“Sang Putra Fajar”

Nasib adalah kesunyian masing-masing
sumber gambar: http://indonesiadalamsejarah.blogspot.co.id
Subuh yang cerah. Fajar timur menyingsir dengan terang menyambut sosok yang kelak menjadi pemimpin besar bangsa Indonesia, Soekarno. Ya, Soekarno lahir saat fajar, tersebutlah ia seorang Putra sang fajar. Masyarakat Jawa meyakini anak yang terlahir saat fajar telah ditentukan takdirnya oleh Tuhan.
Roso Daras  menyebut kelahiran Soekarno pada tahun 1901 (tanggal 6 Juni) sebagai perintis abad ini. Abad ke-19, di mana indonesia masih berada dalam jurang kegelapan. Kegelapan yang diakibatkan oleh penjajahan dan aksi imperialisme yang meraja lela di seluruh negeri indonesia.
Lahirnya Soekarno disambut sang ibunda, Ida Ayu Nyoman Rai dengan suka hati. Ia meyakini putranya akan menjadi penerang bangsa di masa depan. Ia melihat lamat itu dari lahirnya yang bersamaan dengan letusan gunung Kelud. Meletusnya Gunung Kelud di kala Soekarno lahir menguatkan pratanda bahwa alam menyambut kehadirannya di atas jagad raya.  Tetapi, siapa yang bisa menduga arah nasib? Bukankah seperti Syair Chairil Anwar, “nasib adalah kesunyian masing-masing”.
Putra dari Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Idayu seolah ditakdirkan menjadi pemimpin besar. Sang putra fajar telah menyingsingkan gelora kemerdekaan di hati masyarakat indonesia setelah 3,5 abad berada dalam genggaman penjajahan Belanda dan Jepang. Soekarno yang seolah lahir dengan restu ibundanya untuk menjadi pemimpin bangsa indonesia.
Dalam sebuah kisah, pada sebuah subuh, menjelang matahari menyingsing, ibunda Seokarno bangun dan duduk di beranda rumahnya yang kecil, menghadap ke arah timur. Udara pagi yang dingin, embun pagi yang menyelimuti rerumputan dan dedaunan. Soekarno juga terbangun dari tidurnya, melihat ibundanya yang duduk terpekur, diam tak bergerak menyongsong matahari pagi. Soekarno kecil melangkahkan kakinya menghampiri ibundanya.
Ibundanya yang melihat Soekarno mendekatinya, sontak diulurkan tangannya dan direngkuhnya Soekarno kecil dalam pelukan hangatnya. Idayu berkata kepada Soekarno;
“Nak, engkau memandangi fajar. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar menyingsing. Orang Jawa mempunyai kepercayaan, bahwa orang-orang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar.”
Tutur ibudanya menjadi tinular yang masuk ke sanubari Soekarno. Soekarno memaknai tutur tinular ibudanya sebagai sebuah restu dan isyarat yang akan terus ada dalam darahnya. Soekarno akan terus mengingatnya sepanjang hidup.
   

###
1. Roso Daras. Bung Karno; The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer. Depok; Pustaka Imania, 2009
2. Kepercaan masyarakat Bali sangat berbeda tentang letusan gunung kelud saat kelahiran Soekarno. Menurut kepercayaam masyarakat Bali, letusan Gunung Kelud sebagai pertanda akan adanya maksiat, bukan penyambutan atas lahirnya Soekarno. 
Cindy Adam, Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat,

0 Comment "“Sang Putra Fajar”"