Haters dan Lovers dalam Demokrasi











Arogansi masyarakat tercipta karena terbuai oleh pengkultusan dan pemujaan terhadap seorang tokoh dan pemimpin. Masyarakat semacam ini beranggapan bahwa sebuah daerah atau Negara akan baik dan makmur jika dipimpin oleh seseorang dari suku atau etnis tertentu, golongan tertentu, dan agama tertentu. Sentimen rasial akhirnya menimbulkan rasisme dan sentimen kesukuan dalam berdemokrasi.


Riuh semarak pemilihan gubernur DKI Jakarta telah mengarah pada fenomena demokrasi berwajah sara. Demokrasi rasis (sara) menampik kebenaran dari figur politik. Adu kuat program kerja menjadi hilang subtansinya. Para pendukung atau pembenci lebih cendrung menyerang tokoh secara membabi buta berdasarkan latar belakang calon pemimpin.


Bermunculanlah isu dan ujaran perihal calon pemimpin. Misalnya, apa yang bisa diharapkan dari “pendatang baru”? “Bagaimana orang baru bisa memimpin dengan baik”, belum lagi soal perdebatan latar belakang suku, etnis, agama dan lain sebagainya. Isu semacam ini menjadi santapan para haters dan lovers dalam setiap pemilihan umum di indonesia.


Sandra Hamid dalam artikel “Donald Trump dalam Demokrasi Kita” mengkiritik fenomena demokrasi yang dibangun atas kebencian terhadap calon pemimpin dengan mengelaborasi serangan Donald Trump terhadap Barrack Obama dalam kampanye politiknya. Sandra menyebut fenomena demokrasi “haters” and “lovers”. Dimana para pembenci dan pendukung fanatik lebih cendrung tidak menyediakan ruang mempertanyakan kebenaran. Sebaliknya yang marak berupa suara yang mengusik rasa primordial; tempat, warna kulit, kelompok, agama, dan suku.


Fenomena haters dan lovers dalam demokrasi kita terlihat secara nyata di media sosial, twitter dan facebook. Haters dan lovers akan terlihat dari twit-twitnya yang menyerang atau membela calon pemimpin. Menyerang tokoh atau mencintai tokoh tanpa pertimbangan rasional begitu sarat terlihat di media sosial. Isu primordialisme begitu seksi untuk dieksploitasi oleh lovers atau haters dalam setiap pemilihan umum. Demokrasi hanya berkisar di wilayah pengumpulan suara terbanyak.


Para haters menyerang calon dengan isu primordial, sementara para lovers melakukan pengkultusan terhadap seorang tokoh. Lovers menempatkan calon pemimpin seolah tanpa celah untuk dikritik. Haters memposisikan calon tanpa ruang kebenaran, selalu terlihat salah. Tidak jarang, para Lovers menjaring suara dengan memanfaatkan serangan haters. Sementara haters menjaring suara lewat kritik terhadap pendukung (lovers) yang melakukan pengkultusan calon pemimpin.


Adanya pengkultusan seorang tokoh pemimpin dengan nada rasis sangat bertentangan dengan paradigma demokrasi berbhinneka. Rasisme yang seringkali kita kecam sebagai aib dalam demokrasi, ternyata tanpa disadari isu rasis masih saja berkelindan dalam konstruk kesadaran dan kultur demokrasi indonesia. Dalam istilah Djasepudin (2008), rasisme ibarat kentut, terasa tapi tak teraba. Rasisme memang nyata, tak terlihat, tetapi ia hadir mempengaruhi ranah kesadaran masyarakat.


Ironisnya, demokrasi berparas rasis itu terlontar dari seorang yang kaum terpelajar, cendikiawan, budayawan dan politikus. Bahkan terkadang isu rasial dijadikan komoditi oleh para broker politik, haters dan lovers untuk tujuan politik interest dan menjatuhkan calon yang didukung. Akhirnya, hilanglah kedewasaan berdemokrasi dan munculnya budaya politik segala cara. Dimana mantra utamanya adalah yang penting tujuan tercapai, tanpa mempedulikan etika, moral dan prinsip persaingan.


Demokrasi berwajah rasis akan menjadikan masyarakat kehilangan akal sehatnya. Calon pemimpin akan diklasifikasi dan dikotak-kotakkan berdasarkan golongan, asal wilayah, suku dan agama. Primordialisme telah memancung kebebasan calon pemimpin berdasarkan kualifikasi kredibilitas, profesionalitas, dan kematangan pengalaman politik.


Pendiskriminasian masyarakat ke dalam sub budaya dan isu rasis mengakibatkan hilangnya ruang demokrasi dan mengakibatkan merajalelanya kepemimpinan feodalisme dan monarchi. Masyarakat akan terkotakkan menjadi sub-kebudayaan dan ras yang memiliki kepentingan politik semata. Sedangkan masyarakat dengan kultur pariferal (pendatang) akan tersisihkan.


Kedewasaan demokrasi tidak menjamin akan hilangnya isu rasisme dalam pemilihan umum. Keterbukaan dan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijunjung demokrasi harus membentur keras benteng rasisme yang masih saja berkelindan dalam otak kesadaran masyarakat. Rasisme telah masuk di segala aspek dan ranah kehidupan manusia.


Kedewasaan berpolitik dan politik dengan hari nurani menjadi lokomotif dalam setiap pemilihan umum, baik presiden, gubernur, kepala daerah hingga kepala desa sekalipun. Masyarakat yang arif dan dewasa memandang politik adalah mereka yang mampu mendudukkan perkara dengan arif dan bijaksana. Bukan dengan terpengaruh pada isu ras, suku, faktor pengalaman, apalagi sentimen keagamaan.


Demokrasi tidaklah dibangun dengan semangat sentimen kedaerahan yang hanya memanjakan arogansi kepentingan salah satu golongan/tokoh. Namun, berdasarkan prinsip kebhinnekaan. Demokrasi bukan membesarkan kesukuan, namun berdasarkan prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan. Demokrasi tidak semata mendulang suara, tetapi membangun kultur politik yang sehat. Demokrasi tidak hanya mengkultuskan calon pemimpin, tetapi melakukan kritik atas setiap laku dan sikap politiknya. Demokrasi dibangun diatas tanah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, multikulturalitas, pluralitas, toleransi, budaya kritik, dan adu kuat program kerja. Karena, demokrasi melampuai primordialisme, SARA.






(Tulisan ini dimuat di Koran Harian Tribun Jogja, 14/10/2016)

0 Comment "Haters dan Lovers dalam Demokrasi"