Kuliah dan Keharusan untuk Menulis

Kisah menulis ini akan saya mulai dengan dua ungkapan “provokatif” dan cukup membuat saya punya keberanian untuk merantau. Pertama, “hidup yang tak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan”. Ungkapan Fredrich Schiller memberi gairah hidup dalam diri saya untuk tidak pernah gentar dengan gelombang hidup. Hidup bukan dengan menghindari gelombang, tetapi menari di tengah badai. Kedua, “merantaulah. Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang)”. Ungkapan Imam Syafi’ie menjadi motivasi untuk mengarungi samudera rantau guna menuntut ilmu.

Ungkapan pertama, akhirnya menjadi populer ketika saya berada di Rantau, tepatnya sejak saya memutuskan untuk mondok di Pondok Kutub, Caben Yogyakarta. Ungkapan ini sering diucapkan senior di pondok untuk memotivasi kami yang baru mondok 

Perjalanan rantau saya (mungkin) tidak akan pernah terjadi tanpa motivasi untuk hidup dari dunia kepenulisan. Motivasi kuliah dengan “iming-iming” menulis di sebuah pondok bernama Pondok Kutub (Pesantren Hasyim Asy’ari) yang didirikan oleh (alm.) Gus Zainal Arifin Thaha. Ya, perjalanan rantau saya tidak lepas dari motivasi untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi dengan “pertaruhan” hidup mandiri dari menulis. Saya pun berangkat ke Jogja untuk mondok di Kutub. Pondok Kutub mengajarkan saya dan para santrinya untuk menulis di koran dan bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai kuliah. Keinginan untuk melanjutkan kuliah berbarengan dengan “iming-iming” hidup mandiri dengan menulis. 

Pendiri pondok, Gus Zainal Arifin Thaha “mengharamkan” santrinya untuk meminta kiriman pada orang tua jika hanya untuk kebutuhan makan. Dari sinilah, perjalanan belajar menulis saya tekuni di Jogja. Perkenalan saya dengan dunia tulis menulis diawali dengan seringnya membaca tulisan kakak senior yang sudah kuliah di Jogja. Namanya, Rahbini. Saya sering disuruh membaca resensinya yang dimuat di koran.

Ketika sampai di Jogja pun, saya langsung ditantang menulis resensi. Saya diberikan buku baru untuk dibaca. Waktu itu, saya diberi waktu sekitar 3-5 hari untuk membaca buku, mencatat point yang ingin ditulis, lalu menuliskan resensi buku.

Ketika resensi yang saya tulis selesai, saya mengirimkan tulisan saya ke koran lokal di Jogja, Kedaulatan Rakyat (KR). Setiap hari minggu, tulisan resensi yang sudah saya kirim selalu saya cek keberadaannya; dimuat atau tidak. Sembari menunggu, saya terus belajar menulis; mulai resensi hingga opini dan esai. Setiap minggu, saya selalu mengirimkan tulisan baik dalam bentuk opini, esai atau resensi.

Ketika memasuki minggu kelima, saya dikejutkan dengan gurauan anak-anak pondok bahwa resensi saya dimuat di koran KR. Saya sangat terkejut. Saya bersujud syukur dan merasa tidak percaya jika tulisan saya dimuat di KR. Saya terkejut, karena itu tulisan pertama saya. Tantangan dari kakak senior saya berhasil saya lewati dengan dimuatnya tulisan saya. tentu, Rasa bangga dan tak percaya menggelatui saya selama semingguan. Waktu itu tahun 2007, honor resensi 50.000 sudah cukup membuat saya sangat bahagia. Apalagi ditambah saya mendapatkan dua buku dari penerbit. Saya pun langsung meminta Buku Sejarah Umat Manusia karya Arnold J. Toynbee.

Kehidupan di Pondok Kutub menuntut saya untuk terus berjuang dan berkarya. Saya diharuskan untuk membaca buku dan membaca karya teman yang dimuat, membaca koran untuk mendapatkan inspirasi ide agar bisa dituliskan ke media massa. Rasanya, tiada hari tanpa membaca dan menulis. Setiap hari, kami diajarkan untuk menulis, minimal satu karya; bisa esai, opini atau resensi. Selain itu, pondok memfasilitasi kami dengan kajian rutin; kajian editorial; mengkaji tema-tema aktual di media massa; kajian sastra; berupa bedah karya puisi atau cerpen teman-teman pondok dan kajian tokoh yang mengkaji pemikiran tokoh-tokoh yang dianggap dapat membantu teman-teman mengembangkan ide di kepenulisan.

Di Pondok Kutub, kami selalu diberikan motivasi dengan petuah guru kami: “lebih baik bertidak walau pun sedikit, daripada terjebak angan-angan ingin berbuat banyak”. Adigium ini begitu kuat memotivasi kami untuk terus belajar, membaca dan menulis. Kami diajarkan untuk hidup mandiri dengan menulis atau berjualan koran di perempatan jalan. Berjualan koran di perempatan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari; makan dan rokok.

Guna menumbuhkan semangat menulis bagi teman-teman baru atau lama, pondok Kutub memberlakukan sebuah aturan tak tertulis bahwa setiap karya yang dimuat, harus difoto kopi dan ditempel di dinding. Menempel karya di dinding bertujuan agar kami (yang belum dimuat) terus berlomba-lomba menulis, tentu saja tidak lupa membaca. Bahkan, senior kami di Pondok Kutub akan membully kami secara halus, jika tulisan kami tidak pernah dimuat. Kami dibully dengan pertanyaan yang sangat halus; “mana tulisanmu?” pertanyaan ini menjurus pada kami yang pernah dimuat, tetapi lama tak dimuat lagi atau bagi kami yang memang belum pernah dimuat sama sekali.

Disinilah, saya mengalami masa yang cukup pahit dalam kepenulisan. Paska dimuat resensi pertama kali di Kedaulatan Rakyat, selama hampir 3 bulan, tulisan saya tidak pernah dimuat lagi di koran. Selama kurun waktu itu, perasaan pesimis dan frustasi menghampiri saya. Padahal, setiap minggu saya pasti mengirim tulisan, untuk rubrik resensi dan opini. Saya berkesimpulan, mungkin tulisan pertama yang dimuat, lebih karena berbau keberuntungan, bukan karena kualitas tulisan saya yang bagus.

            Dalam kurun hampir 3 bulan tulisan yang tidak pernah dimuat, saya terus belajar menulis, membaca karya orang dan minta dieditkan pada senior. Terakhir, saya ingin mengutip pesan Gus Zainal Arifin Thaha (alm) yang sering dituturkan senior saya; “bacalah semua buku. Jangan takut. Tuhan bersama orang-orang yang rajin membaca. Dan janganlah anggap dirimu berhasil kalau belum memberikan manfaat bagi orang lain. Serta janganlah kalian meninggal sebelum banyak malahirkan karya.” Dari sini, saya tak pernah berhenti membaca dan menulis.


(Tuilisan ini dipublis di http://galeribukujakarta.com dengan judul yang sama)

0 Comment "Kuliah dan Keharusan untuk Menulis"