Ayah dan Rindu Yang Tak Selalu Serupa Dendam


Kadang, saya terpikir, bagaimana seorang anak kecil merasakan kesedihan karena ditinggal orang yang disayangnya. Apakah benar, anak kecil benar-benar merasakan sedih terdalam laiknya, anak dewasa pada umumnya. Ya, itulah perasaan saya saat ingat kematian ayah. Seolah, kepergian ayah tak meninggalkan bekas luka mendalam dalam diri. Saya seperti tak merasakan kesedihan apa pun, ketika ayah meninggal.
Saya memang tak ingat betul, pada usia berapa saya ditinggal mati oleh ayah saya. Mungkin umur 5 tahun, mungkin belum genap 5 tahun. Sehingga, dalam kesedihan, saya baru merasakannya, setelah dewasa, saat saya membutuhkan sosok ayah, terutama saat harus menjadi wali di sekolah.
source: kompasiana
Hingga detik ini, sudah 25 tahun lamanya, saya terbiasa hidup bersama ibu dan saudar perempuan saya. Saat lebaran, saya tak pernah ingat bahagianya berlebaran bersama bapak. Dua puluh lima tahun lamanya, bapak telah meninggalkan kami semua. Sekarang saya sudah berumur 30 tahun, tak pernah sedikit pun rasanya ada ingatan tentang lebaran bersama bapak. Mungkin saudara-saudara saya pernah merasakan indahnya lebaran bersama bapak, tapi saya yang masih berumur 5 tahun, tak pernah ingat momen itu.
Rindu ayah itu sudah pasti. walau terkadang saya tak ingin mengingatnya. Saya tak pernah membayangkan sebelumnya betapa bahagianya berlebaran dengan keluarga yang utuh. Mungkin karena saya terlalu kecil waktu itu, hingga memori bersama bapak, sama sekali kurang melekat dalam diri.
Keberadaan Ibu dan saudara seolah memalingkan semua ingatan tentang bapak. Kadang saya merasa iri dengan saudariku yang bermimpi bertemu bapak, karena saya tak pernah merasakan itu, hingga di umur yang ke-30. Barangkali, saya terlalu durhaka sama bapak, hingga dalam mimpi pun kami tak pernah bertemu, atau mungkin karena ingatan masa kecil saya terlalu sebentar bersama bapak, hingga beliau tak kunjung datang dalam mimpi.
Kadang harapan saya terlalu sederhana, menghadirkan bapak dalam mimpi, hanya untuk mengobati rasa rindu dalam diri. Kerinduan yang membuncah dalam diri seolah tak pernah menemukan oasenya. Dahaga rindu telah begitu kerontang, kemana akan kuhilangkan buncah rindu.
Kadang saya merasa iri saat melihat saudara atau teman yang masih punya orang tua lengkap. Ingin rasanya memeluk manja ayah. Ingin rasanya bercerita semuanya pada bapak tentang hal ihwal hidup bahka kegetiran. Selama 25 tahun, rasanya saya tak pernah ingat momen indah bersama bapak.  Kenangan-kenangan bersama pun seperti tak ada.
Dulu, saat masih sekolah SMA, kenangan bapak hanya tersisa KTP. Saya masih ingat, bapak menggunakan odheng di foto KTP-nya. kini, foto itu entah kemana. KTP itu tersimpan rapi bersama foto ibu. namun, kini KTP bapak hilang entah kemana. Saya dan kami sekeluarga tak punya selembar foto pun untuk dilihat dilkala merindu.

Rindu yang (tak) Serupa Dendam
Jika kau merasakan rindu tapi tak pernah tahu bagaimana mengobatinya, masihkah kau percaya bahwa rindu itu seperti dendam yang harus dibayar tuntas?* Jika dua hari kau tak bertemu pacarmu, kau merindunya setengah mati. Jika kau merindu pada pada pasangan, kau bisa obati dengan memandang potretnya, berkomunikasi atau menemuinya.
Baiklah, dimensi terdalam manusia berupa cinta dan rindu. Kenangan bisa menjadi penyebab rindu itu. Moment bisa menjadi pemicu rindu itu. Saya tak pernah punya kenangan, momen, bahkan foto ayahnya, tapi darah dan peluh ayahnya mengalir deras di dalam diri. Gemuruh kerinduan mendesis dalam setiap detak jantung dan aliran darah. Deru kerinduan mengguncang batin. 
Jika memang rindu (benar) serupa dendam, saya akan memendam dendam kesumatnya hingga detik dimana saya dapat melihat jelas ayahnya, bahkan dalam mimpi sekali pun. Setiap detik adalah dendam yang harus dituntaskan. Perjalanan hidup akan kudipenuhi dendam karena merindu.
Kita boleh mengatakan, perjumpaan adalah obat dari segala obat rindu. Bagaimana kau memulai perjumpaan, jika semuanya nyaris mustahil. Ah sudahlah, kau harus sadar bahwa terkadang tulisan tak akan mampu mewakili seluruh gemuruh dendam dan rindu yang tersemat di dalam jiwa.    
Setiap rindu yang dipendam sang anak adalah dendam yang ingin ia tuntaskan.  Ataukah ia sudah tak tahu cara merindu. Ia sudah lupa bagaimana merindukan orang terdekatnya. Ia mungkin kebal dengan kata “rindu”. Rindu hanya serupa ilusi. Rindu serupa fatamorgana. Semakin didekati semakin tersiksalah ia oleh rindu. Semakin didekati, semakin hauslah ia akan kerinduan.

Selamat hari ayah, bapak terhebatku. Lahul Fatihah. Semoga Arwahmu disana tenang dan kelak, kita akan berkumpul lengkap sekeluarga, di Surga-Nya.

*Judul dari Novel Eka Kurniawan, “Seperti Rindu, Dendam harus Dibalas Tuntas”


0 Comment "Ayah dan Rindu Yang Tak Selalu Serupa Dendam"