Surga yang (tak) Dirindukan

Secuplik Kisah dalam Film Paradise Now (2005)

Surga macam apa yang hendak dicari ketika seorang muslim menjadi jihadis? Keabadiaan seperti apa yang hendak dicapai ketika seseorang memutuskan untuk melakukan bom bunuh diri? Kesenangan bagaimana yang didapatkan seseorang ketika secara membabi-buta menembaki saudara sendiri.
Mari sejenak lupakan hiruk pikuk Yerussalem sebagai ibukota Israel yang didendangkan Donald Trump. Kita nikmati tontonan epic “Paradise Now” yang berkisah dua sahabat karib; Khaleed dan Salim. Mereka hidup di tanah Palestine yang “dijajah” israel. Film ini menyabet best foreign di Oscar. Walau, saya sangat terlambat menonton film ini, tetapi ada setiap momen dalam film ini begitu memikat hati. Pergulatan diri manusia yang memutuskan akan menjadi jihadis karena negaranya dijajah oleh israel.  
film ini dibuka dengan scene dua sahabat yang bekerja di bengkel mobil. Mereka yang memiliki pendidikan tinggi dengan kondisi ekonomi dibawah rata-rata memberikan angle unik, betapa ekonomi dapat merubah cara pandang dan hidup seseorang. 
Jamal hadir (se
olah) memberikan jalan keluar bagi persoalan hidup mereka. Jamal mengatakan bahwa mereka telah dipilih untuk berjihad ke Israel. Jihad melakukan bom bunuh diri. Tidak lebih dari 24 jam, mereka harus mempersiapkan diri untuk melakukan aksi bom bunuh diri ke tanah Israel.
Tugas yang tidak mudah bagi mereka. Sekilas terlihat, mereka begitu berat melakukan aksi bom bunuh diri. Tetapi, kepercayaan agama dan nasionalisme menggerakkan mereka untuk mempertaruhkan diri demi martabat bangsa Palestina. Mereka pun diliputi kebingunan dan dilema tak tertahankan. 
Film ini mempertaruhkan ajaran agama dan nasionalisme dalam sekali tarikan nafas. Sutradara menghadirkan kompleksitas anjuran jihad membela agama dan nasionalisme. Sosok Khaleed dan Salim dihadirkan dengan kebencian yang memuncak terhadap penjajahan Israel, tetapi dalam detak jantung yang sama, mereka harus bergelut dengan ajaran agama; benarkah bom bunuh diri itu? Haruskah ia melakukan bom bunuh diri. Sudah tertutupkah segala kemungkinan untuk bebas dari penajajahan? 
Dalam keraguan dan dilema yang memuncak, mereka masih berusaha menguatkan diri, bahwa apa yang mereka lakukan itu benar. Mereka akan menjadi pahlawan. Mereka akan berkumpul bersama Tuhan di Surga. Tetapi, semua itu tidak cukup. Mereka masih harus bergelut dengan keyakinan, ajaran agama, dan pengetahuan diri.
Dalam situasi itu, Khaleed dan Salim terlibat debat sengit tentang apa yang akan mereka lakukan; menjadi jihadis, bomber. 
Salim: “apa yang kita lakukan hal benar?”
Khaleed : “tentu saja. Sejam lagi kita akan menjadi pahlawan bersama Tuhan di Surga. Kita sudah membahas ini. Kaulah yang mengatakan kita tak punya pilihan. Selama penjajahan, kita sudah mati.”
Salim : “aku tahu. Aku tahu. Apakah tidak ada cara untuk menghentikan mereka?”
Scene ini seolah klimaks dari keraguan dan kebimbangan mereka. Pergulatan tentang nasionalisme yang memuncak sekaligus keraguan diri untuk melakukan bom bunuh diri. Jangan-jangan apa yang mereka lakukan tidak akan mampu merubah apa pun. Jangan-jangan keputusan mereka adalah sebuah kesalahan, mengingat mereka masih ada keluarga dengan kondisi hidup yang menjadi tanggung jawab mereka.
Scene ini begitu memikat hati, betapa ada tekanan psikologis yang dialami oleh calon jihadis. Dalam hati, saya membayangkan, bahwa mereka yang memutuskan untuk menjadi jihadis harus berperang dengan dirinya sendiri; antara ajaran agama, nasionalisme, dan kondisi hidup yang mereka jalani. 
Akhirnya, sebagai secuplik kisah, tulisan ini tak akan mewakili seluruh cerita dalam film Paradise Now. Tetapi, akan selalu kontekstual menelaah psikologi calon jihadis dan bomber dalam perspektif yang lain; problem ekonomi dan pergulatan batin tentang keyakinan agama. 


0 Comment "Surga yang (tak) Dirindukan "