ANDAI SAYA KAYA, MASIHKAH SAYA BERJUANG

 

Manusia memang tidak bisa memilih lahir dari rahim siapa

Andai saya lahir dari rahim ibu kaya, apa mungkin saya akan bisa survive mengejar impian. Andai saya kaya, apa mungkin saya mau menulis untuk membiayai hidup selama di tanah rantau. Andai saya kaya, mungkin saya juga tidak akan mau ngontel sejauh 12 KM untuk kuliah. Mungkin saya tidak mau susah payah bekerja, menulis atau ngontel sejauh itu, jika saya bisa meminta kiriman uang pada orang tua.

Saya selalu membayangkan, seandainya saya terlahir kaya, mungkin saya akan menjadi orang yang manja, sedikit-sedikit minta orang tua. Sedikit-sedikit merengek minta barang baru; HP baru, motor baru, atau bermalas-malasan, tinggal nunggu transferan orang tua.

Mungkin saya pun tidak bisa survive seperti yang telah dan sedang saya jalani. Keadaan telah “memaksa”, dan membentuk saya untuk hidup bertahan dan berjuang agar mendapatkan apa yang saya cita-citakan. Pada akhirnya, hidup hanya berputar-putar di circle itu; kondisi yang akan menuntun kemana arah perjuangan hidup bermuara. Akhirnya hidup itu tidak ada yang luar biasa dan laik dibanggakan. Toh, kita bergerak selalu berkaitan dengan keadaan diri kita sendiri. Seperti silogisme, karena saya tidak berpunya, maka saya rela bekerja keras demi cita-cita.  

Saya rela kerja hingga subuh, itu semata karena saya tidak bisa mengandalkan orang tua. Saya tidak bisa meminta bantuan uang kepada orang tua. Ya, kadang hidup naif memang. Sesekali, kita merasa bahwa kita telah berjuang luar biasa, padahal bisa jadi perjuangan dan survivilitas kita hanya berputar soal keadaan kita yang tidak memungkinkan untuk meminta kepada orang tua. Kita merasa bangga bisa bekerja membiyai hidup tanpa meminta orang tua, tetapi kenyataannya kita melakukan itu semua, karena sudah tidak ada pilihan lain.

Saat saya merasa hidup mandiri dan bisa hidup dari keringat sendiri, saat itulah saya merasa malu pada diri sendiri. Toh, apa yang saya lakukan hanya karena saya lahir dari keluarga yang jauh dari kata kaya. Bisa jadi saya menulis hanya karena tuntutan agar saya bisa hidup di rantau dan bisa membiayai kuliah. Bisa jadi, saya menulis bukan karena saya sadar akan arti pentingnya menulis itu. Bisa jadi, saya rela ngontel karena saya memang tidak punya uang untuk bayar kos.    

Begitulah jalan takdir manusia. Kita menjalani hidup seperti yang sudah ditetapkan. Kita memilih hanya sebatas upaya untuk terus berusaha yang terbaik. Seandainya saya dilahirkan dari rahim orang tua kaya, mungkin saya tidak bisa mendapatkan apa yang telah saya dapatkan selama ini.

Sebagai pribadi yang berusaha berjuang untuk menghidupi diri sendiri, kadang saya merasa bebas dalam hidup ini. Saya merasa tidak punya beban atau dikekang oleh keinginan orang tua. Toh, walau pun memang orang tua saya tidak pernah mengekang saya dengan keinginan-keinginan mereka. Ibu selalu mendukung kemana pun saya bergerak dan apa yang menjadi keinginan. Beliau hanya selalu berkata: “aku hanya bisa mendoakanmu, semoga yang menjadi keinginanmu diberikan kelancaran dan kebaikan.”

Sesekali, ketika ada orang yang berasal dari keluarga berpunya, tetapi dia masih bisa dan mau berjuang sendiri tanpa meminta bantuan biaya dari orang tuanya, saya merasa hidup saya sangatlah biasa saja. Perjuangan saya selama ini hanya karena saya tidak punya pilihan lain. Saya berjuang hidup hanya sebatas tuntutan keadaan, bukan sebagai sebuah kesadaran. Merekalah yang benar-benar berjuang dalam hidup. Sementara, saya hanya menjalakan takdir yang telah ditetapkan dengan sebaik mungkin.

 

To be continued

 


0 Comment "ANDAI SAYA KAYA, MASIHKAH SAYA BERJUANG"