Masa Kecil Kurang Bahagia Vs Mahasiswa Kurang Bahagia






Istilah ini begitu populer di telinga kita; “Masa Kecil Kurang Bahagia”. Istilah ini digunakan untuk menjabarkan kondisi seseorang yang mengalami kehidupan masa kecil yang kurang bahagia; kurang bermain, kurang kasih sayang dan lain sebagainaya.

Lihatlah misalnya, ketika ada orang dewasa masih bermain mobil-mobilan atua orang dewasa bermain asyik bermain ayunan bersama sejawatnya. Dengan sangat mudah kita akan mengungkapkan orang tersebut, kurang bahagia di masa kecil. Saat kita melihat ada orang dewas main ejar-kejaran bersama temannya atau main petak umpet bersama teman-teman yang dewasa, kita akan dengan muda pula mengklaim, “mereka kurang bahagia di masa kecil”.

Dari sini, mari kita singkirkan tentang bagaiamana definisi bahagia. Kita perlu melihat gejala orang di sekitar kita yang masih terbawa suasana masa kecil melakukan aktifitas laiknya anak kecil. Berpikir positif? Ya, kita perlu berpikir positif melihat fenomena semacam itu.

Sekarang. Mari kita kita alihkan istilah “Masa Kecil Kurang Bahagia” menjadi “Mahasiswa Kurang Bahagia”. Lho? Kenapa harus ada “Mahasiswa Kurang Bahagia?” Mari kita jabarkan satu persatu sesuai dengan gejala yang muncul di kalangan mahasiswa;

Pertama, Mahasiswa kurang bahagia muncul dalam gejala politis. Lho, kenapa harus politik? Mahasiwa mendefinisikan diri sebagai agent of change dan agent of Social, serta Agent of Social Change. Referensinya pun, lumayan mengerikan ; Karl Max, Nietzche, Soe Hoek Gie, Wiji Tukul dan orang-orang kritis lainnya. Keren banget tentunya.

Mahasiswa aktifis selalu terlibat demonstrasi, terlibat di organisasi mahasiswa, apa pun itu (PMII, HMI, GMNI, dan lainnya). Mereka kritis mengkritik kebijakan pemerintah. Mereka gigih memperjuangkan hak mahasiswa di Kampusnya. Mereka agen perubahan. Ya, perubahan. Begitulah mereka melakukan klaim diri.

Ternyata, dbalik perjuangan ideologis dan kritisisme mereka, ternyata mereka mengalami masa kurang bahagia. Mereka menjadi mahasiswa kurang bahagia, ditandai dengan keterlibatan mereka (kembali) ke dunia mahasiswa paska mereka lulus dari dunia kemahasiswaan. Gejala ini begitu mafhum saya lihat di lingkungan pergaulan mereka. Saya melihat banyak orang tua (senior) masih ikut campur urusan organisasi mahasiswa, terutama ketika ada hajatan demokrasi, semacam pemilwa. Saya begitu mafhum melihat aktifis yang sudah lulus kuliah (senior) masih ikut nimbrung momen demokrasi yang dihajat oleh mahasiswa. Ah sudahlah!

Ini gejala mahasiswa kurang bahagia, karena mereka masih asyik-masyuuk bereuforia laiknya masih menjadi mahasiswa. Mbok yo sadar diri, mereka sudah lulus. Mereka sudah bukan mahasiswa, kenapa masih ikut hajatan demokrasi mahasiswa. Ah, lupakanlah.

Mungkin, terma “Tidak ada kata “mantan” untuk aktifis” berlaku dalam gejala ini. Mereka yang kurang bahagia menjadi mahasiswa, sehingga pasca lulus pun, mereka masih ingin ikut campur urusan mahasiswa.

Kedua, mahasiswa kurang bahagia dari segi asmara. Lagi-lagi saya harus mengungkapkan fenomena ini yang banyak terjadi di lingkungan pergaulan saya. Ini mungkin sangat subjektif. Lihatlah bagaimana mahasiswa senior yang tiba-tiba melirik juniornya atau bahkan setelah lulus pun, mereka masih mengincar mahasiswa baru. Ah mahasiswa kesepian. Mahasiswa kurang bahagia waktu SI. Manusia yang belum selesai dalam hal asmara waktu SI.

Disini, modusnya bisa bermacam-macam. Ada yang mengatasnamakan “Senior”, ada yang mengatasnamakan “cari daun muda”. Dalam bentuk apa pun, alasan itu dapat dibenarkan, walau pun tidak seutuhnya. Toh, siapa sih yang yang bisa melarangnya? Asmara atau cinta memang tidak mengenal usia. Kita bisa melihat orang yang sudah berumur, dapat perempuan muda. Tapi, apa elok ketika mereka yang sudah lulus, masih menggunakan modus-modus ala mahasiswa, terus menggunakan status “Senior”.

Pandangan ini hanya sebatas refleksi diri yang (tentu) sangat subjektif. Hanya saja, saya melihat gejala ini di lingkungan pergaulan yang menurut saya kurang wajar dan cukup menggejala secara sistemik. Pandangan subjektif ini, bisa debatable.

To be continued… Mahasiswa Kurang Bahagia II

0 Comment "Masa Kecil Kurang Bahagia Vs Mahasiswa Kurang Bahagia"