sebagai tempat para dewa bersemayam. Maka, gunung dalam persepsi masyarakat Jawa selalu diasumsikan memiliki kekuatan mistis-magis.
Berkaitan dengan diatas, grebeg memiliki nilai dan makna filosofis yang tinggi karena ada gunungan yang merepresentasikannya. Gunungan grebeg biasanya berisi hasil bumi seperti sayuran, buah-buahan dan jajanan (rengginang) merupakan nilai semiotika-simbolis dari kemakmuran atau hemayu hayuning bawana sebuah negeri yang dibagikan atau kepada seluruh rakyatnya.
Semesta simbolis lainnya bahwa gunungan grebeg merupakan simbol komunikasi kultural seorang raja dengan rakyatnya. Dimana raja merupakan sosok yang sangat dekat dan peduli terhadapa kondisi sosial dan ekonomi rakyat. Ini sama halnya dengan gunungan yang bisa dijamah dan diperebutkan oleh siapa pun dengan latar belakang sosial-budaya manapun. Zaman dulu, grebeg menjadi medium bagi raja-rakyat berkomunikasi langsung. Upacara grebeg menjadi medium bagi para wakil dari propinsi datang dan menghaturkan upeti, hasil bumi dan bergembira ria di keratin (Denys Lombard, 2000: 128)
Nilai hidup perayaan gunungan akan senantiasa menjadi ghirah dalam denyut nadi kehidupan masyarakat Jawa, karena ada proses saling memberi nilai dan pemahaman hidup untuk menjaga martabat diri, keluarga, dan bangsa. Eksistensi dan ketahanan kearifan lokal dalam upacara gunungan menggariskan satu isyarat bahwa posisi raja dimata rakyatnya masih menempati posisi sentral.
Di tengah hingar bingar budaya kontemporer yang menyeringai kearifan lokal masyarakat, gunungan grebeg hadir sebagai sebuah oase. Grebeg memberikan sebuah harapan dan optimisme hidup yang selalu diwariskan kraton kepada rakyatnya. Masayarakat Jawa yang masih kental dengan nilai kejawaan dan lokal geniusnya, mendefinisikan budaya lokal sebagai sebuah nilai hidup. Dimana dengan mengikuti upacara gunungan grebeg, masyarakat menaruh harapan, optimisme dan pertautan hidup yang lebih baik.
Upacara gunungan grebeg yang dilaksanakan sebagai upaya pelestarian nilai ajaran islam dan kearifan lokal Jawa diharapkan akan (sedikit) mampu memberikan oase harapan hidup. Ada makna, nilai dan filosofis hubungan antara raja sebagai pengayom dan rakyat yang diayomi. Dimana raja mentransformasikan nilai-nilai upacara gunungan untuk lebih melihat dan menaruh perhatian terhadap kondisi sosial-budaya, ekonomi dan politik yang berkembang. Upacara grebeg merupakan bentuk penyatuan semangat dan harapan antara raja dan rakyat demi kesatuan daerah istimewa Yogyakarta.

Sumber:

Denys Lombard. Nusa Jawa Jilid III: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama), 2000
Abdul Munir Mulkhan, Manusia Al-Qur’an (Yogyakarta; Kanisius), 2007
Mundzirin Yusuf “Nilai Filosofi Gunungan Grebeg” dalam Promosi Dokroral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009
demak_ku.blogspot.com/grebeg-besar?/
wikipedia.com/grebeg

0 Comment "Grebeg dan Aktualisasi Budaya "