Nutrisi Pengetahuan dari Buku Terjemahan


Sejarah literasi telah menegaskan bahwa buku menjadi media yang efektif menebarkan ideologi, gagasan dan pemikiran. Transfer pengetahuan terjadi ketika manusia membaca buku.
Lewat buku, perabadan manusia dicetak dengan penuh kegemilangan. Buku telah menjadi jembatan penyambung antar peradaban dunia. Kegemilangan peradaban umat islam didapatkan dengan proyek penerjemahan secara massif. Buku terjemahan berhasil menggerakan detak jantung keilmuan umat islam.
Tanpa proyek penerjemahan khalifah Al-Makmun, kita tidak bisa membayangkan kegemilangan umat islam. Mimpinya bertemu Aristoteles, telah membangunkan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan di dunia islam. Mega proyek penerjemahan buku filsafat Yunani ke dunia Islam pun dilakukan. Untuk menggiatkan proyek itu, Al-Makmun membayar sesuai dengan berat buku yang diterjemahkan. Bayarnya pun memakai emas.
Mega proyek penerjemahan telah menghasilkan nama-nama besar ilmuwan dan imam besar dalam islam. Filsuf muslim pun muncul dengan mengelaborasi nash al-qur'an dan filsafat Yunani. Muncullah, filsuf islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Arabi, dan lainnya. Penemuan di dunia islam bermunculan selaras dengan gairah ilmu pengetahuan. Gemerlap terang ilmu pengetahuan di dunia islam tidak muncul di Eropa. Eropa masih ada di dunia kegelapan. Tradisi pengetahuan di Eropa belum bergairah laiknya di dunia islam.
Perlahan dunia barat mulai bergairah pada ilmu pengetahuan. Pemimpin islam banyak mengambil orang-orang Eropa untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Persia. Dunia islam tenggelam, Eropa bangkit dengan zaman pencerahannya. Ilmu pengetahuan berkembang luas. Rasionalitas diagungkan. Terbentuklah manusia-manusia seperti John Locke, David Hume, Descartes, dan lain sebagainya. Bukunya, bisa kita nikmati hari ini.

“Manusia Terjemahan”
Penerjemah telah berhasil membentuk jembatan layang peradaban manusia. Penerjemah telah membentuk pengetahuan manusia. Transfer pengetahuan ada lewat jasa penerjemah. Akan tetapi, geliat buku terjemahan terkadang tidak paralel dengan kualitas terjemahan.
Pernah pada suatu ketika, di sebuah toko buku di Jogja, saya menemui satu buku novel terjemahan yang diterbitkan oleh dua penerbit berbeda. Hasilnya, saya menemukan perbedaan terjemahan dari buku tersebut.
https://www.capitalideasonline.com 
Saya pun, terpikir ada apa sebenarnya? Dalam situasi ini, saya teringat artikel M. Faizi dalam “Korupsi (Buku) Terjemahan”, yang menyatakan bahwa telah terjadi pemotongan (korupsi) dalam buku terjemahan. Korupsi tersebut sangat berbahaya bagi pembacanya jika berkaitan dengan buku agama islam. Korupsi ide pun sangat mungkin terjadi, baik dalam naskah terjemahan, terutama berkaitan dengan penambahan dan pengurangan teks penerjemahan. M. Faizi mengajukan beberapa buku terjemahan dari bahasa Arab yang ditemukan banyak dikorupsi.  
Seandainya “korupsi” itu nyata dan ada di setiap buku terjemahan, saya pun berpikir bahwa pengetahuan kita menjadi tidak sempurna. Jika ada korupsi dalam terjemahan, berarti terjemahan itu tidak utuh di tangan pembaca. Kita membaca hasil karya penerjemah yang diadaptasi dari penulis asli. Mungkin ada satu dua kalimat, paragraf atau satu dua lembar yang tidak diterjemahkan. Korupsi terjemahan tentu sangat berbahaya bagi pembaca buku terjemahan. Membaca karya terjemahan berarti kita membaca karya kw dari penulis asli.
Ada atau tidaknya korupsi dalam buku terjemahan, kita tidak perlu khawatir apalagi sampai takut membeli buku terjemahan. Terlebih kita kadang dihadapkan pada kualitas terjemahan. Terkadang kita membaca buku terjemahan dengan kalimat njlimet.
Kita tentu sering menemui buku terjemahan yang sulit dipahami isinya dan membuat kita tidak bisa menikmati buku tersebut. Kita tidak bisa mengetahui secara utuh buku tersebut. Kita gagal memahami ide buku tersebut. Jika korupsi terjemahan ada dan kualitas terjemahan dibawah standar, berarti benar, pengetahuan kita dibentuk oleh penerjemah.
Buku yang kita baca adalah transfer pengetahuan dari penerjemah, bukan penulis asli. Jika kita membaca terjemahan yang dikorupsi atau terjemahan yang jelek, bagaimana dengan kualitas pengetahuan kita? Tentu, ini bukan agitasi atau provokasi untuk tidak membeli buku terjemahan. Akan tetapi, kita perlu hati-hati dan selektif dalam membeli buku terjemahan.
Dalam kegetiran itu, saya seolah mendapatkan angin segar ketika tanpa sengaja googling keyword “buku terjemahan”. Saya menemukan Eka Kurniawan menulis artikel “Tentang Terjemahan”. Eka memang mengidealkan pembaca polygolt (bilingual). Seandainya bisa membaca buku asli, kenapa harus membeli terjemahan? Seandainya bisa bahasa Arab, Inggris, Prancis atau Jerman, tentu kita akan membaca buku pengarang asli, bukan dari terjemahan. Eka Kurniawan mengistilahkan buku terjemahan sebagai fenomena. Ada kalanya, kita dikutuk untuk tidak pernah tahu yang sejati dari terjemahan. Menurutnya, membaca terjemahan terkadang tidak menjamin menemukan kenyamanan dan keasyikan seperti membaca karya aslinya.
Ungkapan Eka menemukan kontekstualisasinya dengan ungkapan Eugine E. Nida, penerjemah Injil “Translation is like a woman; it’s not faithful when it is beautiful”. Membaca buku yang mudah dimengerti dan enak dibaca akan membuat kita berpikir seoalah itu terjemahan bagus dan sesuai teks aslinya, walau pun belum tentu sesuai dengan teks aslinya.   
Dalam kondisi apa pun dan bagaimana pun, penerjemah telah memainkan peran penting dalam dinamika kemajuan peradaban manusia. Jepang menjadi contoh kecil dari negara yang sukses membangun peradabannya lewat proyek penerjemahan. Proyek penerjemahan telah berhasil membuat Jepang menjadi bangsa yang unggul di bidang sains dan teknologi.
Dinamisasi ilmu pengetahuan harus diimbangi dengan kegiatan penerjemahan yang baik; kualitas dan kuantitas. Kita tidak bisa memungkiri jasa penerjemah dan buku terjemahan dalam membentuk pengetahuan kita. Sedikit atau banyak, kita telah menelan terjemahan sebagai nutrisi pengetahuan.


0 Comment "Nutrisi Pengetahuan dari Buku Terjemahan "