KEPEMIMPINAN SYARIF HIDAYATULLAH DI KESULTANAN CIREBON

Latar Belakang

Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati merupakan anggota wali songo yang menyebarkan agama islam di Jawa Barat. Ia bernama Nurullah yang kemudian dikenal dengan Syekh Maulana. Syarif Hidayatullah juga dikenal dengan nama Fatahillah atau Falethan yang berasal dari kata Fath (kemanangan).[1]

Syarif Hidayatullah merupakan walisongo yang menjabat sebagai ulama dan umara, yaitu Sultan di Cirebon.[2] Seabgai ulama, Syarif Hidayatullah mendapatkan tugas dakwah di Cirebon (Jawa Barat), Banten, dan Sunda Kelapa (Jakarta). Jabatannya sebagai ulama dan umara ditegaskan dengan perannya sebagai sosok wali penyebar islam di pulau Jawa dan sekaligus sebagai Umara yang menjadi pendiri Kesultanan Cirebon. Dialah pendiri dinasti Raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Syarif Hidayatullah adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.[3]

Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Syarif Hidayatullah berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[4]

Pada masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah, Cirebon dikenal sebagai “Jalur Sutra”. Di sana, terdapat pelabuhan “Muara Jati” sebagai lalu lintas utama di kawasan Cirebon yang menjadi arena perdagangan internasional. Pelabuhan yang ramai dan jalur utama transportasi dengan wilayah-wilayah lainnya menyebabkan kota tersebut tampil dengan keterbukaan dan menerima, atau paling tidak, tempat persinggahan bagi setiap budaya, gerakan, dan pemikiran yang melintasi kawasan tersebut.

Dalam karir politiknya, Syarif Hidayatullah telah melakukan penyeragaman gelar gunan memudahkan penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun wilayah bahawan kesultanan Cirebon.

Syarif Hidayatullah telah menyusun pemerintahan yang bersifat desentralisasi. Strategi politik Syarif Hidayatullah dalam mengembangkan Kesultanan Cirebon yang berpola berpola pemerintahan kerajaan pesisir, di mana pelabuhan menjadi bagian yang sangat penting dan pedalaman menjadi unsur jang vital.[5]

Rumusan Masalah
Ada pun rumusan masalah dalam makalah ini, berupa;
1. siapakah Syarif Hidayatullah
2. bagaimana kepemimpinan Syarif Hidayatullah di Kerajaan Cirebon?

Tinjauan Pustaka
Dalam mengkaji dan menyusun kajian kepemimpinan Syarif Hidayatullah kerajaan Cirebon ini akan menggunakan rujukan buku atau library research, di mana sumber utama dari penelitian adalah adalah karya akademis yang berkaitan dengan kerajaan Cirebon.

Pertama, buku berjudul “Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa ; Peralihan dari Majapahit ke Mataram” (Jakarta : Pustaka Gratifipers & KITLV, cet.ke-1 1985), karya H.J. de Graaf dan Th. G. Pigeaud. Buku ini mendeskripsikan sejarah islamisasi di jawa dan munculnya kerajaan islam di Jawa paska keruntuhan kerajaan Majapahit, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pada Bab VII dideskripsikan kerajaan Cirebon yang lebih fokus pada tokoh Syarif Hidayatullah sebagai aktor penggerak kerajaan Cirebon. Buku ini tidak membahas secara detail kerajaan Cirebon, mulai berdirinya hingga keruntuhan.


Kedua, buku “Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1950-1900 dari Emporium Sampai Imperium” (Jakarta : Gramedia, cet.kedua 1988), karya Sartono Kartodirdjo. Buku ini secara umum membahas tentang kerajaan di indonesia. Di bagian Sub Bab, Sartono mengkaji Kerajaan Cirebon dalam ranah sejarah kemunculannya. Penulis hanya menemukan sedikit pembahasan tentang Syarif Hidayatullah.

Ketiga, buku Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Ombak, 201), karya Prof. A. Daliman. Buku ini memotret sejarah kerajaan islam di indonesia dari berbagai kepulauan Nusantara. Buku ini juga membahas Kerajaan Cirebon mulai dari kemunculan hingga kemunduran, akan tetapi hanya sedikit pembahasan yang menyoroti Syarif Hidayatullah. Di bagian pembahasan hanya dijelaskan asal-usul Syarif Hidayatullah yang masih dianggap kurang jelas.

 Kerangka Teori

Penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis Kepemimpinan Syarif Hidayatullah di Kerajaan Cirebon. Syarif Hidayatullah merupakan sosok wali yang melakukan gerakan islamisasi di Jawa dan Cirebon secara khusus. Pola gerakan dan kepemimpinannya ketika memimpin kerajaan Cirebon akan dianalisis secara lebih detail untuk mendapatkan sejarah yang komprehensif. Dalam menganalisis kepemimpinan Syarif Hidayatullah peneliti menggunakan teori pembaruan.

Azyumardi Azra mengatakan bahwa kebanyakan ulama dalam jaringannya, mempunyai komitmen pada pembaruan Islam, dan tidak ada keseragaman di antara mereka dalam hal metode dan pendekatan untuk mencapai tujuannya. Kebanyakan mereka memakai pendekatan damai dan evolusioner,[6] dari pendekatan inilah peneliti berusaha meninjau bagaimana gerakan politik yang dilakukan oleh Syarif Hidayatullah di Kerajaan Cirebon.

Dalam penelitian ini diperlukan pemahaman terhadap kondisi sosial dan fenomena masyarakat, maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan behavioral, yaitu pendekatan yang tidak hanya terfokus pada kejadiannya, tetapi pada perilaku sejarah yang riil. Bagaimana pelaku sejarah menafsirkan situasi yang dihadapinya, sehingga dari penafsiran tersebut muncul konsekuensi tindakan, yang menimbulkan suatu kejadian dan selanjutnya timbul suatu pengaruh dari tindakannya yang berkenaan dengan perilaku pemimpin.[7]

Keberhasilan seorang pemimpin dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya bisa diukur dengan sejauh mana ide-idenya telah terealisasi dengan menggunakan jasa-jasa orang lain. Efektif tidaknya suatu kepemimpinan dapat terlihat dari bagaimana penerusnya menerapkan kebijakan yang telah dicontohkan oleh pemimpin tersebut.

Kepemimpinan merupakan faktor penentu dan senantiasa menjadi tolak ukur dalam suatu pemerintahan. Untuk menganalisis bagaimana kepemimpinan yang dijalankan oleh Syarif Hidayatullah, peneliti menggunakan teori yang dikemukakan oleh Max Weber, yang membagi kepemimpinan menurut jenis otoritasnya yaitu otoritas legal rasional, otoritas tradisional, dan kharismatik.[8] Kepemimpinan legal rasional merupakan kepemimpinan yang didasarkan pada jabatan dan kemampuannya, serta kepercayaan atas legalitas pemimpin. Pemimpin tersebut mempunyai hak memerintah orang lain sesuai dengan aturan yang ditetapkan (otoritas resmi).

Mengenai kepemimpinan tradisional, kepemimpinan ini berdasarkan keturunan atau secara turun-temurun (pewarisan), sehingga seseorang itu bisa menjadi seorang pemimpin jika ia adalah keturunan dari seorang pemimpin juga. Kepemimpinan tradisional lebih mementingkan faktor keturunan daripada kemampuan seseorang yang akan dipilih menjadi pemimpin.

Berbeda halnya dengan kepemimpinan tradisional, kepemimpinan kharismatik adalah kepemimpinan yang didasarkan pada ketaatan terhadap kesucian (kewibawaan) yang sifatnya khusus dan luar biasa, heroism atau sifat yang patut untuk diteladani dari seseorang, sehingga tipe ini lebih terfokus pada kharisma yang ada pada diri seseorang dan hal tersebut merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa.

Peneliti mencoba menganalisis kepemimpinan Syarif Hidayatullah, dimulai dari perilaku (kepribadiannya) yang sangat berpengaruh di dalam memimpin Kerajaan Cirebon. Dari analisis itu dapat diketahui bagaimana tipe kepemimpinan Syarif Hidayatullah, setelah itu dilakukan analisis mengenai pengaruh yang timbul dari kepemimpinannya di Kerajaan Cirebon. Dengan demikian, pendekatan behavioral dan teori kepemimpinan tersebut diharapkan dapat mengungkap tuntas mengenai kepemimpinan yang dijalankan oleh Syarif Hidayatullah.

 Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian sejarah, maka metode yang akan digunakan adalah metode historis. Motede historis adalah proses menguji dan menganalisis data secara kritis-analitis terhadap rekaman dan peninggalan masa lalu berdasarkan data yang diperoleh.[9] Metode sejarah ini bertumpu pada beberapa langkah yaitu; pengumpulan data (heuristik), kritik sumber (verifikasi), penafsiran (interpretasi), dan penulisan (historiografi).[10]

a. Heuristik adalah kegiatan menemukan sumber yang diperlukan. Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), maka, yang dilakukan adalah mengumpulkan data dan menggali sumber dari berbagai literatur, baik buku, eksiklopedi, skripsi, dan jurnal penelitian yang berkaitan dengan kasus yang akan diteliti, yaitu Kerajaan Cirebon. Data dapat dibedakan menjadi dua yaitu primer dan data sekunder. Penggunaan data primer atau data sekunder demi mendapatkan data sejarah yang mencukupi dan kualitatif untuk penelitian sejarah.
b. Verifikasi. Setelah proses pengumpulan dan penggalian literatur dan data sejarah dilakukan, peneliti melakukan kritik terhadap sumber-sumber yang didapatkan. Ada dua macam kritik yang dapat dilakukan seorang peneliti sejarah, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern dilakukan untuk menguji keabsahan tentang keaslian sumber (otensitas), sedangkan kritik intern dilakukan untuk keabsahan mengenai kesahihan sumber (kredibilitas).[11]
c. Interpretasi. Interpretai adalah penafsiran.[12] Setelah data dan fakta untuk mengungkapkan masalah yang diteliti cukup memadai, langkah selanjutnya adalah interpretasi. Interpretasi adalah penafsiran akan makna fakta dan hubungan antara fakta satu dengan lainnya. Interpretasi dibagi menjadi dua macam, yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan data sejarah yang masih mengandung beberapa kemungkinan, sedangkan sintesis adalah menyatukan.
d. Historiografi. Kegiatan terakhir dari penelitian sejarah adalah merangkaikan dan memaparkan fakta berikut maknanya secara logis, kronologis, diakronis dan sistematis menjadi tulisan sejarah. Penyajian tulisan dalam bentuk tulisan mempunyai tiga bagian: Pengantar, Hasil Penelitian, dan Simpulan.[13]

KERAJAAN CIREBON DI ERA SYARIF HIDAYATULLAH
Biografi Syarif Hidayatullah
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati merupakan anggota wali songo yang menyebarkan agama islam di Jawa Barat. Ia bernama Nurullah yang kemudian dikenal dengan Syekh Maulana. Syarif Hidayatullah juga dikenal dengan nama Fatahillah atau Falethan yang berasal dari kata Fath (kemanangan).[14]

Menurut Saifuddin Zuhri[15] ketika mudanya, Syarif Hidayatullah bernama Raden Abdulqadir. Ia adalah putra Maulana Ishaq dengan ibu berasal dari Mekkah. Di usia remaja, Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf.[16]

Sartono menyebutkan bahwa Syarif Hidayatullah menuntut ilmu ke Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah, ia menetap di Demak. Di sana, ia menikah dengan saudara perempuan Sultan Trenggana. Lalu, ia pindah ke Banten dan mendirikan pemukiman muslim untuk pengikutnya. Sepeninggal putranya, Pangeran Pasarean, Syarif Hidayatullah pindah ke Cirebon dan kepemimpinan di Banten diserahkan pada putranya, Hasanuddin.[17]

Syarif Hidayatullah pernah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten dan dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah dikaruniai seorang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.[18]

Pada usia 89 tahun, Syarif Hidayatullah mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Syarif Hidayatullah wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.[19]

Kepemimpinan Syarif Hidayatullah di Kerajaan Cirebon

Perbedaan Syarif Hidayatullah dengan Wali Songo yang lain adalah selain sebagai ulama juga umara, yaitu Sultan di Cirebon.[20] Seabgai ulama, Syarif Hidayatullah mendapatkan tugas dakwah di Cirebon (Jawa Barat), Banten, dan Sunda Kelapa (Jakarta). Tugas itu dirumuskan sebagai berikut; “Kanjeng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana”. (Syarif Hidayatullah di Cirebon mengajarkan tatacara berdoa dan membaca matera, tatacara pengobatan, serta tatacara membuka hutan).[21]

Jabatannya sebagai ulama dan umara ditegaskan dengan perannya sebagai sosok wali penyebar islam di pulau Jawa dan sekaligus sebagai Umara yang menjadi pendiri Kesultanan Cirebon. Dialah pendiri dinasti Raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Syarif Hidayatullah adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.[22]

Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Syarif Hidayatullah berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[23]

Periode Syarif Hidayatullah (1479-1568) memimpin Cirebon merupakan masa perkembangan yang sekaligus juga kejayaan Islam di Cirebon. Pada masanya, bidang politik, keagamaan, dan perdagangan, sangat maju pesat. Pada masa itu pula terjadi penyebaran Islam ke Banten (sekitar 1525-1526) dengan penempatan salah seorang putra Syarif Hidayatullah, yaitu Maulana Hasanuddin.[24]

Pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah, banyak perubahan kebijakan yang menyangkut agama, sosial, politik, dan budaya serta merasakan berbagai situasi dari mulai masa-masa sulit hingga kejayaan dan kewibawaan.[25] Salah satu riwayat yang patut dikenang dalam bidang politik adalah ketika penyerangan ke Banten dan penguasaan Sunda Kelapa. Saat menjalankan pemerintahannya, suatu saat datang Raden Patah ke Keraton Pakungwati untuk mengabarkan kekalahan Malaka di tangan Portugis. Karena itu, Demak telah mengirim bala bantuan untuk mempertahankan pelabuhan Banten dan Sunda Kelapa selanjutnya yang dipimpin Adipati Unus.[26]

Kenyataannya, menurut riwayat dalam buku Sejarah Daerah Jawa Barat bahwa pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah bukan hanya menghadapi Portugis, tetapi juga menghadapi pasukan dari Pajajaran. Hal ini, mungkin diketahui sebelumnya bahwa pasukan Cirebon tidak dipimpin langsung oleh Syarif Hidayatullah, karenanya Raja Pajajaran Prabu Siliwangi menerima tawaran Portugis untuk bekerja sama agar menekan perkembangan islam di Tanah Sunda.[27]

Menurut Dadan Wildan dalam bukunya Syarif Hidayatullah perjanjian antara Portugis dan Pajajaran, meskipun terlihat sama-sama menguntungkan tetapi sebenarnya tetap merugikan bagi Pajajaran. Meskipun begitu, gabungan pasukan Demak dan Cirebon akhirnya dapat memukul mundur pasukan Pajajaran dan mengusir Portugis dari Sunda Kelapa pada tahun 1527 M.

Selain penaklukan Sunda Kelapa oleh gabungan pasukan Demak dan Cirebon, ada dua pertempuran lagi yang terjadi pada masa pengembangan Kesultanan Cirebon dibawah Syarif Hidayatullah. Pertempuran itu antara lain menghadapi pasukan yang dipimpin Arya Kiban dari negeri Rajagaluh yang dipimpin Prabu Cakraningrat. Adapun pertempuran ketiga terjadi diwilayah Talaga, sebuah kerajaan kecil di selatan Majalengka.[28]

Beberapa aspek keberhasilan pemerintahan dan politik Syarif Hidayatullah adalah sebagai berikut:
1. Wilayah bawahan Kerajaan Cirebon hingga tahun 1530 M sudah meliputi separuh dari Previnsi Jawa Barat sekarang–termasuk Provinsi Banten- dengan jumlah penduduk saat itu kurang lebih 600.000 orang yang sebagian besar masih beragama non-Islam.
2. Pelabuhan-pelabuhan penting di Pantai Utara Jawa Barat seluruhnya sudah dapat dikuasai oleh Kesultanan Cirebon
3. Masjid Jami (Masjid Agung Sang Ciptarasa) di Ibu Kota, masjid-masjid diberbagai wilayah bawahannya, serta langgar-langgar di pelabuhan telah selesai dibangun.
4. Keraton Pakungwati, kediaman resmi Syarif Hidayatullah, sudah disesuaikan dengan fungsi dan posisinya sebagai bangunan utama pusat pemerintahan kerajaan yang berdasarkan Islam.
5. Tembok keliling keraton berikut pintu gerbang, pengkalan perahu kerajaan, pos-pos penjaga keamanan, istal kuda kerajaan, bangunan untuk kereta kebesaran kerajaan, dan pedati-pedati untuk mengangkut barang, serta sitiinggil, bangunan untuk pengadilan (pancaniti), dan alun-alun telah selesai dibangun dan diperindah.
6. Tembok keliling ibukota meliputi areal seluas kurang lebih 50 hektar dengan beberapa pintu gerbang dan pos jagabaya telah selesai dibangun dan dikerjakan selama kurang-lebih tiga tahun.
7. Jalan besar utama menuju Pelabuhan Muara Jati dan jalan menuju ibukota serta jalan-jalan dari ibukota menuju wilayah bawahannya telah selesai dibangun.
8. Pasukan jagabaya jumlahnya sudah cukup banyak, organisasinya sudah ditata dengan komandan tertingginya dipegang oleh seorang tumenggung jagabaya.[29]

Syarif Hidayatullah telah melakukan penyeragaman gelar gunan memudahkan penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun wilayah bahawan kesultanan Cirebon. Pemerintahan yang dibangun pun diatur dengan rapi, seperti yang tertulis dalam buku Syarif Hidayatullah yaitu sebagai berikut:

Misalnya untuk kepala persekutuan masyarakat terkecil yang penduduknya paling banyak 20 somah (kepala keluarga) dipimpin oleh Ki Buyut, beberapa unit Kabuyutan yang merupakan sebuah dukuh/desa dipimpin oleh seorang Kuwu, beberapa orang Kuwu dipimpin oleh Ki Gedhe (Ki Ageng untuk istilah di Jawa Tengah), beberapa orang Ki Gedhe dipimpin oleh Bupati, Adipati, atau Tumenggung. Para Ki Gedhe, Bupati, Adipati, Tumenggung wajib menghadiri rapat bulanan atau seba keliwonan di ibukota Negara Setiap hari Jumat Kliwon bertempat di Masjid Agung Sang Ciptarasa.. Rapat ini dipimpin oleh Syarif Hidayatullah sendiri sebagai Kepala Negara.[30]

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa Syarif Hidayatullah telah menyusun pemerintahan yang bersifat desentralisasi. Strategi politik Syarif Hidayatullah dalam mengembangkan Kesultanan Cirebon dalam pengataman Seonardjo adalah desentralisasi yang berpola berpola pemerintahan kerajaan pesisir, dimana pelabuhan menjadi bagian yang sangat penting dan pedalaman menjadi unsur jang vital.[31]
 
PENUTUP
Syarif Hidayatullah merupakan ulama dan umara yang memimpin Kesultanan Cirebon. Ia melakukan islamisasi di Jawa Barat sekaligus melakukan misi politik. Artinya, kepmimpinan politiknya dalam memimpin kerajaan berfungsi untuk melakukan islamisasi terhadap masyarakat dan kerajaan lain.

Pada masa kekuasaan Syarif Hidayatullah, Cirebon mengalami masa perkembangan yang sekaligus juga kejayaan Islam. Pada masanya, bidang politik, keagamaan, dan perdagangan, sangat maju pesat. Pada masa itu pula terjadi penyebaran Islam ke Banten dengan penempatan salah seorang putra Syarif Hidayatullah, yaitu Maulana Hasanuddin.

Pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah, banyak perubahan kebijakan yang menyangkut agama, sosial, politik, dan budaya serta merasakan berbagai situasi dari mulai masa-masa sulit hingga kejayaan dan kewibawaan. Syarif Hidayatullah telah menjadi pemimpin yang melahirkan pemimpin yang berkualitas setelahnya. Kejayaan kesultanan Cirebon diperoleh dengan baik dan islamisasi di Jawa Barat berjalan dengan cukup instesif.
DAFTAR PUSTAKA
Graff dan Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram. terjemahan Grafitipers dan KITLV, Cet.Pertama. Jakarta : Temprint, 1985.

Suprapto, H. M. Bibit. Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta; Gelegar Media Indonesia, 2009

Ibrahim, Tatang. Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester 1 dan 2 .Bandung: CV ARMICO, 2009

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Akar Pembaruan Islam Indonesia. Bandung: Mizan, 1994

Bekhofer. Jr, Robert F. A Behavioral Approach to Historical Analysis. New York: Free Press, 1971

Tamburakka, Rustam E. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan Iptek Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto. Yogyakarta: Yayasan Penerbit UI Press, 1971
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos, 1999

Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung : P.T. AL-Maarif, cet.kedua, 1980

Sutrisno, Budiono Hadi. Sejarah walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa. Yogyakarta: Graha Pustaka, 2009

Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Dari Emporium ke Imperium Jilid I. Jakarta : Gramedia, 1987

Ekajati, Edi S. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera, 1992

Al Qurtuby, Sumanto. Arus Cina-Islam-Jawa. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003

Sunyoto, Agus. Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Jakarta: Transpustaka, 2011

H,M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta; Gelegar Media Indonesia, 2009.

Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2009

Sunardjo, RH. Unang. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809. Bandung: Tarsito, 1983

Bochari, M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001

Wildan, Dadan. Syarif Hidayatullah. Ciputat: Salima, 2012


[1] Graff dan Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram, terjemahan Grafitipers dan KITLV, Cet.Pertama (Jakarta : Temprint, 1985), hlm. 43

[2] H,M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara (Jakarta; Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm.757

[3] Ibrahim, Tatang. Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester 1 dan 2 (Bandung: CV ARMICO, 2009), hlm. 34-45

[4] Ibid., hlm. 34

[5] Dadan Wildan, Syarif Hidayatullah (Ciputat: Salima, 2012), hlm 250-251

[6]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Akar Pembaruan Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 18.

[7]Robert F Bekhofer. Jr, A Behavioral Approach to Historical Analysis (New York: Free Press, 1971), hlm. 63-67.

[8]Rustam E. Tamburakka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan Iptek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), hlm. 94.

[9] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto (Yogyakarta: Yayasan Penerbit UI Press, 1971), hlm. 32

[10] Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 54. Bandingkan dengan Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 1995), hlm. 89. Kutowijoyo menambahkan bahwa tahap penelitian sejarah adalah sebagai berikut , yaitu; (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sejarah), (4) interpretasi: analisis, sintesis, dan (5) penulisan.

[11] Ibid., hlm. 99

[12] Ibid., hlm. 100

[13] Ibid., hlm.103-104

[14] Graff dan Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram, terjemahan Grafitipers dan KITLV, Cet.Pertama (Jakarta : Temprint, 1985), hlm. 43

[15] Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung : P.T. AL-Maarif, cet.kedua, 1980), hlm. 329

[16] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa (Yogyakarta: Graha Pustaka, 2009), hlm. 162.

[17] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Dari Emporium ke Imperium Jilid I (Jakarta : Gramedia, 1987), hlm. 32-33

[18] Edi S. Ekajati, Sejarah Lokal Jawa Barat, (Jakarta: Interumas Sejahtera, 1992), h. 32.

[19]Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm. 90.

[20] H,M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara (Jakarta; Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm.757

[21] Agus Sunyoto, Wali Songo, hlm. 90

[22] Ibrahim, Tatang. Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester 1 dan 2 (Bandung: CV ARMICO, 2009), hlm. 34-45

[23]Ibid., hlm. 34

[24] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 164

[25] RH. Unang Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809 (Bandung: Tarsito, 1983), hlm. 70.

[26] M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. (Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001), hlm. 28.

[27] Ibid.,

[28] Dadan Wildan, Syarif Hidayatullah (Ciputat: Salima, 2012), hlm. 250.

[29] Ibid., hlm. 250-251

[30] Ibid., hlm. 251

[31] Dadan Wildan, hlm. 250-251

0 Comment "KEPEMIMPINAN SYARIF HIDAYATULLAH DI KESULTANAN CIREBON"