PANDANGAN SEJARAH MODERN


BAB I PENDAHULUAN

            Zaman modern ditandai dengan aliran rasionalisme yang banyak mempengaruhi pandangan sejarah. Dunia modern memandang sejarah sebagai kajian yang harus rasional, kritis, dan ilmiyah. Akal merupakan sumber dari gerak sejarah.

            Ketika akal dijadikan tolok ukur dalam gerak sejarah umat manusia, maka telah terjadi perbedaan pandangan antara dimensi keduniawian dan keilahian dalam interpretasi sejarah. Penyelanggaraan ilahi tidak lagi menentukan sejarah, akan tetapi kemajuan manusialah yang menentukan sejarha. Sejarah mistik yang bernuansakan kepercayaan kristiani digantikan dengan sejarah rasional-empiris yang bertumpu pada akal dan pengamatan inderawi.


BAB II PANDANGAN MODERN TENTANG SEJARAH

1.     Bossuet (1637-1704)

            Jacques Benigne Bossuet adalah filsuf Prancis yang dilahirkan di Dijon pada 27 September 1627 dan meninggal di Paris pada tanggal 12 April 1704. Ia belajar di College des Godrans. Pada tahun 1642 pindah ke Paris untuk menyelesaikan studi filsafat dan teologi di College de Navarre.

            Pandangan sejarah Bossuet menekankan sebuah anggapan bahwa sejarah umat manusia dituntut oleh penyelenggaraan ilahi. Sejarah umat manusia tidak lepas dari perang kebaikan dan keburukan. Di mana, kebaikan akan mengalahkan keburukan; kebenaran akan mengalahkan kejahatan.

            Segala eristiwa sementara itu bekerja sama untuk memenuhi penyelenggaraan illahi yang kekal. Semua kekuataan didunia turut bekerja tampa dikehendaki dan dimengerti untuk memenuhi rencana Tuhan. Pax Romana adalah bersamaan dengan kelahiran Kristus dan dipakai sebagai persiapaan untuk meluaskan injil suci.[1]

            Tuhan mempunyai waktu yang tak habis-habisnya untuk mewujudkan kehendaknya dan kita harus bersabar hati menghadapi kejadian-kejadian sementara yang kacau ini. Segala peristiwa sementara itu bekerja sama untuk memenuhi penyelenggaran Tuhan yang kekal. Semua kekuatan di dunia turut bekerja tanpa dikehendaki dan dimengerti untuk memenuhi rencana Tuhan.

            Hal ini dapat dilihat dari sejarah bangsa yahudi yang menjadi manifestasi dari penyelenggaraan tuhan. Bangsa Assria dan Babilonia dipergunakan untuk menyiksa umat Alla, bangsa Persia dipakai untuk memperbaiki mereka, Alexander dipakai untuk melindungi mereka, sedang bangsa romawi untuk membebaskan mereka, tapi kelak digunakan untuk membinasakan mereka. Perjalanan tersebut bertujuan untuk mengekalkan Tuhan.

2.     Voltaire (1694-1778)

            Voltaire melihat sejarah dan institusi social dengan masyarakatnya, semata-mata dari sudut intelektual dan kaum borjuasi, sehingga ia mengecam Zaman Pertengahan.[2] Menurut Voltaire, rasionalisme menolak visi tradisional yang bersumberkan kitab suci, dan memperjuangkan rasio sebagai interpretasi sejarah secara teologis. Voltaire juga berpendapat Tuhan telah menarik diri dari dalam pengaturan sejarah, mungkin Tuhan masih mengaturnya, namun tidak ikut campur dalam proses sejarah. Menurut voltaire, tujuan dari sejarah itu ditentukan oleh akal manusia, akal berperan menentukan jalan sejarah. Perkembangan proses sejarah manusia dalam mencapai kebahagiaan itu ditentukan oleh akal manusia.

            Gagasan Voltaire dalah bila manusia ingin merdeka dan bebas dari kungkungan, ia harus melawan segala bentuk dominasi dan pengaruh agama Kristen dan gereja. Bagi Voltaire sumber segala kejahatan dan bencana kemanusiaan di dunia adalah agama yang terorganisir (The root of all evil in the world was organised religion). Agama memaksa manusia mempercayai absurditas, keyakinan supranatural yang tidak masuk akal dan berbuat sesuatu atas nama kehendak tuhan. Voltaire (seperti Freud), percaya bahwa smeua agama berakar dari ketakutan manusia terhadap kekuatan misterius dari kekuatan alam. Rasa ketakutan ini dieksploitisir oleh pendeta yang merasa menemukan tuhan, pengontrol semua kekuatan itu. Perintah dan nasehat pendeta harus dipatuhi jika manusia ingin selamat.[3]

            Voltaire menyerang semua agama wahyu, terutama Katholik. Ia menilai Katholik sebagai bentuk agama terburuk dari semua agama wahyu. Teologi dianggapnya sebagai “logika tanpa penalaran”. Sejarah gereja adalah kisah panjang penindasan kaum pendeta terhadap kaum ingkar, murtad, dan kaum pemikir bebas, pembunuhan massal, perang-perang agama yang semua itu menghiasi Eropa dengan darah. Oleh karena itu Voltaire menganggap agama itu menjijikkan dan menakutkan, agama menjadi anti-tesis kemanusiaan. Meskipun demikian, Voltaire bukanlah atheis, ia adalah seorang deis. Deis percaya pada agama alam, agama yang tanpa dogma, doktrin, bible, atau keajaiban-keajaiban. Deis percaya pada Tuhan hanya sebagai pencipta alam semesta.

            Voltaire mengatakan:

    ”Saya akan selalu yakin bahwa sebuah jam membuktikan keberadaan pembuat jam, dan alam semesta membuktikan keberadaan Tuhan.” Menurut Voltaire, setelah dunia diciptakan, Tuhan tidak mengintervensinya. Alam semesta bekerja otomatik menurut hukum-hukumnya sendiri.[4]

            Voltaire meyakini adanya moralitas universal, moralitas yang berlaku umum, tidak terikat ruang dan waktu serta tidak harus bersumber pada agama yang terorganisir. Dasarnya, Tuhan telah memberikan manusia kode moralitas, yaitu kebaikan dan kejahatan. Voltaire, meski tidak percaya surga-neraka dalam pengertian Kristiani, ia tetap percaya pada immortalitas (keabadian) jiwa/ruh dan kehidupan mendatang. Diyakini, bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, begitu pula dengan kejahatan.[5]

            Tujuan sejarah ditentukan oleh akal kita sendiri, yaitu untuk memperbaiki kondisi hidup manusia, dalam arti untuk mengurangi kebodohan mereka dan dengan demikian agar dapat hidup lebih baik. Apa  yang dibangun oleh Voltaire adalah sejarah yang diberi aspek profan. Bukan penyelenggara illahi, melainkan akallah yang memimpin manusia masa silam yang kelam menuju kemasa kini yang terang dan masa mkini akan menuju kemasa mendatang yang lebih cemerlang. Jadi harapan orang Kristen pada penebusaan telah disekularisasikan menjadi harapan yang tak tentu pada masa dating.[6]

3.     Condercet (1743-1794)

            Concodercet adalah filsuf penganut teori kemajuan yang berpandangan bahwa manusia akan mencapai kesempurnaan; baik pengetahuan atau kebahagiaan. Kemajuan sifatnya tidak tentu, tergantung umur bumi dan kekekalan hukum alam.

            Letak kemajuan ditandai adanya perbaikan-perbaikan industri dan teknologi. Perbaikan umat manusia akan mempengaruhi konstitusi alamiah dan akan menangguhkan kematian, karena adanya makanan yang sehat. Moral manusia dan konstitusi intellectual dapat juga mengalami kemajuan.[7]

            Condercet mengakui bahawa sekularisasi sangat menonjol. Peramalan telah digantikan dengan perhitungan-perhitungan rasional, sedangkan prasangka, tahayul, dan otoritas akan digantikan ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri pada eksprimen dan perhitungan.[8]

            Kemajuan penuh semangat dan pujian. Kesempurnaan kemampuan manusia benar-benar tak terbatas kecuali karena terbatasnya usia bumi tempat kita hidup. Ia juga mengakui, tingkat kemajuan mungkin berbeda, namun tak ada kemungkinan tetap atau mundur.

            Menurut Condorcet, Studi sejarah mempunyai dua tujua, pertama, adanya keyakinan bahwa sejarah dapat diramalkan asal saja hukum-hukumnya dapat diketahui (yang diperlukan adalah Newton-nya Sejarah). Tujuan kedua, adalah untuk menggantikan harapan masa depan yang ditentukan oleh wahyu dengan harapan masa depan yang bersifat sekuler.

            Condorcet mengemukakan bahwa belajar sejarah itu dapat melalui, pengalaman masa lalu, pengamatan pada kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan peradaban manusia, da menganalisa kemajuan pemahaman manusia terhadap alamnya.[9]

4.     St. Simon (1760-1825)

            St. Simon merupakan sosok yang sangat berperan dalam ilmu pengetahuan alam. Ia pun mencoba menerapkan kaidah dan huukum ilmu alam pada ilmu sosial dan sejarah. Kemajuan masyarakat seperti halnya perkembangan individu harus tunduk dan mengikuti hukum-hukum atau asas-asas hukum.[10]

            St. Simon membedakan antara periode organisasi atau konstruksi dengan masa kritis atau periode revolusi;  masa Sokrate adalah masa organisasi, periode kritis berupa penyerbuan bangsa barbar. Periode Karel Agung sampai kira-kira tahun1500 adalah periode organisasi : dengan tampilannya luther maka mulai masa kritis yang baru. Abad pertengahan. adalah periode organisasi, di mana asas organisasi social direalisasikan oleh hubungan yang tepat dari pengetahuan rohani dan pengetahuan sementara didasarkan atas doktrin umum.[11]


5.     Auguste Comte (1798-1857)

            Filsafat Auguste Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari Comte. Comte membagi masyarakat atas “statika sosial” dan “dinamika sosial”. Statika social adalah teori tentang susunan masyarakat, sedangkan dinamika social adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan. Sosiologi ini sekaligus suatu “filsafat sejarah”, karena Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta individual sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang menerangkan fakta-fakta itu. Fakta-fakta itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga falsafi, religious, atau kultural.[12]

            Indera merupakan elemen penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas jauh diukur dengan meteran dan lain-lain. Kita juga cukup mengatakan api panas atau matahari panas, kita juga cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.

            Menurut Comte perkembangan sejarah umat manusia dibagi dalam 3 tahap yaitu yang pertama tahap teologik, berkembang ke tahap metafisika, dan akan berkembang tahap positif.[13]

1.      Tahap teologik bersifat melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terahir segala sesuatu. Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari supernaturalisme, bermula dari suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang paling primitif. kemudian mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri. Dan kemudian menjadi monoteisme ini adalah suatu tahap tertinggi yang mana saat itu manusia menyatukan Tuhan-Tuhannya menjadi satu tokoh tertinggi. Ini adalah abad monarkhi dan kekuasaan mutlak. Ini menurutnya adalah abad kekanak-kanakan.[14]

2.      Tahap metafisik sebenarnya merupakan suatu masa dimana disini adalah masa perubahan dari masa teologik, dimana pada masa teologik tersebut seseorang hanya percaya pada satu doktrin saja dan tidak mencoba untuk mengkritisinya. Dan ketika manusia mencapai tahap metafisika ia mulai bertanya-tanya dan mulai untuk mencari bukti-bukti yang nyata terhadap pandangan suatu doktrin. Tahap metafisik menggunakan kekuatan atau bukti yang nyata yang dapat berhubungan langsung  dengan manusia. Ini adalah abad nasionalisme dan kedaulatan umum sudah mulai tampak, atau sring kali tahap ini disebut sebagai abad remaja.[15]

3.      Tahap positif berusaha untuk menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada tahap ini seseorang tahu bahwa tiada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis ataupun secara metafisika. Pada tahap ini orang berusaha untuk menemukan hukum dari segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang pada akhirnya akan menghasilan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada tahap ini menerangkan berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum.[16]

            Dari pandangan di atas diketahui bahwa pandangan sejarah Comte bersifat linear. Artinya, sejarah bergerak dari satu tahap ke tahap berikutnya untuk menuju pencapaian yang lebih baik. Sejarah berkembang dari arah primitif ke perkembangan yang lebih bai, lebih tinggi dan sempurna. Perkembangan tersebut biasanya lebih mengarah pada intelegensia dan intelektual dari pada moral.[17] 

          

6.     G. W.F. Hegel (1770-1831)

            Menurut Hegel berpadangan bahwa akal adalah asas dunia ; dunia dikuasai olehnya, sehingga kenyataan menjadi masuk akal dan masuk akal pula berlakunya sejarha. Manusia berpikir dan menentukan arah gerak sejarah berdasarkan konsepsi ide.[18] 

            Selanjutnya, Hegel merumuskan metode tiga metode dalam menulis sejarah :


    ·         Sejarah asli (original history)


    ·         Sejarah reflektif (reflective history)


    ·         Sejarah filosofis (philosophical history)[19]


            Sejarah asli menjelaskan tindakan, peristiwa dan kondisi yang sebelumnya mereka saksikan dan peristiwa yang mereka alami. Pada saat mengamat peristiwa sejarah, seorang sejarawan selalu merujuk pada pernyataan atau laporan orang lain untuk mereka deskripsikan. Sejarawan yang dapat dijadikan sebagai contoh adalah Herodotus dan Thucydides.[20]

            Sejarawan asli mengubah peristiwa, perbuatan dan keadaan masyarakat yang mereka kenal menjadi sebuah objek kemampuan konseptif. Cerita yang mereka tinggalkan kepada kita tidak dapat terpahami sepenuhnya. Herodotus, Thucydides, Guicciardini dapat dikelompokan sebagai contoh golongan ini. Apa yang hadir dan hidup di lingkungan mereka adalah bahan yang tepat. Berbagai pengaruh yang membentuk penulis identik dengan yang membentuk peristiwa yang merupakan materi ceritanya. Semangat pengarang, dan berbagai perbuatan yang dia ceritakan, adalah satu dan sama. Ia memaparkan kancah tempat dia sendiri menjadi salah seorang pelakunya atau, sampai tingkat tertentu, menjadi seorang penonton yang penuh perhatian. Adalah periode waktu yang pendek, berbagai bentuk persona dan kejadian individual, tunggal, sifat yang tidak terlukiskan, dari situlah dia menciptakan gambarnya. Dan tujuannya tidak lain daripada penyajian keturunan (posterity) sebuah cerita peristiwa yang sama jelasnya dengan yang dimilikinya sendiri berdasarkan observasi pribadi, atau deskrifsi yang sehidup mungkin. Permenungan bukan merupakan urusannya, karena dia hidup dalam ruh subjek.[21]

            Sejarah Reflektif terbagi menjadi empat jenis. Pertama, sejarah reflektif bersifat pragmatis, yaitu sejarah yang ditulis untuk diambil manfaatnya. Sejarah reflektif yang ditulis hanya untuk sekedar mendapat pandangan tentang suatu bangsa dan Negara, atau tentang dunia. Ketiga, sejarah reflektif bersifat Kritis. Keempat, sejarah reflektif bersifat tematik, seperti halnya Sejarah Seni, Hukum atau Agama. Sejarah jenis ini menunjukan ketidaklengkapannya karena ia hany disajikan berdasar tema-tema tertentu.

            Sejarah filosofis tidak menggunakan sarana apa pun kecuali pertimbangan pemikirannya terhadapnya. Bagi Hegel, pemikiran adalah unsur yang tetap dan hakiki bagi kemanusiaan. [22]


7.     Karl Marx (1818-1883)

            Menurut Marx, realitas sejarah bersumber dari materi, ekonomi. Pandangan ini disebut determinisme ekonomi. Di mana, proses sejarah dikuasai oleh hubungan-hubungan ekonomi, ialah hubungan produksi produksi merupakan dasar struktur politi, sosial, keagamaan dan kehidupan budaya dalam masyarakat.

            Dialektika ekonomi ini berpijak pada satu pandangan bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah pertentangan kelas. Masyarakat borjuis kapitalis, seperti periode sebelumnya mengandung antagonisme social, yang disebabkan oleh cara-cara produksi kapitalistis. Adanya perkembangan yang hebat dari kekuasaan industri dan ilmu pengetahuan maka timbullah contrast-kontrast yang tajam.

            Emansipasi individu akan tercapai dengan jalan menggulingkan tertib masyarakat yang ada. Proletariat , bangsa terpilihnya histories materialisme, adalah satu-satunya kekuatan revolusioner yang mempunyai potensi untuk menumbangkan masyarakat kapitalistis dan untuk membangun komunistis yang dicita-citakan.[23]

BAB III PENUTUP

            Padnangan sejarah modern mengatakan bahwa sejarah umat manusia tidak hanya digerakkan oleh kekuatan manusia, akan tetapi ada kekuatan tuhan yang menggerakkan dinamika umat manusia.  Kepercayaan dan tradisi agama-agama banyak mempengaruhi pandangan sejarah modern. Sejarah modern diemansipasikan pada sejarah providensi atau penyelenggaraan ilahi.

            Posifivisme Comte merubah pandangan sejarah yang providensi. Di mana menurut Comte kekuatan akal dan intelegensia sebagai kekuatan sejarah umat manusia. Comte membagi tiga fase sejarah, berupa teologis, metafisik, dan positifis. Makalah ini membahas pandangan filosof modern tentang gerak sejarah umat manusia, seperti Bossuet, Comte, Hegel, dan Karl Marx.


DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo, Sartono. Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur : Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2014

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yokyakarta: Bentang Budaya, 1995

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kuasa. Jakarta : Gramedia, 2004

Daliman, A. Pengantar Filsafat Sejarah. Yogyakarta : Ombak, 2012

Muntansyir, Rizal & Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001

Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu :Kajian Atas Dasar Paradigma dan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Belukar, cet: 3, 2006          

Hegel, G.W.F. The Philosophy of History. Canada : Botache Book, 2001




                [1] Sartono Kartodirdjo, Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur : Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah, (Yogyakarta, Ombak, 2014), hlm. 74

                [2] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hlm. 48.

                [3] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kuasa  (Jakarta : Gramedia, 2004), hlm. 123-124

                [4] Ibid.,

                [5] Ibid., hlm. 125

                [6] Sartono Kartodirjo, Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah, hlm. 75

                [7] A. Daliman, Pengantar Filsafat Sejarah, (Yogyakarta : Ombak, 2012), hlm. 34

                [8] Sartono Kartodirdjo, Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah, hlm. 76

                [9] http://jakaarjunablog.blogspot.com/2011/03/august-comte.html

                [10] A. Daliman, Pengantar Filsafat, hlm. 36

                [11] Sartono Kartodirdjo, Ungkapan-Ungkapan Filsafat, hlm.

                [12] Rizal Muntansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 87

                [13] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu :Kajian Atas Dasar Paradigma dan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta : Belukar, cet: 3, 2006), hlm. 91

                [14] Ibid, hlm. 110

                [15] Ibid, hlm. 111

                [16] Ibid.

                [17] Sartono Kartodirdjo, Ungkapan-Ungkapan Filsafat, hlm. 79

                [18] Ibid, hlm. 80

                [19] G.W.F Hegel, The Philosophy of History, (Canada : Botache Book, 2001), hlm. 14

                [20] G.W.F. Hegel, The Philosophy, hlm. 15

                [21] Ibid, hlm. 15

                [22] G.W.F Hegel, The Philosophy, hlm. 18-21

                [23] Sartono Kartodirdjo, Ungkapan-Ungkapan Filsafat, hlm. 81-82

0 Comment "PANDANGAN SEJARAH MODERN"