UNSUR-UNSUR PENGGERAK DALAM ISLAM JAWA

(Resume Buku Nusa Jawa Silang Budaya Bab II)

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Machasin

Fakta bahwa penduduk muslim indonesia menjadi terbanyak di dunia bukan merupakan sebuah kebetulan. Semuanya berkat jaringan ulama di Indonesia yang menyebarkan islam dan diterima oleh masyarakatnya secara terbuka. Pada tahun 1988 jumlah penduduk Islam 175 juta dan 90% beragama Islam. Kenyataan ini, tidak serta merta membuat indonesia menjadi negara islam. Keanekaragaman kaum muslim akan sangat menarik jika dilihat dari perspektif sosiologis berbicara tentang “bagaimana corak Islam di Indonesia”.

Geertz membagi islam di Jawa menjadi; abangan, santri, dan priyayi. Abangan yaitu penduduk desa menjalankan agama yang bersumber pada rakyat, yang diwarnai animisme dan hanya permukaannya saja terpadu dengan Islam. Santri yaitu kaum pedagang menjalankan agama Islam yang keras mencakup ortodoks yang bertakwa. Priyayi keturunan bangsawan tradisional maupun kaum birokrat yang menyimpan tradisi besar Hindu-Jawa, mmepunyai kebudayaan yang halus, menikmati pesona wayang dan gamelan dibawah kulit keislaman menyimpang dalam lika-liku filsafat Jawa diperkaya dengan sufisme tapi juga hinduisme dan Buddhisme.

Kaum santri tadinya dinamakan kaum putihan, dahulu dan sekarang merupakan ujung tombak agama Islam Jawa. Santri adalah pewaris dan penerus orang-orang laut, terutama para pedagang yang telah menyebabkan kejayaan pelabuhan-pelabuhan Pesisir dahulu. Walau pun, tidak semua santri adalah orang pasar. Tonggak-tonggak jaringan seperti jaringan niaga dan sebagainya itu berada di pesantren dari sekian banyak pusat keislaman di tengah-tengah daerah pedesaan.

Orang Laut

Masyarakat heterogen dengan ciri utama beragama islam dan berbahasa melayu terbentuk dari bentangan kawasan laut yang saling membaur satu sama lain sejak zaman protosejarah. Masyarakat itu terdiri dari nelayan, pelaut, pengangkut, pedagang yang menjadi penggerak zaman kejayaan Sriwijaya dan nusantara secara umum di laut.

Jaringan laut yang dibentuk masyarakat nusantara telah membuka jaringan perdangan yang akhirnya memunculkan peradaban indonesia, bemula dari munculnya Hindu-Budha hingga islam dewasa ini. Orang laut merupakan komunitas yang koheren, dimana mereka hidup bersimbiosis dengan laut.

Mereka berbicara dengan dialek melayu. Memiliki pemukiman tetap. Keberadaan mereka tersebar di seluruh nusantara, seperti di selat Malaka, terutama pantai selatan Johor kepulauan Riau, pantai Timur Kalimantan, Teluk bone, Teluk Manado, Kepulauan Sulu.

Jaringan laut mereka telah memberikan andil besar dalam pendirian dan kemajuan beberapa kerajaan di Nusantara, seperti Malaka, Sriwijaya, dan Pasai. Lebih jauh, jaringan laut bugis pun memiliki peran yang cukup sentral dalam perjalanan sejarah nusantara. Jaringan laut Bugis telah beratus-ratus tahun menyebar ke seluruh kepulauan nusantara dan dibuktikan dengan perahu pinisi yang mereka buat. Keberadaan mereka pun didukung oleh wiracerita La Galigo nyanyian yang berkisah tentang petualangan di laut.

Sementara gambaran orang laut bagi masyarakat Jawa dapat ditemukan dari pertempuran Adi Pati Unus ketika menghadapi Portogis. Mereka menggambarkan kekuatan laut Jawa sangat besar dan sulit ditaklukan. Bahkan, orang Portugis mengakui kapal Jawa telah mencapai India dengan konstruksi yang sangat bagus dan mewah; dibuat dari pohon jati dengan kualitas bagus.

Di era Modern, orang laut memainkan peranannya dalam konstelasi sejarah laut berkat maraknya pelabuhan-pelabuhan, baik di Jawa, Sumatera dan Madura. Pelabuhan pesisir masih menjadi menjadi yang paling ramai di nusantara. Sepertiga nelayan indonesia berasal dari Jawa dan Sumatera, sepertempatnya dari Sulawesi. Pelabuhan Surabaya dan Jakarta memainkan peranannya dalam pusat kegiatan maritim di indonesia.

Selain itu, Penggarapan garam di Madura diakui menjadi ciri khas pulau Trunajaya. Selain itu, munculnya pelabuhan lain menjadi media yang mencirikan orang indonesia sebagai orang laut. Bangsa kita pernah jaya di laut. Jalur perdagangan indonesia telah mendunia sejak dahulu kala.

Kalangan-kalangan “Borjuis” Pengusaha

Dalam pembahasan ini, Lombard mengkritik para historiograf yang kurang memilik perhatian terhadap para borjuasi di Asia laiknya di Eropa, padahal mereka punya peran yang sama dalam islamisasi.

Lombard membagi kalangan borjuasi indonesia dengan Eropa ke dalam tiga hal;

1. Mereka mengutamakan dengan sengaja mdal bergerak, walau pun mereka tidak meremehkan modal tidak bergerak

2. Mereka kebanyakan tinggal di kota dan mengembangkan apa yang dapat dianggap sebagai suatu kebudayaan kta yang khas, yang berbeda dari kebudayaan keraton, mau pun dari kebudayaan rakyat

3. Mereka merupakan wahana suatu ideologi “nasional” yang sekaligus melawan kerajaan jenis tradisional dan segala persaingan ekonomi, dari manapun datangnya.

Perjuangan melawan birokratisme dalam tradisi kerajaan-kerajaan Jawa cenderung mengutamakan peran negara dengan meremehkan perusahaan-perusahaan swasta dan akhirnya seakan-akan untuk memandu semua perlawanan itu, naiknya nasionalisme dan bangkitnya Islam.

Kalangan borjuis muncul ketika sejumlah keluarga besar Melayu, Sunda atau Jawa yang berada di kota dan sudah lama diislamkan telah menjawab tantangan ekonomi orang Cina dan Belanda dengan turut berbisnis. Mereka menjadi salah satu bagian penting dari golongan santri kota yang dapat disebut sebagai golongan borjuis.

Ada dua tempat yang memiliki peran strategis dalam kejayaan borjuasi penguasa di Indonesia. Di mana dua daerah tersebut menjadi tempat perniagaan besar yang dahulu telah bangkit dan bersentuhan dengan niagawan Cina, Arab, dan Eropa. Dua daerah itu adalah Sumatera dan Pulau Jawa.

Kalangan pengusaha Sumatera berkaitan dengan jaringan laut, seperti jalur niaga di Aceh. Pelabuhan di Sabang menjadi kekuatan besar dalam menciptakan elit penguasa lokal di Sumatera Utara. Daerah Minangkabau pun menjadi daerah niaga yang cukup besar dan berkesenambungan.

Pertanian, perkebunan dan tambang memainkan peran penting dalam menciptakan borjuasi penguasa di daerah Sumatera. Faktor kekayaan alam dan pelabuhan di beberapa tempat di Sumatera mendorong geliat niaga masyarakat yang pada akhirnya menciptakan golongan borjuasi penguasa.

Daerah Sumatera yang cukup populer dalam sejarah niaga indonesia, yaitu Minangkabau. Minangkabau dengan spirit niaganya tidak hanya memiliki efek di daerah tetapi di seluruh negeri. Spirit merantau dari orang Minagkabau dan Sumatera secara umum telah menciptakan budaya niaga yang ikut andil dalam perekonomian suatu daerah tempat mereka tinggali. Orang Minang atau Sumatera tidak hanya ikut andil di perniagaan, di ranah kesusastraan, cendikiawan, dan pejuang, banyak memainkan perannya. Konteks Sastra, kita mengenal Roman Marah Rusli, Siti Nurbaya yang mengisahkan kemenangan niagawan atau pengusaha. Ada Moch. Hatta sebagai pejuang, dan Hamka sebagai alim ulama, cendikiawan, dan lain sebagainya.

Pedagang pulau Jawa dapat diketahui dari sosok Utimutiraja yang disebut sebagai pemimpin dari semua orang jawa di Sunda, Jepara, Tuban dan Pelambag. Utimutira merupakan sosok terpenting kedua setelah raja. Ia memiliki kekayaan berupa budak dan jika rumah putri besarta menantunya, serta seluruh awak kapal di laut diperhitungkan, ia bisa membawahi sepuluh ribu orang.

Sejarah borjuasi pengusaha di Jawa, ternyata pun tidak dapat dilepaskan dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Aktifitas perdagangan banyak terjadi di pelabuhan. Keluar masuk atau bongkar pasang barang banyak terjadi di pelabuhan di kota Jawa. Konstelasi perdagangan ini bisa dikatakan mengalami perubahan ketika VOC ikut campur. kekuasaan sultan, sunan, atau raja banyak diusik oleh kekuasaan VOC yang berorientasi dagang. Monopoli dagang antara Raja dan VOC turut mewarnai sejarah penjajahan di indonesia.

Sejarah borjuasi penguasaha di Jawa pun terjadi di pedalaman. Hal ini dibuktikan dengan munculnya sejarah Mataram yang memiliki potensi niaga berupa kerajinan perak yang masih berkembang hingga dewasa ini. Selanjutnya, terdapat golongan dagang di kota-kota Pesisir (Kudus, pekalongan) seperti juga di kota-kota pedalaman (Yogyakarta, Surakarta), di tengah-tengah daerah khusus disebut kauman dan sering terletak di sekeliling mesjid agung. Mereka tinggal di pemukiman administratif disebutnya orang kaum, yaitu termasuk kelompok orang-orang pilihan yang mulanya dipakai oleh kelompok elite kecil yang beragama dan beribadah. Biasanya mereka akan menikah di lingkungan sendiri demi mempertahankan kekayaan agar tidak terpencar ke orang lain/keluarga lain.

Dalam sejarah perjuangan indonesia yang modern, kita mengenal Sarekat Dagang Islam yang mengkhawatirkan persaingannya dengan pedagang Cina. Ada Ki Ahmad Dahlan terikat dengan lingkungan batik. Kedua contoh tersebut pada akhirnya tidak hanya sebatas perdagangan dan usaha, akan tetapi terlibat dalam konstelasi politik, sosial, dan pendidikan.

Setelah kemerdekaan tercapai usahawan-usahawan masuk ke dalam partai Masjumi yang didirikan pada 1943. Pimpinan pergerakan segera pindah ke tangan wakil-wakil kaum Borjuis yang menginginkan perkembangan ekonomi yang sehat berdasarkan usaha bebas dan modal nasional.

Jaringan-jaringan Islam yang Agraris

Cara agama Islam menyebarkan agama mulai dari kantor-kantor dagang di pantai sampai berhasil masuk kepedalaman menyusun jaringan-jaringan Islam yang agraris. Kesultanan-kesultanan sedikit demi sedikit membuka hutan rimba guna persawahan. Islam menggantikan Hinduisme di Jawa melalui peran wali-wali.

Awal mula proses pengislamisasian yang penting itu dikenal melalui tradisi lisan, dan melalui babad-babad. Semua babad menempatkan pengislaman sedini periode wali-wali pertama, kira-kira periode awal abad ke-16. Ada yang berpendapat Islam masuk secara damai namun penaklukan dengan jalan perang juga berlangsung seperti Banten melawan Pakuan.

Masuknya Agama islam ke kawasan agraris bukan hanya lewat mubaligh perorangan. Dua lembaga terkait (pesantren dan tarekat) memegang peran menentukan dalam pengislaman kawasan agraris. Lembaga-lembaga itulah dapat kita pahami membentuk jaringan kuat dari ujung satu ke ujung lainnya di pulau Jawa.

Pesantren memiliki peran signifikan dalam islamisasi di Jawa karena ulama dan kiainya menyebarkan islam ke penduduk secara langsung. Kisah para wali dapat menjadi isyarah bagaimana para wali melakukan pengisalaman terhadap masyarakat.

Lembaga pesantren juga mampu menyesuaikan diri dengan efisien. Pesantren secara sosiologis sangat strategis karena biasanya terletak dipinggiran seolah tempat suaka atau katup pengaman sosial. Ada beberapa kesamaan antara struktur pesantren dan dharma Jawa kuno, berupa; pertama, jauh dari dunia ramai, daerah kosong jauh dari ibukota kerajaan atau kota-kota modern; kedua, ikatan kuat guru-murid yang telah lama berkembang, terutama sejak zaman kuno, juga berlaku di pesantren; dan ketiga, terpeliharanya banyak kontak antar dharma, yang juga berlaku di pesantren, seperti kebiasaan lama berkelana untuk melakukan pencarian rohani. Orang suka bertapa dan mencari guru untuk membersihkan jiwanya.

Sementara itu, tarekat dalam usaha pengislaman memegang peran pelengkap. Sejarah tarekat memang kurang di kenal di bandingkan dengan sejarah pesantren, karena lebih tertutup sifatnya dan di perdebatkan kapan tarekat masuk ke Nusantara. Tarekat Qadiriyah di Aceh dan tarekat Naqsybandiyah, Syattariyah, dan Syadiliyah di Jawa.

Peran tarekat cukup signifikan di masa penjajahan, ketika mereka dianggap sebagai gerakan tertutup yang membahayakan kekuasaan Belanda. Tarekat dianggap sebagai gerakan yang siap menyulut gerakan anti-kolonial. Perang Banten, dapat dikatakan sebagai perang kalangan tarekat dalam melawan penjajahan Belanda.

Sepanjang abad 19-20, jaringan-jaringan Islam agraris terus memperkuat diri, dengan memanfaatkan baik perkembangan budidaya perkebunan, juga ekonomi keuangan. Selain itu, ada pola kerjasama politik dengan penjajah yang terjadi di kawasan agraris. NU misalanya memanfaatkan penjajahan Jepang untuk memperkuat basis politiknya. Para kiai memanfaatkannya untuk melembagakan jaringan-jaringan yang sampai saat itu masih mereka kuasai secara tidak resmi dan untuk mengangkat sebagaian besar dari personil meeka sebagai pegawai pemerintah.

Dalam pemahaman peresum dalam melihat buku ini, bahwa Lombard lebih fokus pada tema besar dalam setiap wacana yang dijelaskan. Tema besar tersebut dirinci lebih kecil dan detail, tetapi dengan mengabaikan periodesasi sejarah.

Dalam setiap pembahasan, Lombard bisanya memulainya dengan kurun waktu pertengahan, lalu mundur ke belakang. Pembahasannya pun melompat-lompat, sehingga kurang memberikan rincian yang dapat memberikan penjelasan terjadinya kontinuitas perubahahn dalam tema yang diangkat.

Meminjam istilah Sartono Kartodirdjo,[1] walau pun Lombard menggunakan periodesasi, akan tetapi periodesasinya menyimpang dari kebiasaan, di mana Lombard memulainya dari yang baru kembali ke yang kuno. Periodisasi bukanlah yang utama, melainkan mentalitas yang mendasari dan membentuk struktur.

Lombard merupakan pengagum pendekatan tematis yang dipengaruhi oleh aliran Braudelian dan mazhab Annales. Penganut mazhab Annales menganalisis sejarah tidak hanya mencakup dimensi sinkronis, tetapi juga mengungkapkan dimensi diakronis, sehingga campuran antara struktural dan prosesual sangat kuat.[2]

Konsekwensi dari mazhab Annales bahwa sejarah bukan semata konstruksti metodologis berupa narasi-deskripsi, akan tetapi lebih pada eksplanasi, filosofi, dan memberikan makna atas fakat yang disajikan dalam sebuah penelitian sejarah. Buku Nusa Jawa merupakan potret karya sejarah yang melihat pulau jawa secara total. Titik pijak sejarah total bukan lagi pada persoalan politik semata, tetapi sejarah sosial yang lebih komplesk, mulai dari geografi, pelapisan sosial, estetika, kesenian, persoalan pakaian.

[1] Sartono Kartodirdjo, Kata Pengantar”, dalam Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya I : Batas-Batas Pembaratan (Jakarta : Gramedia, 2000), hlm. xv

[2] Ibid., hlm. xiv

0 Comment "UNSUR-UNSUR PENGGERAK DALAM ISLAM JAWA"