BELAJAR HIDUP DARI MEMEDI SAWAH


Bukankah hidup adalah perjalanan panjang. Perjalanan tentang sebuah impian, cita-cita dan harapan di masa depan. Kita perlu menempuh perjalanan berkilo-kilo meter untuk sampai di tujuan. Kita menempuh bertahun-tahun kehidupan untuk memperjuangan masa depan.
Kita memang tidak pernah tahu masa depan. Kita hanya bisa merencanakan masa depan. Kita berjuang untuk masa depan, tetapi perjalanan itu dimulai dari mana kita melangkahkan kaki pertama kali. Langkah kaki akan menentukan kemana tujuan kita sebenarnya.
Terlalu utopis membayangkan masa depan. Terlalu naif mengagungkan masa lalu. Masa depan ada pada hari ini. Masa depan itu ada di mana kita menginjakkan kaki untuk sebuah tujuan. Masa depan bukan sebuah pencapaian.
Perjalanan panjang sebuah kehidupan selalu berhadapan dengan getir, pahit dan kepedihan. Hidup memang tak selamanya tetang bahagia, senang, suka cita. Hidup selalu memiliki aturan bagi manusia; bahagia, susah, senang, derita, selalu ada dalam setiap kehidupan.
Sumber : seleb.tempo.co
Kita tak bisa memilih bahagia seutuhnya atau menderita selamanya. Kita hanya bisa mengupayakan hidup bahagia, tapi jika kesedihan menghampiri. Bahagia dan sedih punya porsi tersendiri untuk manusia. Dalam posisi itulah, kita perlu meniru memedi sawah. Ya, memedi sawah, siapa yang peduli? Ia hanya orang-orangan sawah yang dibuat petani untuk menakuti burung pipit dan memberikan kenyamanan bagi petani agar tanamannya selamat dari serbuan burung.
Memedi sawah telah memberikan kita sebuah arti bagaimana menjalani sebuah kehidupan. Lihatlah, memedi sawah, ia hadir dan diciptakan untuk memberi art bagi manusia. Ia berdiri sendirian, diterpa angin, disengat terik matahari, diguyur hujan, diselimuti dinginnya malam, tetapi ia tetap berdiri, tegak dan tak beranjak sedikit pun. Tidak ada kata mundur dalam dirinya. Ia selalu tegak untuk memberikan kenyamanan bagi pembuatnya, petani.
Dalam hidup, diterpa angin, disengat matahari, diselimuti dinginnya malam, bukan berarti menjadi halangan untuk terus melangkah. Hidup penuh prinsip, maju dan tegap untuk memperjuangkan hidup. Memedi sawah diciptakan untuk memberikan kenyamanan bagi petani, tentang padi yang menguning, tentang kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan keluarga.
Petani menyematkan harapan pada memedi sawah. Lalu, bagaimana kita menyematkan harapan tentang kehidupan kita. Pada siapa kita akan menaruh kenyamanan hidup itu? Ketika hidup kita anggap terlalu pedih untuk dijalani, pada siapa kita akan menyematkan harapan.
Ada kalanya kita butuh utuk hidup menyendiri, merenungkan semuanya, lalu berbicara pada angin, menumpahkan semua persoalan hidup. Kita perlu ruang jeda, ruang senggang untuk merenungkan semua yang telah terjadi.    
Persoalan hidup yang dihadapi seseorang, baik berkaitan dengan masalah ekonomi atau lainnya kadang menimbulkan kegelisahan dan kesedihan. Himpitan masalah demi masalah, dan tekanan hidup dapat melatih orang untuk kuat dalam hidup; survive terhadap masalah dan mencarikan solusi atas kerumitan hidup.
Persoalan ekonomi sepertinya masih menjadi domain dalam kehidupan manusia. Orang berlomba mengejar materi, demi meraih kemapanan hidup dan kebahagiaan tanpa harus bersusah payah dan terhimpit oleh kebutuhan materi.
Dalam setiap kerumitan yang tak kunjung menemukan solusinya, selalu ada pilihan rasional untuk ditempuh, walau terkadang berlawanan dengan kenormalan hidup. Kontraproduktif dengan norma dan etika itu persoalan biasa dalam hidup. Hanya bagaimana kita berupaya mengelola persoalan hidup itu.
Hidup memang perjalanan panjang. Setiap orang harus bergerak, berlari dan mengejar impiannya. Karena orang yang hanya diam, sebaik apa pun kemampuannya, ia tidak akan dilihat dan tampak kemampuan individunya. Orang terlihat dan dipandang, karena ia selalu berlari dan mengejar harapannya. Ya, begitulah memedi sawah. Berdiri tegak; terpaan angin bukan alasan mundur; sengatan matahari bukan berarti harus berteduh; dinginnya malam tidak harus disikapi dengan keluhan. Berlari, tegak, mengejar sebuah mimpi.

0 Comment "BELAJAR HIDUP DARI MEMEDI SAWAH"