Kita dekatkan batas-batas kebencian
antar sesama manusia. Kita lipat jarak perbedaan antar sesama. Bukankah selalu
ada cinta, kedamaian, kebersamaan dan persaudaraan dalam setiap jalinan
silaturahmi. Hari ini, pagi-pagi sekali, saya melihat tetangga depan kos sedang
duduk sendirian di depan rumahnya. Sesekali, istrinya keluar masuk rumah,
membersihkan halaman dan emperannya. Saya bersama Ardi, baru datang dari Pasar
Talok. Sekedar jalan-jalan pagi dan membeli makanan kecil untuk mengganjal
perut yang memang sudah lapar sejak jam 4 dini hari.
Sesekali saya melirik tetangga
untuk meyakinkan diri bahwa mereka sedang merayakan hari natal. Inisiatif
muncul, saya ingin mengucapkan hari natal pada mereka. Sebagai tetangga, saya
merasa punya tanggung jawab untuk mengucapkan itu pada tetangga saya. Apalagi
saya termasuk dalam kategori penghuni kos yang berperilaku buruk; sering bersorak-sorai,
berisik, teriak-teriak, duduk di perigi depan rumahnya, kadang suka melirik-lirik
mangga kepunyaannya, berniat mengambil, walau hingga tulisan ini ditulis, tidak
pernah mengambilnya. Oh, betapa buruk sekali attitude saya.
Niat awal, kami hanya ingin
mengucapkan natal, salaman, memohon maaf, cus balik ke kamar. Ternyata, saya
disuruh masuk ke rumahnya untuk sekedar mencicipi aneka hidangan yang telah
disiapkan untuk perayaan Natal. Lagi-lagi, inilah keburukan attitude
saya. Saya hanya memakai celana pendek saat bertamu ke rumahnya. Canggung,
merasa tak nyaman, dan merasa tidak sopan, semuanya berseliweran di pikiran. Mau
menolak, semakin tak enak hati, kurang sopan.
Sejak merantau ke Jogja, saya
tidak pernah silaturahmi ke tetangga kristiani. Dalam hidup, ini pengalaman
pertama saya silaturahmi ke tetangga kristiani yang merayakan Natal. Tentu
bukan alasan doktrinal kenapa saya tidak pernah silaturahmi ke tetangga
Kristiani.
Silaturahmi pagi ini, tak sedikit
pun terlintas alasan doktrinal membentengi diri saya. Tak sedikit pun saya
memikirkan hukum boleh atau tidaknya mengucapkan “SELAMAT NATAL” atau
Silaturahmi pada Umat Kristiani. Bagi saya lebih baik memikirkan Teori
Poskolonial dari pada pusing memikirkan alasan doktrinal boleh atau tidaknya mengucapkan
“SELAMAT NATAL.” Ya, saya memang sedikit dipusingkan dengan teori
poskolonial untuk keperluan Tugas akhir kuliah. Ah sudahlah, lupakan teori
poskolonial.
Inisiatif silaturahmi pada mereka
hanya sebatas kesadaran diri sebagai manusia yang katanya mahluk sosial. Eh,
mahluk sosial. Saya bertetangga dengan mereka. Saya berinteraksi dengan mereka
setiap hari. Saya ingin menjalin hubungan baik dengan mereka. Ketika saya
silaturahmi ke rumahnya, bukan berarti saya harus “menjadi” mereka. Silaturahmi
hanya sebatas menjaga hubungan baik antar sesama manusia, antar iman, tentunya.
Terus terang, saya sangat tidak
tertarik dengan debat halal dan haramnya mengucapkan selamat natal. Ada banyak
hal yang lebih mendesak dari sekedar debat halal-haram. Buat apa debat
halal-haram, kalau hubungan baik dengan tetangga, teman, rekan justru mengalami
persoalan. Apa guna debat jika persaudaraan dan kebersamaan antar sesama justru
tidak kita dapatkan.
Bukankah hidup untuk mencari
kedamaian, persaudaraan dan kenyamanan bersama. Hidup bukan untuk mencari
musuh, tapi mencari teman dan saudara sebanyak-banyaknya. Buat apa ibadahmu,
jika kau menciptakan kebencian pada orang lain. Buat apa hidup, jika masih membentengi
diri dari pergaulan dengan orang di sekitar. Bagaimana mungkin saya harus membentengi
diri dari mereka, sementara setiap hari saya bertatap muka dan menyapanya.
Rumahnya dan kosan saya hanya berjarak beberapa meter. Bagaimana mungkin saya
tidak silaturahmi saat mereka merayakan natal?
Hari ini, saya merasa beruntung bisa
silaturahmi dengan mereka; berbincang santai, saling menjaga keakraban
bertetangga. Betapa indahnya harmonisasi bersama mereka.!!
0 Comment " Indahnya Punya Tetangga Kristiani"
Posting Komentar