Aksi Bela Islam Tentara Kandjeng Nabi Muhammad



Hari ini, kita seolah terbiasa dengan aksi bela agama, baik dari aksi bela islam atas kasus ahok atau aksi bela tauhid untuk kasus pembakaran bendera di hari santri. Tetapi, mengapa mereka tak bersuara dan melakukan aksi bela agama, ketika ada ustad selebritis yang menyebut Nabi Muhammad dalam keadaan sesat? Apa karena ia bagian dari kelompok mereka?
Sejarah aksi bela agama atau bela islam telah berlangsung sebelum indonesia merdeka. Aksi bela agama/islam selalu lekat dengan penodaan atau penistaan agama yang dilakukan oleh seseorang. Sejarah aksi bela islam, paling tidak dapat dilacak dari penistaan agama yang dilakukan oleh penulis Djawi Hisworo; Martodharsono dan Djojodikoro berjudul “Pertjakapan Antara Marto dan Djojo.” Djawi Hisworo 
Surat kabar Djawi Hisworo menurunkan artikel yang dianggap menghina Nabi Muhammad. Artikel di surat kabar Djawi Hisworo tersebut telah membuat geger masyarakat islam dengan munculnya aksi protes. Sekelompok masyarakat muslim di Surabaya membentuk sebuah kepanitianan untuk memobilisasi massa dan mengadakakan rapat pada Februari 1918.
source:tirtoid
Sarekat Islam membentuk kepanitiaan yang bernama Tentara Kandjeng Nabi Muhamad (TKNM). TKNM diketui oleh Tjokroaminoto, Sosrokardono sebagai sekretaris, Sech Roebaja bin Ambarak bin Thalib, pimpinan Al-Irsyad di Surabaya menjadi bendahara. (Takeshi: 1997, 145) TKNM ini dibentuk untuk mencari persatuan lahir dan batin antara kaum muslim, menjaga kehormatan agama islam, dan Nabi Muhammad, serta kehormatan kaum muslim. (Abdul Aziz, 2016, 114)
Ini bukan soal pilkada, apalagi politik identitas. Ini tentang suara umat islam yang menuntut masyarakat penulis Djawi Hisworo, Djojodikoro dan Martodharsono untuk diadili. Ini tentang suara kemarahan umat islam yang menganggap penulis Djawi Hisworo melakukan penistaan agama.
TKNM dengan sosok Misbach sebagai propagandis berhasil menyebarkan pamflet dan selebaran untuk manarik antusiasme masyarakat muslim. Bahkan, Misbach secara terbuka menantang Martodharsono debat dihadapan masyarakat umum.  
Apa yang dilakukan oleh SI dengan membentuk Tentara Kandjeng Nabi Muhammat mendapatkan respon positif dari masyarakat. Berbagai aksi bela islam digelar hampir di seluruh tanah Jawa. Rapat-rapat yang digelar selalu mendapatkan antusiasme masyarakat. Misalnya, rapat yang digelar 24 Februari 1918 mampu dihadiri oleh sekitar 20.000 orang. (Syamsul Bakri: 2008, 157)
TKM tidak hanya berhasil menggerakkan militansi masyarakat muslim, mereka pun mampu menggalang dana. Vergadering di Surabaya pada 6 Februari berhasil menggalang dana hingga tiga ribu gulden. Sementara itu, protes yang dilakukan secara serentak pada 24 Februari di empat puluh dua tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera dihadiri 150.000 orang dan berhasil mengumpulkan dana sepuluh ribu gulden. (Takeshi: 1997, 145)
Protes masyarakat terhadap penulis Djawi Hisworo menyert nama Martodharsono untuk diadili di pengadilan dengan tuduhan penodaan agama. Akan tetapi, tuduhan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pengadilan, sehingga harus tenggelam.
Fenomena TKNM mencerminkan radikalisasi telah muncul di tanah Jawa jauh sebelum indonesia merdeka. Hanya saja, radikalisasi zaman dahulu, tidak bisa kita paralelkan dengan radikalisasi yang terjadi belakangan ini. Apalagi menyamakan aksi bela islam yang belakang ini marak terjadi.
Apa yang disuarakan dan diproteskan oleh TKNM semata menyuarakan kebencian terhadap kelompk yang melakukan penghinaan terhadai islam, bukan soal ketidaksukaan pada sosok tertentu yang mengarah pada politik identitas dan kepentingan kelompok semata. Siapa yang tidak terbakara amarahnya, ketika Nabi Muhammad disebut suka mabuk dan minum opium.  
Dalam teori resepsi, teks dan konteks menjadi tidak penting, tetapi yang penting adalah respon atau tanggapan pembaca. Dalam kasus Djawi Hisworo, yang penting adalah tanggapan pembaca dan reaksi umat. Reaksi terhadap Djawi Hisworo termanifestasi lewat TKNM yang ingin membela kehormatan islam dan Nabi Muhammad.
Tulisan yang menyebut Nabi Muhammad dengan “mabuk dan minum opium” telah berhasil menjadikan persepsi individu menjadi persepsi kolektif masyarakat. Ketika Tjokroaminoto dan Misbach menyebarkan pamflet untuk menarik simpati masyarakat, disanalah persepsi kolektif berlaku. Masyarakat seluruh Jawa dan sebagian Sumater bergerak melakukan protes. Selain itu, banyak elit organisasi, pun menuntut agar kedua penulis ditindak sesuai hukum.
Dari dulu, penodaan agama memang akan selalu menampilkan reaksi dan protes dari masyarakat, hanya saja, perlu digarisbawahi sejauh mana gelombang protes “dimanfaatkan” oleh elit untuk kepentingan tertentu. Hari ini aksi bela islam seolah mengindikasikan untuk kepentingan politik suatu kelompok, bukan untuk membela kehormatan agama islam atau kehormatan islam.  


Pustaka

Shiraishi, Takeshi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 
Aziz, Abdul. 2016. Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan pada Zaman Awal Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet
Bakri, Syamsul. 2015. Gerakan Komunis Islam Surakarta 1914-1925. Yogyakarta: LKiS


0 Comment "Aksi Bela Islam Tentara Kandjeng Nabi Muhammad "