(Re)konstruksi Kepahlawanan


Sumber Foto : darisana.wordpress.com
Momentum peringatan hari pahlawan ditandai dengan penetapan gelar pahlawan bagi Benhard Wilhem Lapian, Mas Isman, I Gusti Ngurah Made Agung, Ki Bagus Hadikusumo dan Komisaris Jenderal Dr. H Moehammad Jasin. Gelar ini merupakan upaya menyemai nilai sejarah dan etos heroisme pejuang indonesia melawan kolonial, merebut dan mempertahankan kemerdekaan.Penyematan gelar pahlawan bagi pejuang bangsa membuka memori historis tentang kepahlawanan seorang tokoh. Pahlawan dihadirkan dan dikukuhkan untuk meneguhkan etos revolusioner, heroisme dan nasionalisme pejuang bangsa.  
Menurut kamus besar bahasa indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Kata pahlawan identik dengan sosok pemberani, pantang menyerang dan berjuang demi kebenaran. Personifikasi pahlawan merupakan sosok yang penuh keberanian membela rakyat untuk kepentingan bangsa dan negara. Pahlawan disematkan kepada pejuang kemerdekaan dan sosok yang menentang kolonialisme. Narasi historis kepahlawanan cukup dilematis ketika berhadapan sejarah menempatkan pejuang indonesia dalam logika kolonial. Pahlawan banyak dihadirkan demi kepentingan sosial-politik an sich. Ketika Alimin dan Tan Malaka dinobatkan sebagai pahlawan oleh Soekarno, semuanya tidak lepas dari upaya penyatuan ideologi Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunis) (Henri F. Isnaeni, Majalah Historia). Narasi historis pun mencatat bahwa Arung Palakka adalah pemberontak, sementara Sultan Hasanuddin pahlawan nasional. Hasanuddin adalah raja yang “mempekerjakan” 1000 orang demi kepentingan benteng, lalu Arung Palakka ingin melepaskannya. Trunojoya adalah pemberontak, karena melawan kekuasaan Mataram yang bekerja sama dengan kolonial. Lalu, bagaimanan subtansi pahlawan?      
Dalam konteks ini, kata “pahlawan” akan bersanding dengan “pemberontak” dan makar. Sejarah indonesia telah mendeskripsikan bagaimana logika kolonial menulis kepahlawanan. Kita dapat melihat sosok Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan bagi Indonesia dan “pemberontak” bagi bangsa kolonial. Sejarah cukup punya peran bagaimana mengkonstruk kesadaran masyarakat tentang pahlawan atau pemberontak. “Pahlawan” dan “pemberontak” sangat bergantung pada perspektif dan logika berpikir masyarakat yang dibangun oleh narasi historis kolonial-sentris. Kesadaran masyarakat tentang pahlawan berbanding lurus dengan tulisan sejarah tentang track record tokoh. Saat kita menilai orang dari garis politik atau ideologi yang berseberangan dengan garis perjuangan sang tokoh maka ia adalah pemberontak. Tetapi, ketika kita menilia dari posisi dan kepentingan yang sama dengan sang tokoh, maka tokoh tersebut adalah pahlawan dan pejuang.Akhirnya, kepahlawanan sang tokoh di mata masyarakat sangat bergantung pada siapa yang menilai dan menuliskan sejarah. Orde Baru berhasil menulis historiograsi istana-sentris atau kolonial-sentris dalam mengkonstruksi kesadaran masyarakat tentang pahlawan. Ketika Orde Baru anti-komunis, maka pejuang yang pernah terlibat pemberontakan 65 pun seolah terkubur dari sejarah. Peristiwa sejarah 1965 pun menjelma sejarah yang menakutkan.
Mengutip JJ. Rizal (2012) bahwa sungguh menyedihkan hidup sebuah bangsa ketika pahlawan diproduksi sebagai komoditas sosial-politik, sementara pahlawan sejati dilupakan, diabaikan, disulap mejadi gelar kedinasan dan dinilai lebih baik secara sistematis dikedepankan sebagai tokoh keramat, ketimbang mengkaji, menguji pemikirannya. Fenomena ini menandai pahlawan telah dilucuti nilai kemanusiaannya. Latar belakang sejarah dan sosialnya disusun ulang dan hanya ditampakkan sebagai “kekuasaan negara” untuk mengusai kesadaran masyarakat tentang mereka yang disebut pahlawan atau teladan.
Ungkapan JJ Rizal menemukan momentumnya untuk menilai pahlawan secara subtansial dan universal. Narasi sejarah indonesia harus direkonstruksi untuk memberikan deskripsi yang proporsional dan objektif dalam membangkitkan kesadaran masyarakat tentang siapa dan bagaimana pahlawan.
Mengutip Henk Schulte Nordholt dkk (2008) jika kita mengakui bahwa sejarah tentang ‘apa yang terjadi’ dan sejarah tentang ‘apa yang dikatakan’ telah terjadi adalah dua dimensi dari penulisan sejarah, maka kita juga harus mengakui bahwa perdebatan tentang sejuh mana terdapat batas yang tajam antara kedua dimensi itu belum selesai. Ada dua faktor utama yang telah membentuk situasi tersebut; pertama, pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) tergantung pada penguasaan terhadap sejumlah sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan sirkulasi pengetahuan tentang masa lalu; kedua, tantangan terhadap narasi besar (grand narratives) tentang masyarakat dan masa lalu juga merupakan bagian dari dinamika hubungan kekuasaan.
Momentum hari pahlawan harus menjadi momentum bagi bangsa untuk melihat narasi historis secara universal dan utuh. Arus kepentingan politik bukan tidak mungkin sangat terjadi dalam penganugerahan gelar pahlawan. Kepentingan-kepentingan tersebut tidak boleh mendegradasi subtansi nilai pahlawan.
Gelar kepahlawanan tidak boleh hanya menjadi simbol kedinasan, sosok tokoh pejuang yang hanya diberi surat, nomor, dimakamkan terpisah dan dibuatkan patung atau monumen. Pahlawan tidak boleh menjadi sosok yang dikeramatkan.  
Bukankah, kepahlawanan diciptakan dan dianugerahkan untuk dijadikan teladan. Telandan tentang keberanian, perjuangan, kegetiran melawan kolonial, dan perjuangan kemanusiaan. Kepahlawanan merupakan pengingat masyarakat bahwa kejadian masa lalu harus dihadirkan di masa kini untuk dijadikan pelajaran hidup bagi masyarakat.
Pahlawan tidak boleh hanya sebatas gelar artifisial dan simbol yang nir-makna. Pahlawan sangat penting diciptakan dan dianugerahkan demi meneguhkan nilai. Manusia membutuhkan nilai kearifan dalam mengarungi kehidupan, karena hidup tanpa teladan akan terasa sangat gersang dan tak bermakna.

0 Comment "(Re)konstruksi Kepahlawanan"